Stop Mengolok-olok Janda di Group Whats App

Mengapa perempuan sering dijadikan bahan becandaan di group Whats App? Di group alumni saya, kali ini janda yang menjadi obyek becandaan. Buat saya, ini terjadi karena kebiasaan buruk orang dalam memandang perempuan

*Andreas Wicaksono- www.Konde.co

Di salah satu group Whats App alumni sekolah, tiba-tiba ada salah satu teman memposting informasi tentang janda. Postingan tersebut berbunyi seperti ini:

“Daftar terbaru wanita yang baru resmi berstatus janda di Pengadilan Agama per-1 Januari 2020.”

Postingan tersebut juga menyertakan nama-nama perempuan janda beserta nomer telponnya.

Setelah itu ada saja yang berkomentar mengolok-olok. Saya sudah bisa menebak, pasti ini pesan tentang janda yang akan menjadi obyek becandaan. Buat saya, ini tidak hanya melakukan eksploitase terhadap janda, postingan tersebut juga melanggar hak privasi karena menyebarkan nomer handphone foto-foto perempuan yang ada disana.

Tentu saja saya tidak terima dengan postingan ini, dan kemudian membalasnya. Saya bilang: “terserah saja kalau orang menganggapku aneh, namun becandaku tidak pernah mempermalukan orang atau memojokkan orang seperti ini.”

Buat saya, ini adalah sesuatu yang tak mengenakkan. Janda menjadi obyek becandaan. Tapi begitulah yang terjadi.

Saya paham bahwa semua anggota group Whats App ini sudah lama tak bertemu, sudah lama menjadi alumni dan tak lagi mengenal dengan baik satu sama lain. Tapi sebagai salah satu anggota group, saya berhak menyatakan keberatan dong, apalagi ini menyangkut pesan yang melecehkan orang lain, memberikan stigma buruk pada orang lain.

Coba jika kita ditempatkan di posisi sebagai janda. Bagaimana rasanya menjadi janda, memperjuangkan ekonomi keluarga sendirian, belum lagi jika ia menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sudah jadi janda, harus mengurus kasus kekerasan yang menyakitkan, masih harus mendapatkan pelecehan di group-grup Whats App seperti ini.

Dan mengapa kita justru merasa bangga, merasa bisa menghibur orang lain dengan menyebarkan dan menggunakan status janda ini? Banyak kog pesan-pesan lucu lainnya tanpa kita harus melecehkan orang.

Saya pernah mewawancarai seorang perempuan penyintas KDRT, sebut saja namanya: N. Ia memperjuangkan kasusnya dan akhirnya pengadilan memenangkannya. Pengadilan juga memutuskan bahwa ia mendapatkan hak asuh atas kedua anaknya.

Usai bercerai hidupnya memang tak lebih baik. Namun lebih buruk lagi jika ia tetap berada di situasi dimana ia menjadi korban KDRT. N kemudian setengah mati menghidupi kedua anaknya. Bekerja menjadi buruh cuci, berjualan gorengan sampai menawarkan jasa sebagai penunggu orang sakit. Dari hasil kerja serabutan ini, N kemudian bisa membeli emas dan menabung untuk pendidikan anak-anaknya.

Kasus lain juga menimpa S yang bercerai dengan suaminya karena selalu diperlakukan buruk dalam berkomunikasi. S tidak pernah merasa nyaman dengan pernikahan tersebut. S punya satu anak ketika memutuskan untuk bercerai. Hidupnya juga sulit setelah bercerai karena ia harus membiayai ekonomi anaknya. Namun pilihan ini jauh lebih baik dibandingkan ia tetap bertahan dalam perkawinannya yang bisa membuatnya gila.

Kondisi setiap perkawinan tak pernah sama. Ada yang cukup beruntung mendapatkan suami yang baik dan mengerti, namun banyak perempuan yang tidak bisa mendapatkan kondisi ini. Suami yang buruk berkomunikasi atau suami yang kerap melakukan kekerasan salah satunya. Maka banyak perempuan yang kemudian harus pergi dari situasi ini karena harus menyelamatkan hidupnya dan hidup anaknya.

Menjadi jandapun juga berbeda-beda kondisinya. Ada yang bisa langsung kembali ke orangtunya sehingga jika ia punya anak, bisa diasuh berdua dengan orangtuanya. Namun ada banyak janda yang kemudian harus hidup sendiri dan menghidupi ekonomi keluarganya sendiri.

Yang jelas, semua cerita-cerita para perempuan janda ini tak layak untuk dijadikan lelucon. Ada banyak orang yang bisa memilih hidupnya, namun ada banyak orang yang tak bisa memilih hidupnya. Maka hidup seseorang, apapun kondisinya tak boleh dijadikan bahan becandaan, apalagi hanya sekedar menghibur di group Whats App. Yang ada justru memberikan stigma buruk.

Coba saja jika posisimu ditukar, kamu menjadi janda dan temanmu mengolok-olokmu. Apa yang akan kamu lakukan? Apakah kau tidak sakit hati melihat status perkawinanmu menjadi bahan olok-olok? Apakah anakmu tak akan sedih jika ibunya menjadi bahan becandaan kawan-kawan sekolahmu dulu?

Atau gini, gimana kalau suatu saat ibumu, adik perempuanmu tiba-tiba harus menjadi janda? Lalu mereka dijadikan bahan olok-olokan, ada pesan tentang adik atau ibumu yang dibagikan secara meluas dan tiba-tiba pesan itu mampir di handphonemu. Apa yang akan kamu lakukan?

Apakah kamu masih bisa tertawa karena temanmu menganggap itu bagian dari bahan hiburan?

Saya tidak tahu kebiasaan ini pertamakali datang darimana, namun jika kita lihat konstruksi yang ada di masyarakat, ini terjadi karena cara pandang mereka terhadap perempuan yang mereka anggap bisa dijadikan obyek olok-olokan. Yang kedua, karena banyak yang melihat perempuan sebagai orang yang lemah dan tak akan marah jika menjadi bahan becandaan. Yang ketika, karena konsep patriarki yang memandang perempuan sebagai kelas dua dan dianggap sebagai sesuatu yang tak penting.

Menjadikan obyek becandaan artinya sejak dalam pikiran kita menganggap bahwa orang tersebut bukanlah orang yang penting, tak patut dihormati. Kebiasaan seperti ini sudah terjadi sangat lama. Jika saya membiarkan kondisi seperti ini, ikut mentertawakan atau diam saja, maka kebiasaan buruk ini akan terjadi terus-menerus dan akan selalu berulang.

Apapun kamu, siapapun kamu, stop becandaan yang tak lucu dan meremehkan orang lain!

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Andreas Wicaksono, jurnalis dan penulis. Tinggal di Surabaya

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!