Ketua KPU Diduga Lakukan Tindakan Asusila, Merayu Korban Berbasis Relasi Kuasa 

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari diduga melakukan tindakan asusila. Hasyim memberikan janji-janji dan memanipulasi informasi dengan cara merayu korban. Semua ini dilakukan karena berbasis relasi kuasa.

Seorang perempuan, yang bertugas sebagai Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) melaporkan Ketua KPU, Hasyim Asy’ari ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Kamis (18/4/24). 

Hasyim Asyari dilaporkan karena diduga melakukan tindakan asusila berbasis relasi kuasa.

Laporan ke DKPP dilakukan oleh kuasa hukum pelapor dari Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKBH FHUI) dan LBH APIK Jakarta. Tim kuasa hukum pelapor mendatangi kantor DKPP Kamis siang dan menggelar konferensi pers setelah pelaporan.

Kuasa hukum korban, Aristo Pangaribuan menjelaskan bahwa pihaknya melaporkan Ketua KPU ke DKPP atas pelanggaran etik integritas dan profesionalitas.

“Pelanggaran etik integritas dan profesionalitas ini diduga melibatkan tindakan-tindakannya dalam membina hubungan personal dengan seorang PPLN di luar negeri,” katanya.

Maria Dianita dari LKBH FHUI menjelaskan kasus ini berawal pada Agustus 2023. Saat itu Ketua KPU melakukan kunjungan dinas dan bertemu pertama kali dengan korban. Setelah itu Ketua KPU mendekati, merayu bahkan melakukan perbuatan asusila terhadap korban.

Baca Juga: Aktivis: KPU Tak Wajib Tunduk pada DPR Untuk 30 Persen Suara Perempuan

Tindakan Ketua KPU tersebut diduga menyalahgunakan jabatan dan kewenangannya dengan memakai berbagai fasilitas kedinasan. Bahkan Hasyim Asy’ari selalu mengasosiasikan dirinya dengan kekuasaan. Ketua KPU juga memberikan janji-janji dan memanipulasi informasi untuk merayu korban agar memenuhi nafsu pribadinya.

“Selain itu catatan dari kami adalah adanya relasi kuasa. Pola perilaku ini dilakukan secara berulang-ulang karena tidak hanya terjadi kepada pengadu (pelapor) tapi juga ada putusan-putusan sebelumnya,” kata Maria Dianita dari LKBH FHUI.

Aristo menambahkan, pelanggaran kode etik serupa pernah dilakukan Ketua KPU terhadap Hasnaeni Moein, Ketua Umum Partai Republik Satu.

“Jadi kalau masih ingat sebelumnya, perbuatan serupa (dilakukan) Ketua KPU dengan Hasnaeni. Nah ini tipologi perbuatannya mirip-mirip. Kalau Hasnaeni itu adalah ketua umum partai (jadi) punya kepentingan, klien kami seorang perempuan petugas PPLN, dia tidak punya kepentingan. Tapi dia merasa menjadi korban dari hubungan relasi kuasanya karena ini kan bosnya, Ketua KPU,” jelasnya.

Pada kasus pelanggaran asusila terhadap Hasnaeni tersebut DKPP telah mengeluarkan putusan No. 35-PKE-DKPP/II/2023 dan No. 39-PKE-DKPP/II/2023 pada 3 April 2023. Dalam putusannya DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asyari.

Korban Akhirnya Mengundurkan Diri Sebagai PPLN

Tindakan Hasyim Asyari yang secara aktif dan terus-menerus mendekati, merayu dan melakukan perbuatan asusila tersebut membuat korban merasa dirugikan. Meski korban sudah menyampaikan keberatan, tapi terlapor tak menghiraukannya. Hingga akhirnya korban mengundurkan diri sebagai PPLN sebelum pemilu Februari 2024 lalu.

Maria menjelaskan hingga saat ini korban masih memiliki trauma dengan laki-laki. Sikap ini terlihat ketika korban melihat laki-laki yang belum dikenal.

