“Aku sudah nggak bisa nangis mbak, aku ngedrop,” demikian bunyi pesan tertulis yang penulis terima, Rabu (15/12/2021) sore.
Rabu sore itu memang bukan hari yang indah bagi Sri Nurherwati (51). Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) periode 2010-2014 dan 2015-2019 ini mendadak mules-mules, demam, dan gula darahnya naik usai mendapat kabar bahwa Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) ‘hilang’ dari daftar RUU yang akan disahkan menjadi inisiatif DPR pada Sidang Paripurna akhir masa sidang DPR RI 2021.
Padahal seminggu sebelumnya, tepatnya pada Rabu (8/12/2021), Nurher, yang juga Ketua Yayasan Sukma itu dan beberapa aktivis perempuan terlihat sumringah.
Lembaga Sukma yang fokus mengawal isu perempuan dan anak dan pendiri Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM) bersama teman-teman seperjuangan yang tergabung dalam Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Anis Hidayah (Migrant Care), Mutya (KAPAL Perempuan), Yuni Chuzaifah (rekan Nurher di Komnas Perempuan) merasa sukses mengawal RUU TPKS.
Usai mengawal rapat Badan Legislatif DPR RI, alat kelengkapan DPR yang membahas perundangan, dengan agenda mendengarkan pendapat mini fraksi untuk pengambilan keputusan RUU TPKS, para perempuan aktivis ini bersuka cita. Tujuh fraksi di DPR (FP Nasdem, FPDIP, FPKB, FPAN, FPPP, FP Demokrat, FP Gerindra) setuju RUU TPKS dibawa ke Sidang Paripurna, Fraksi Partai Golkar menyatakan sikap untuk menunda RUU TPKS dengan alasan satu di antaranya perlu mendengar pendapat dari tokoh agama juga publik, dan Fraksi PKS menolak.
Artinya, tujuh fraksi sudah cukup kuat untuk membawa RUU TPKS ke Sidang Paripurna untuk disahkan sebagai RUU inisiatif DPR RI. Jika sudah disahkan di Sidang Paripurna berarti tinggal selangkah lagi, DPR bisa melakukan pembahasan dengan pemerintah, melakukan harmonisasi untuk selanjutnya diundangkan.
“Ini (persetujuan Baleg membawa RUU TPKS ke Sidpur) langkah maju. Kita perlu syukuri dengan harus tetap mengawal sampai benar-benar diketok (disahkan) dalam Sidpur,” ujar Anis dengan senyum merekah. Namun, kebahagiaan itu hanya berumur seminggu. Sepekan setelah kebahagiaan itu bak mimpi di siang bolong, pesan chat yang berbalas dari satu anggota ke anggota whatsapp di forum jaringan perempuan yang membagikan berkas, isi balasan chat anggota dewan, lembaran undangan yang berisi agenda Sidpur (tanpa RUU TPKS di didalamnya) membuat Nurher, Anis, dan sejumlah aktivis perempuan yang mengawal RUU TPKS berang.
Mereka mempertanyakan komitmen anggota dewan, pimpinan DPR yang berkali-kali kepada media menyampaikan akan mengawal RUU TPKS sampai disahkan. Ungkapan chat kekecewaan, marah di grup WA kelompok jaringan berkelebatan. Namun tak sedikit yang berusaha mendinginkan suasana.
“Kita tunggu. Semoga malam ini keputusan berubah, pimpinan DPR tergerak hatinya mengambil keputusan lalu mengesahkan saat Sidpur,” ujar Ratna Batara Munti, Koordinator Advokasi Asosiasi LBH Apik.
Namun kekecewaan RBM, panggilan Ratna tak bisa dia sembunyikan. Saat konferensi pers bersama media, aktivis perempuan pengawal RUU TPKS dari puluhan lembaga di Indonesia yang juga dihadiri anggota dewan yang juga Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya dan Taufik Basari (keduanya dari FP Nasdem), RBM meradang.
“Ini (hilangnya RUU TPKS dari daftar agenda pengesahan Sidpur) maksudnya apa? Gagalnya RUU TPKS disahkan dalam Sidang Paripurna membuktikan bahwa sejumlah anggota dewan ini hilang sense of crisis di tengah maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia,” ujarnya.
Bivitri Susanti, pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) yang juga Wakil Ketua Bidang Akademik dan Penelitian di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera tak kalah kesalnya. Ia bersama kawan-kawan aktivis perempuan merasa diperdayai. Apalagi sejumlah kasus KS yang belakangan terjadi mengguncangkan hatinya. Kasus NW yang bunuh diri di pusara ayahnya karena tertekan kasus perkosaan yang dialaminya, juga kasus puluhan santri anak yang diperkosa guru ngajinya. Fakta ini, menurut Bibiv, panggilan Bivitri, sudah saatnya dihentikan dengan segera disahkannya RUU TPKS.
“Apa karena RUU TPKS ini tidak ada nilai ekonomi politiknya. Sehingga bagi anggota dewan yang tidak setuju RUU ini disahkan menganggap nggak ada faedahnya. Berbeda dengan RUU Cipta kerja, revisi UU KPK yang cepat sekali pembahasan dan pengesahannya,” ujarnya.
