Ketika Tubuh Bukan Menjadi Milik Perempuan

Poedjiati Tan – ww.konde.co

Sore tadi secara
tidak sengaja mendengarkan percakapan seorang perempuan muda dengan ibunya di
foodcourt. “Ma, kalau aku tatto seperti perempuan itu boleh nggak?Tanya
perempuan muda itu sambil menunjuk seorang perempuan yang memiliki tatto dari
tengkuk sampai kepunggung. Aku yang kebetulan duduk disampingnya ikut melihat perempuan yang
duduk di seberang kami. “Sudah nggak usah macam-macam, hanya perempuan
nakal aja yang punya tatto!Jawab Mamanya. “Tatto itu khan seni ma!Jawab
anaknya berusaha membantah pendapat mamanya. “Ingat kamu itu belum kawin,
laki-laki mana yangmaupunya istri bertatto, apa kata orang nanti tentang kamu?Jawab mamanya yang terlihat
mulai emosi dan tidak suka dengan rencana anaknya.

Percakapan ini
mengingatkan saya akan kehebohan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi
Pudjiastuti setelah dilantik menjadi
menteri oleh Presiden. Mereka ribut membicarakan tattoo dan persoalan merkok di depan awak media. Di
twitter langsung heboh membullymenteriSusi, bahkan sampai membahas soal perkawinannya dan
juga cara berpakaiannya.

Tatto memang sedang menjadi trend akhir-akhir ini. Kalau dulu Tatto selalu
mempunyai kesan negatif. Dan biasanya laki-laki yang memiliki tatto. Laki-laki
yang mempunyai tatto cenderung dipersepsi sebagai laki-laki yang suka berantem,
suka mabuk, kriminal. Tetapi sekarang laki-laki yang mempunyai tatto dianggap
jantan, seniman, artis, gaul, dan keren. Tapi tidak untuk perempuan, perempuan
yang memiliki tatto masih cenderung dianggap tidak baik, dianggap perempuan
yang pergaulannya bebas, nakal, liar dan sering dianggap bukan perempuan
baik-baik. Bukan hanya tatto aja yang ditabukan untuk perempuan. Bahkan perempuan
yang berambut cepak atau gundul juga dianggap tidak lazim.

Menjadi perempuan di Indonesia memanglah tidak mudah, negara yang patriaki
dan hetero normatif. Tubuh perempuan seakan bukan miliknya sendiri tapi milik
keluarganya bila belum menikah, milik suaminya ketika sudah menikah, dan
negarapun ikut mengatur tubuh perempuan. Mulai dari cara berpakaiannya seperti
terdapat dalam perda-perda di beberapa daerah, serta sensor di televisi. Bahkan
keperawanannyapun harus diketahui ketika masuk kepolisian. 

Tubuh perempuan seakan menjadi objek yang harus dikontrol, dijaga,
ditabukan dan dipersiapkan untuk laki-laki. Setiap anak perempuan selalu
diajarkan bagaimana dia macak, manak dan masak untuk suaminya kelak. Perilakunya
harus dijaga, tubuhnya harus dirawat tapi bukan untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk laki-laki yang akan menjadi suaminya. Kita lihat saja bagaimana
iklan-iklan kecantikan semua diperuntukan untuk memikat laki-laki atau
membahagiakan suami. Perempuan seperti tidak punya hak atas tubuhnya sendiri,
bahkan cita-cita dan perasaannya, sering kali bukan merupakan pilihannya.

Melalui sosialisasi dan enkulturalisasi, tempat perempuan dijadikan sebagai
yang virtuous atau yang paling baik
bagi perempuan. Mereka harus menurut terhadap laki-laki bila ingin dikatakan
baik dan berbudi. Tidak boleh membantah dan ekspresinya harus dijaga dan sesuai
dengan tata krama.