“Kami satu tim dari LKBH itukan memang banyak laki-lakinya, jadi korban ini kaget ketika beberapa laki-laki masuk ke dalam ruangan. Jadi trauma itu masih terlihat,” ujarnya.

Sementara itu laporan ke DKPP secara formil sudah memenuhi syarat tinggal menunggu pemeriksaan aspek materialnya untuk bisa lanjut ke persidangan.

“Secara formil memenuhi syarat, makanya kita diberikan tanda terima. Tapi habis ini masih dicek dulu ke soal materialnya. Ya mudah-mudahan bisa lolos ke materialnya dan akan dijadwalkan sidang,” jelas Aristo.

Ia menambahkan pihaknya berharap DKPP menjatuhkan sanksi etik maksimal berupa pemberhentian tetap Hasyim Asyari dari ketua sekaligus anggota KPU. Ini lantaran sebelumnya Hasyim sudah pernah mendapat sanksi peringatan keras terakhir.

“Di sini harus dilihat ini adalah tipologi perbuatan yang sama dengan yang dilakukan terhadap Hasnaeni. Artinya kalau begitu sudah tidak ada lagi peringatan keras terakhir. Jadi kami berharap sanksi yang terberat, yaitu diberhentikan,” kata Aristo.

Ia menegaskan tidak ada kepentingan politik praktis dari laporan yang dibuat pelapor selain kepentingan korban.

Aktivis Serukan Ekosistem Penyelenggara Pemilu yang Adil Gender

Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati dalam diskusi “Mewujudkan Ekosistem Penyelenggara Pemilu yang Adil Gender”, Jumat (19/4/24) mengaku terkejut atas laporan tersebut.

Pasalnya laporan yang dilakukan petugas PPLN tersebut bukan kasus yang pertama. Apalagi pada kasus sebelumnya dengan Hasnaeni, Ketua KPU mendapat sanksi dari DKPP berupa peringatan keras. Artinya tidak ada efek jera karena terjadi pengulangan perbuatan yang hampir sama.

Mike mengatakan KPI maupun Kalyanamitra mendukung upaya pelaporan yang dilakukan kuasa hukum korban dan tuntutan yang diajukan. Menurutnya sudah sepatutnya DKPP memberhentikan Ketua KPU yang sudah melakukan pelanggaran etika secara berulang.

“Saya turut mendukung supaya putusan yang diminta di dalam pelaporan itu betul-betul dapat dikabulkan oleh DKPP. Bahwa sebaik-baiknya pejabat penyelenggara pemilu yang telah melakukan pelanggaran etika seberat ini harusnya sudah segera diberhentikan,” kata Mike.

KPI juga menyoroti belum terimplementasinya aturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender dalam regulasi pemilu. Hal ini menjadi catatan penting untuk proses seleksi penyelenggara pemilu ke depan. Agar sejak proses awal di tahap seleksi kriteria tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan jadi penilaian yang penting.

Baca Juga: Keterwakilan Perempuan di Parlemen Diprediksi Naik, Tapi Masih Ada Belenggu Masalah Ini

Jadi kriteria penilaian yang dipakai untuk menyeleksi pejabat penyelenggara pemilu bukan hanya terkait dengan pengetahuan dan pengalaman teknis. Melainkan seharusnya juga mencakup kapasitas moral dan etik yang kuat dan dipegang teguh selama menjalankan tanggung jawabnya.

“Jadi ketika kita bicara soal nilai-nilai pejabat penyelenggara pemilu, itu bukan hanya nilai-nilai yang berkaitan dengan teknis kerja mereka. Atau bicara soal kemampuan pengetahuan mereka atau pengalaman mereka saja. Tetapi bagaimana secara moralitas atau secara etika kita pastikan mereka bisa kuat ketika nanti mereka menduduki jabatannya,” ujar Mike.

