Perkawinan Anak Perempuan dan Pertaruhan Masa Depannya (2- Habis)

Luviana – www.konde.co

Perkawinan anak di Indonesia terjadi di banyak tempat. Bahkan di Asean, Indonesia menempati peringkat kedua dalam hal jumlah perkawinan anak setelah Kamboja.

Tradisi atau budaya di sejumlah wilayah di Indonesia memang menganggap perkawinan pada usia anak sebagai suatu hal yang wajar. Seperti jika anak perempuan tidak segera memperoleh jodoh, maka orang tua kemudian merasa malu karena anaknya belum juga menikah. Anak-anak perempuan yang belum menikah ini  kemudian akan mendapat stigma sebagai perawan tua oleh masyarakat. Stigma ini yang kemudian membuat orangtua tidak tahan, mereka merasa ada yang salah dengan anak perempuannya. Mengapa anaknya tidak laku-laku seperti anak perempuan lainnya. Akibatnya perempuan atau anak-anak perempuan merasa seperti mendapat stigma sebagai orang yang tidak laku dan kemudian harus mendapatkan sebutan sebagai perawan tua. Akibatnya banyak anak-anak perempuan yang harus dinikahkan secara cepat setelah itu.

Apa saja Akibat Perkawinan Dini bagi Anak Perempuan?

Sejumlah organisasi masyarakat sipil dalam laporannya di Konferensi perempuan internasional Beijing+20 di New York tahun 2015 lalu memaparkan sejumlah data perkawinan anak ini. Berdasarkan riset Badan Kependudukan  dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2010 menunjukan bahwa prevalensi umur perkawinan pertama anak-anak di Indonesia ada yang berusia antara 15-19 tahun, yaitu sebanyak 41,9 persen dari total jumlah perkawinan di Indonesia.

Di daerah perkotaan sebanyak 21,75% anak-anak dibawah usia 16 tahun sudah dikawinkan. Di pedesaan, angkanya jauh lebih besar yaitu 47,79 %. Perkawinan anak ini berkontribusi pada tingginya Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) dan bayi.

Berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kependudukan Indonesia tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) dan bayi meningkat tajam dari 228 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, naik menjadi 359 kematian ini per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2012.

Kondisi ini tidak hanya menyebabkan AKI tinggi, tetapi juga anak yang dilahirkan beresiko memiliki berat badan rendah, pendek, dan intelejen minim.

Di sisi lain, perkawinan anak pun menyebabkan tingginya angka perceraian dan angka drop out/ putus sekolah. Anak perempuan yang menikah atau hamil biasanya akan dikeluarkan dari sekolah dan dikucilkan oleh lingkungannya. Perkawinan anak akan menghambat pencapaian 5 tujuan dalam target Sustanability Development Goals (SDGs), yaitu : penanggulangan kemiskinan, pencapaian pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender, menurunkan angka kematian anak, dan meningkatkan kesehatan ibu.

Masa depan anak-anak perempuan kemudian dipertaruhan disini. Setelah harus menikah dalam usia belia, ia kemudian harus menangung beban reproduksi pada kesehatannya. Setelah itu ia harus kehilangan kesempatan dalam pendidikan dan untuk memperbaiki hidupnya. Anak-anak perempuan seolah tak punya cita-cita lagi jika dihadapkan pada situasi ini.

Hukum yang Tidak Berpihak pada Anak Perempuan

Padahal dalam Pasal 26 (1) huruf c, UU R.I Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah ditetapkan aturan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, tetapi pasal ini tidak disertai dengan ketentuan sanksi pidana sehingga ketentuan tersebut nyaris tak ada artinya dalam melindungi anak-anak dari ancaman perkawinan dini. Dan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang disebut anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

Namun sayangnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bertentangan dengan aturan ini karena justru melegalkan perkawinan anak dengan menetapkan batas usia minimum 16 tahun bagi anak perempuan untuk menikah (Pasal 7 ayat 1). Selain UU Perkawinan, perkawinan anak juga terjadi karena penyalahgunaan wewenang pihak Kantor Urusan Agama (KUA) yang sering melakukan manipulasi umur pada perkawinan. Surat ijin yang masuk ke KUA minimal berusia 18 tahun, namun kenyataannya diantara mereka ada yang dibawah usia 18 tahun bahkan ada yang 14 tahun.

Manipulasi umur ini sering dilakukan untuk memperlancar proses surat ijin menikah dari kantor Desa dan kantor Kecamatan.

Bagaimana Cara Mengatasinya?

Oleh karena itu untuk mengatasi persoalan perkawinan anak, salah satu upaya yang saat ini dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil adalah dengan mengajukan proses Judicial Review terhadap Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Pemerintah juga perlu melakukan berbagai upaya untuk membangun kesadaran publik secara luas di seluruh wilayah Indonesia dengan melibatkan berbagai pihak termasuk media, organisasi masyarakat sipil, akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pihak terkait lainnya tentang dampak negatif dari perkawinan anak untuk mengubah pandangan sosial, budaya dan agama yang selama ini menganggap praktek perkawinan anak sebagai sesuatu yang wajar dalam masyarakat.

Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif bagi remaja dalam kurikulum pendidikan nasional juga menjadi hal penting dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah perkawinan anak.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!