Luviana –www.konde.co
Konde.co,
Jakarta – Shabu Chaya adalah judul sebuah
drama mingguan yang diputar selama 13 minggu di Bangladesh. Drama Shabu Chaya
menceritakan tentang problem sosial masyarakat Bangladesh.
India dan
Bangladesh memang mempunyai banyak program drama untuk melakukan kampanye soal
kondisi masyarakat disana. Soal kesehatan, soal HIV/AIDS dan soal perempuan.
Hal lain yang sering ditayangkan adalah soal pernikahan dini, tentang kesehatan
reproduksi yang diselipkan dengan info kekerasan terhadap perempuan, dll.
Drama ini
banyak diputar di radio dan Televisi. Program ini umumnya memberikan
pengetahuan baru kepada masyarakat misalnya pengetahuan tentang klinik
kesehatan dan bagaimana menggunakan alat kontrasepsi modern. Yang menarik dari
acara ini adalah bagaimana mereka mampu mengetengahkan cerita-cerita ini dalam sebuah drama yang
sederhana dan memikat.
Di
Indonesia, kita jadi teringat drama radio yang berjudul “Butir-Butir Pasir di
Laut” yang mengetengahkan cerita tentang
program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia di tahun 1980-an. Atau drama-drama
serial di Televisi yang mengetengahkan persoalan kemiskinan di Indonesia
seperti Keluarga Cemara. Namun sayang, hingga sekarang drama dengan pesan
perubahan sosial dan pengetahuan tentang situasi di masyarakat seperti ini,
minim kita jumpai di radio dan Televisi.
Di Televisi
misalnya, kita lebih banyak melihat tayangan drama yang muncul menjadi sinetron
(sinema elektronik). Memang tak ada bedanya antara drama dan sinetron
sebagaimana terminologinya, karena sama-sama merupakan sebuah tayangan yang
menampilkan tentang manusia dan kompleksitas hidupnya.
Bedanya,
jika sejumlah drama di India dan Bangladesh banyak menampilkan problem sosial
masyarakat, namun sinetron di Indonesia justru bertubi-tubi memberikan label
atau stereotype. Sinetron selalu diisi oleh karakter manusia jahat versus
manusia baik. Sinetron merupakan kisah perlawanan antara tuhan dan iblis. Tak
ada identitas dan karakter manusia dengan segala persoalannya disana. Padahal
sifat manusia adalah punya sisi baik, sisi buruk atau mempunyai sifat antara
sisi baik dan buruk. Manusia jelas bukan tuhan maupun iblis.
Di India dan
Bangladesh, drama merupakan sebuah cara yang digunakan untuk melakukan
perubahan sosial dengan menggunakan pendekatan emosi. Cara ini secara populer
digunakan sejak tahun 1970 dan dianggap ampuh untuk mengkomunikasikan sebuah
pengetahuan baru.
Tidak hanya
satu kelompok audience yang bisa diberikan pengetahuan baru, namun seluruh
keluarga bisa diajak untuk menonton atau mendengarkan drama. Misalnya: orangtua
bisa belajar bagaimana menerapkan metode pendidikan kesehatan reproduksi untuk
anak, sedangkan anak-anak juga bisa belajar tentang kesehatan reproduksi dari
tayangan drama tersebut. Disitulah tercipta komunikasi antara orangtua dan
anak.
Di Amerika
Latin, bahkan metode penyampaian pesan melalui drama ini sudah dilakukan sejak
tahun 1940. Mereka banyak memproduksi drama yang dikaitkan dengan kehidupan
sehari-hari sambil disisipkan informasi soal pengetahuan baru.
Tak hanya
drama, beberapa contoh acara yang biasa dibuat untuk mengajak masyarakat melakukan
perubahan sosial misalnya : musik populer, komedi situasi, film dan Iklan
layanan masyarakat. Selain itu ada pula testimoni program, talkshow, interview
dan juga berita.
Karena media
pada dasarnya adalah alat utk mengajak orang berpartisipasi. Salah satu filsuf, Jurgen Habermas dalam
teorinya mengatakan tentang publik yang harus diberikan ruang di media. Media
sudah seharusnya memberikan ruang bagi masyarakat utk berpartisipasi dalam
lingkungannya. Drama merupakan salah satu cara untuk memberikan kesadaran baru
dan mengajak masyarakat untuk aktif melakukan perubahan sosial. Jika bukan
sekarang, kapan lagi?.
Foto: baltyra.com