Ia menambahkan kasus kekerasan berbasis gender semacam ini tidak hanya terjadi di pusat tapi juga di KPU daerah. Seperti yang terjadi pada pejabat KPU di Labuhan Batu Selatan, Sumatera Utara. Ia dilaporkan melakukan kekerasan terhadap perempuan berupa memberikan iming-iming, merayu, melakukan intimidasi dan menelantarkan.

Selain menguatkan mekanisme seleksi terhadap pejabat atau komisioner penyelenggara pemilu, Mike melihat yang tak kalah penting adalah panitia seleksinya (pansel). Pansel harus punya rekam jejak dan wawasan atau pengetahuan yang mumpuni. Jadi dia bisa menilai seorang calon bukan hanya dari aspek profesionalitas melainkan juga etika dan moralitas.

Ia menyayangkan pansel masih didominasi laki-laki. Bahkan dalam proses seleksi tak jarang pansel mengajukan pertanyaan atau pernyataan yang mendiskriminasi calon perempuan. Pelabelan terhadap calon perempuan akan membuat perempuan kehilangan kesempatan untuk duduk sebagai komisioner atau penyelenggara pemilu.

Baca Juga: Pencinta Kucing sampai Joget Gemoy, Gimik Gaet Gen Z ini Ampuh Menangkan Prabowo- Gibran

Selain itu belum ada aturan yang bisa jadi rujukan agar persoalan kekerasan berbasis gender bisa ditangani sebagai bagian dari pelanggaran pemilu. Menurut Mike ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diatasi bersama ke depan. Agar kejadian-kejadian seperti yang dilaporkan sekarang tidak terjadi lagi.

Senada dengan Mike, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah berpendapat untuk membangun ekosistem penyelenggara pemilu yang nirkekerasan harus dimulai dari proses rekrutmen. Komnas Perempuan sendiri sudah menyampaikan masukan agar poin terkait kekerasan berbasis gender masuk dalam kriteria seleksi. Namun sayangnya masukan ini ternyata tidak menjadi pertimbangan.

“Jadi dalam proses rekrutmen siapapun yang direkrut harus bersih dari kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dalam bentuk apapun. Baik itu fisik, psikis, seksual maupun ekonomi. Jadi dia harus clean and clear,” tegas Aminah.

Dari proses rekrutmen yang menghasilkan penyelenggara pemilu yang clean and clear, selanjutnya dalam pelaksanaan pemilu, penyelenggara harus membangun iklim kerja nirkekerasan. Termasuk juga membuat kebijakan berperspektif perempuan dan HAM. Seperti kebijakan afirmasi 30 persen dan rekrutmen pengadaan barang dan jasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah HAM.

Penyelenggara pemilu juga harus menyusun mekanisme pencegahan dan penanganan TPKS di internal komponen pemilu baik di DKPP, Bawaslu maupun KPU. Menurut Aminah penting juga membangun pencegahan agar perempuan-perempuan yang bekerja di dalam sistem penyelenggaraan pemilu dapat terlindungi.

Aminah menjelaskan seluruh proses ini berkontribusi terhadap integritas penyelenggara pemilu sekaligus kualitas demokrasi Indonesia.

Karena itu Komnas Perempuan mengapresiasi langkah LKBH FHUI dan LBH APIK Jakarta untuk melakukan pelaporan. Komnas Perempuan juga siap mengawal kasus tersebut bersama elemen masyarakat sipil lainnya agar tidak terjadi impunitas.

Daftar Pelanggaran Etik yang Dilakukan Ketua KPU

Selain dugaan pelanggaran etik yang dilayangkan petugas PPLN tersebut, Ketua KPU tercatat telah melakukan sejumlah pelanggaran etik. Mulai dari bertemu peserta pemilu, salah hitung kuota 30% perempuan, menerima pencalonan Gibran Rakabuming hingga rekrutmen calon anggota KPU Kabupaten Nias Utara.

Bertemu peserta pemilu

Hasyim terbukti melakukan perjalanan pribadi dari Jakarta ke Yogyakarta pada 18 Agustus 2022 bersama Hasnaeni Moeis. Tiket perjalanan dibiayai Hasnaeni dan selama di Yogyakarta mereka melakukan ziarah ke sejumlah tempat.