Simone de
Beauvoir, feminis sekaligus filsuf dalamThe Second Sexmenyatakan
bahwa dihadapan tatapan laki-laki, perempuan, entah dalam masyarakat maternal
maupun paternal adalah objek sang patriark, yang membuat perempuan kehilangan
subyektivitasnya. Jadi mengikuti argumen ini, perempuanselalu berada
dalam posisi yang tidak menguntungkan, perempuan berada di dunia dimanaakumulasi dan
sirkulasi nilai maskulin menjadi acuan, perempuan kehilangan diri dan tak pernah menjadi diri sendiri. (de Beauvoir, 1956;
172-173)

Disadari atau tidak masyarakat kita sering memarginalkan perempuan. Polarisasi
seksualitas laki-laki dan perempuan seperti produk system gender dengan angka
yang besar, yang mana digunakan untuk menunjukan bahwa perempuan itu perlu
dibatasi, memiliki tempat yang aman dan terkontrol untuk ekspresi seksualnya.
Akibat yang sangat membahayakan dari tidak sejajarnya gender yang memungkinkan terjadinya
kekerasan dan juga pengontrolan dari dalam diri perempuan, meracuni hasrat
perempuan dengan menanamkan keraguan dan kecemasan pada diri perempuan.
Perempuan dibuat seakan-akan dirinya tidak bisa hidup tanpa laki-laki.

Seperti kata Simone de Beauvoir, betapa begitu jelasnya diskriminasi
terhadap  perempuan dalam streotip yang
membedakan perempuan dan laki-laki dan mempertanyakan “what is a woman?” Laki-laki
mampu berfikir dengan dirinya sendiri tanpa perempuan, tetapi sebaliknya
perempuan tidak mampu berfikir akan dirinya sendiri tanpa laki-laki. Perempuan
merupakan apa yang laki-laki putuskan dan tetapkan. Perempuan dinamakan “the
sex” dengan maksud bahwa perempuan muncul berguna untuk laki-laki sebagai “sexual
being”. Perempuan hanyalah seks- absolut seks, tidak lebih.

Ideologi patriakal, menurut Kate Millet dalam bukunya Sexual Politic,
membesar-besarkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, dan
memastikan bahwa laki-laki selalu mempunyai 
peran yang maskulin dan dominan, sedangkan perempuan selalu mempunyai
peran yang subordinat, atau feminin. Ideologi ini begitu kuat, hingga laki-laki
biasanya mampu mendapatkan persetujuan dari perempuan yang mereka opresi.

Aku berada di
dunia melalui badan atau tubuhku. Badanku menjadi badan manusiawi karena
kesatuannya dengan aku. Jika badanku sakit, akulah yang sakit. Jika kakiku
mendaki gunung, akulah yang mendaki gunung. Jika mataku terbuka, akulah yang
memandang. Jika badanku disentuh, akulah yang disentuh. Akan tetapi bila bajuku
sobek, bukan aku yang sobek. Badanku merupakan kesatuan dengan aku. Manusia
dapat berkata, ”aku adalah badanku ini” I am my body, tetapi juga bisa
dikatakan ”aku mempunyai badan” I have my body (dalam Adelbert Snijders,
2004:23-34). Tubuh perempuan dalah
milik perempuan itu sendiri dan biarkan dia yang menentukan dan memutuskan yang
terbaik buat tubuhnya.

Sumber :

de Beauvoir(1988), Simone, The Second Sex, London: Pan books
Ltd.

Monografi LSR 9
(1998)  Perempuan dan Politik Tubuh
Fantastis, Kanisius, Jakarta

https://www.academia.edu/9951328/Hukum_Progresif_dalam_Krisis_Undang-Undang_Pornografi_Perlindungan_ataukah_Objektifikasi_Tubuh_Perempuan

https://eprints.uns.ac.id/818/1/Tubuh_Perempuan_MEDAN_KONTESTASI_KEKUASAAN_PATRIARKIS.PDF

https://www.academia.edu/10291059/Kekuasaan_Negara_atas_Tubuh_Perempuan_Studi_Kasus_Female_Genital_Mutilation_di_Sierra_Leone

http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-005%20Pinky.pdf

foto : saltlakeartpun.wordpress.com dan disesuaikan oleh poedjiati tan

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!