Mendengar serbuan pertanyaan dari peserta konpers yang dilakukan secara daring Willy Aditya, Ketua Panja RUU TPKS, tampak gelisah. Anggota dewan dari Dapil Jawa Timur XI tampak sesekali menghela napas. Dia berusaha menjelaskan kronologis hilangnya RUU TPKS dari daftar agenda pengesahan Sidpur. Mulai bagaimana surat Baleg dikirimkan ke Badan Musyawarah (alat kelengkapan DPR RI ) hingga mengecek posisi RUU TPKS sebelum dibawa ke Sidpur.
“Yang terjadi sebenarnya masalah teknis. Bamus tidak mengadakan rapat sehingga RUU TPKS tidak masuk agenda pengesahan sebagai RUU inisiatif DPR di sidang paripurna. Tetapi pada intinya, semua clear nanti akan diketok pada Sidpur Januari. Aman,” ujar Willy dengan berusaha menata posisi duduk dan meletakkan handphone yang digunakan online di hadapannya. Menurut Willy, kesalahpahaman itu tak ia sangka sebelumnya karena dia mengira Bamus akan merapatkan dan membawa keputusan ke Sidpur.
Keteledoran Bamus
Penulis mencari tahu tentang fungsi dan tugas Bamus di laman dpr.go id. Dalam laman tersebut menjelaskan bahwa salah satu tugas Bamus adalah menetapkan agenda DPR untuk satu tahun sidang, satu masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang, perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian RUU, dengab tidak mengurangu kewenangan rapat pariourna untuk mengubahnya.
Ratna Batara Munti menganggap hilangnya RUU TPKS dari agenda Sidpur akibat keteledoran Bamus. Bamus sebagai alat kelengkapan dalam kasus RUU PRT juga RUU TPKS tampak powerfull tapi tidak transparan.
“Apa yang sudah Bamus lakukan jelas melanggar undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Kita tidak boleh diam,” ujarnya.
Setali tiga uang dengan yang disampaikan Willy, politisi FPDIP Diah Pitaloka juga berpendapat sama. Hilangnya RUU TPKS dari agenda Sidpur lebih karena persoalan teknis. Bukan karena alasan sengaja menggagalkan RUU TPKS.
“Tidak benar itu. Kami berkomitmen mengawal sampai disahkan. Tetap akan kita perjuangkan,” ujarnya.
Ia menyarankan kepada para aktivis perempuan untuk tidak membuang energi positif hanya karena kesalahan teknis. Apalagi partainya punya komitmen kuat mendukung pengesahan RUU TPKS.
Namun, janji dan jawaban Willy juga Diah, masih belum membuat tenang hati Nurher dan para aktivis perempuan, advokat, juga salah satu anggota Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Mereka tidak mau percaya begitu saja.
Apalagi malam sebelum informasi hilangnya RUU TPKS dalam agenda Sidpur, KUPI usai mengadakan istighosah kubro yang diikuti hampir 900 jamaah dari berbagai elemen, ada pesantren, serikat Perempuan Kepala Keluarga (PeKKa), advikat, pendamping, ustazah, santri dan badan otonom Nahdlatul Ulama.
“Semangat jamaah yang mengikuti istighosah luar biasa yang menunjukkan semangat bahwa mereka berharap RUU TPKS disahkan. Kami akan terus melakukan aksi-aksi kembali sampai RUU TPKS disahkan,” ujar Pera Soparianti, anggota KUPI yang juga Direktur Rahima.
Salah seorang sumber menyebutkan bahwa RUU TPKS sebenarnya bisa dengan mudah disahkan jika pimpinan DPR memutuskan mengambil alih. Menurut sumber pula, komitmen Puan Maharani selaku pimpinan DPR, terhadap RUU TPKS disangsikan.
Sejumlah aktivis berusaha beramai-ramai mengirim pesan yang ditujukan kepada Puan. Isi pesan adalah mengonfirmasi kebenaran informasi pada lampiran surat undangan Sidpur. Pesan juga ditujukan kepada orang-orang terdekat Puan, tetapi pesan itu tak berbalas, hanya dibaca. Akhirnya, kelesuan, kekecewaan, dan kemarahan berlanjut hingga Sidpur usai dilakukan.
Dalam rilis yang diberikan ke media, Puan menjanjikan pengesahan RUU TPKS menjadi inisiatif DPR pada Sidang Paripurna pembukaan masa sidang 2022.
Angin segar yang diembuskan usai pembacaan pengambilan keputusan RUU TPKS di Baleg memudar. Aktivis perempuan yang tergabung dalam jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual merasa hanya diberi harapan.
“Jangan-jangan partai yang menyatakan menunda sebenarnya hanya menggunakan diksi seolah peduli terhadap korban KS, padahal sebenarnya menolak RUU TPKS. Dan yang kami khawatirkan mereka mempengaruhi partai lain untuk mengikuti suaranya,” ujar Nurher.
Sebagaimana diketahui bersama, Sidpur pada Kamis (16/12/2021) gagal mengesahkan RUU TPKS menjadi RUU Inisiatif DPR RI . Rencananya Sidpur akan kembali dilakukan pada13 Januari untuk pembukaan masa sidang 2022.