Padahal, pada 18-20 Agustus 2022, Hasyim punya agenda resmi sebagai Ketua KPU. Ia dijadwalkan menghadiri penandatanganan MoU dengan tujuh perguruan tinggi di Yogyakarta.

DKPP menyatakan Ketua KPU terbukti melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) dan menjatuhkan sanksi Peringatan Keras Terakhir. Sanksi tersebut dibacakan dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di Ruang Sidang DKPP, Rabu (3/4/2023).

“Menjatuhkan sanksi Peringatan Keras Terakhir kepada Teradu Hasyim Asyari selaku Ketua KPU RI terhitung sejak putusan ini dibacakan,” kata Ketua Majelis Heddy Lugito dikutip dari website DKPP.

DKPP menilai pertemuan tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Pertemuan itu dinilai tidak patut dan tidak pantas dilakukan Hasyim selaku Ketua KPU dengan kapasitas dan jabatan yang melekat.

Selain itu, Hasyim terbukti memiliki kedekatan pribadi dengan Hasnaeni. Keduanya berkomunikasi secara intensif melalui WhatsApp dengan berbagi kabar di luar kepentingan kepemiluan.

DKPP menilai tindakan Hasyim selaku penyelenggara Pemilu terbukti melanggar prinsip profesional dengan melakukan komunikasi yang tidak patut dengan calon peserta pemilu. 

Sementara itu, Hasyim tidak terbukti melakukan tindak pelecehan seksual terhadap Hasnaeni. Ini lantaran tidak ada alat bukti materiil dan tidak ada saksi yang menguatkan terkait aduan pelecehan seksual.

Salah hitung kuota 30 persen perempuan calon anggota DPR/DPRD

DKPP menyatakan Hasyim melanggar kode etik terkait pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU 10 Tahun 2023. Pasal itu membahas pembulatan ke bawah dari 30 persen pencalonan perempuan dalam pemilu DPR/DPRD. Sebelumnya, melalui putusan Mahkamah Agung, ketentuan kuota perempuan dinilai melanggar UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

DKPP menilai Hasyim seharusnya memiliki pengetahuan dan pengalaman yang mumpuni di bidang kepemiluan. Sikap KPU ini menyebabkan ketidakpastian hukum yang berdampak bagi peserta pemilu. Hasyim dijatuhi sanksi peringatan keras pada Rabu, 10 Oktober 2023.

Terima pencalonan Gibran Rakabuming

Hasyim dan enam anggota KPU lainnya diadukan ke DKPP karena menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka pada 25 Oktober 2023. Mereka diadukan lantaran menerima pendaftaran sebelum merevisi PKPU Nomor 19 Tahun 2023 setelah putusan MK.

DKPP menilai Hasyim terbukti tak mampu menunjukkan sikap kepemimpinan yang profesional dalam melakukan komunikasi dan koordinasi kelembagaan. Hasyim juga terbukti melanggar ketentuan Pasal 15 huruf c Peraturan DKPP tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.

Kasus rekrutmen calon anggota KPU Kabupaten Nias Utara

Pengadu dalam kasus ini adalah Linda Hepy Kharisda Gea, calon anggota KPU Kabupaten Nias Utara terpilih periode 2023-2028.

Pengadu melaporkan Hasyim ke DKPP karena mengganti Linda secara mendadak, sehingga gagal dilantik sebagai anggota KPU Kabupaten Nias Utara terpilih periode 2023-2028. Sebelumnya, nama Linda sudah tercantum dalam pengumuman calon anggota KPU terpilih kabupaten dan kota yang dikeluarkan KPU. 

DKPP menyatakan Hasyim terbukti melanggar ketentuan Pasal 44 Ayat 1 Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2023 jo Pasal 6 Ayat 2 huruf c, Pasal 6 ayat 3 huruf a dan i, Pasal 11 huruf c Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum.

(Sumber Gambar: Instagram KPU RI)

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!