Hari Pekerja Seks Internasional

Poedjiati Tan – www.konde.com

Tanggal 2 Juni kemarin
diperingati sebagai hari pekerja seks International. Mungkin tidak banyak orang
yang tidak mengetahui hal ini. Kelahiran hari pekerja seks internasional diawali
dengan pendudukan Gereja St. Nizierof di Lyon, Prancis oleh lebih dari 100
pekerja seks. Acara ini dianggap sebagai kelahiran gerakan hak-hak para pekerja
seks yang modern.

Pada 2 Juni 1975, sekitar
100 pekerja seks jalanan memutuskan melakukan perlawanan, karena mereka
menganggap polisi lebih suka melecehkan dan menangkap mereka daripada
memecahkan kasus pembunuhan dan kejahatan yang dialami oleh pekerja seks.
Mereka mengambil alih gereja dan melancarkan aksi duduk dan protes.

Pada saat itu, polisi
bukannya bernegosiasi atau menyelesaikan masalah pekerja seks, justru malah
mengancam dan akan memberikan hukuman yang berat kepada pekerja seks. Ketika
para pengunjuk rasa masih tidak menunjukkan tanda-tanda mundur setelah seminggu
penuh di gereja, polisi mengumumkan bahwa mereka akan mengambil anak-anak
pekerja seks dan membawanya dari rumah mereka.

Ancaman kejam dari polisi
ini membuat para perempuan di Lyon yang biasa melewati gereja itu menjadi
marah. Mereka melakukan solidaritas dan bergabung dengan para pekerja seks.
Meskipun berakhir dengan penangkapan dan pemukulan, namun banyak pekerja seks
yang dihapuskan dendanya dan polisi melakukan penyelidikan terhadap pembunuhan
pekerja seks. Aksi ini memicu protes serupa di Marseilles dan Paris.

Pada tanggal 17 Desember yang ditetapkan sebagai hari berakhirnya kekerasan pada pekerja seks (the Day To End Violence Against Sex Workers) yang banyak aktivis perempuan
dan feminis , tetapi banyak juga yang tidak
mendukung para pekerja seks untuk mendapatkan haknya dan malah mendukung untuk
mengkriminalkan pekerja seks. Sebagian besar kaum feminis menolak untuk
mendukung penyebab pelacuran dan menentang keberadaan prostitusi.

Di Indonesia sendiri, ada
organisasi yang bekerja pada isu pekerja seks, yakni organisasi perubahan
sosial Indonesia (OPSI). OPSI adalah suatu organisasi berbentuk perkumpulan yang
keanggotaannya individual dan merupakan wadah bagi pekerja seks perempuan,
waria dan laki-laki. Diinisiasi dalam sebuah lokakarya nasional pada tanggal 28
November 2008 di Jakarta, Persiapan Pembentukan OPSI dibentuk dengan tujuan
untuk memperjuangkan terpenuhinya hak-hak konstitusi pekerja seks sebagai warga
negara, menghilangkan stigma terhadap pekerja seks, mendorong terlibatnya
pekerja seks secara penuh dan bermakna dalam penanggulangan HIV – AIDS hingga
ke level pengambilan kebijakan yang menyangkut pekerjaan dan kehidupan pekerja
seks.

Jauh sebelum OPSI lahir,
ada organisasi bernama Bandungwangi yang mempunyai fokus kerja pemberdayaan
pekerja seks

Di Indonesia pekerja seks
dianggap bukan sebagai pekerjaan dan orang masih memandangnya dengan stigma
yang negative. Meskipun ada hukum pidana bagi penyedia jasa layanan seks dan
penyedia tempat prostitusi (mucikari) dan peraturan daerah bagi pengguna dan
pekerja seks di beberapa daerah, namun semua kebijakan itu dirasa tidak
berpihak pada pekerja seks.

Tiga tahun terakhir,
banyak tempat lokalisasi yang ditutup oleh pemerintah daerah, seperti Dolly di
Surabaya atau Kalijodo di Jakarta, Malang, Batam, dan juga beberapa daerah
lainnya. Penutupan lokalisasi ini di sisi lain menyulitkan bagi para pendamping
untuk melaksanakan program kesehatan bagi para pekerja seks dan termasuk
melindungi mereka dari kekerasan, bahaya infeksi menular seksual atau
perdagangan manusia. Menjadi pekerja seks dan aktivis pekerja seks di Indonesia
tidaklah gampang, banyak stigma yang harus mereka sandang, belum lagi ancama
terhadap keamanan mereka dengan menguatnya kelompok keagamaan yang reaksioner
dan menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan mereka.

Ada sebuah poster yang
menarik tentang pekerja seks yang menarik untuk kita renungkan bersama. Yang
isinya bagaimana masyarakat melihat pekerja seks. Banyak orang yang melihat
pekerja seks hanya dari apa yang merka lakukan, menganggap pekerjaan itu
berbahaya dan hasil eksploitasi. Masyarakat tidak menyukai pekerjaan mereka
tetapi tidak ada keinginan mempekerjakan mereka. Pekerja seks dianggap
membahayakan dan meresahkan bagi masyarakat, mereka dianggap musuh dan sampah
masyarakat.

Jika mereka diperkosa
dianggap bukan suatu masalah, jika mereka mendapat kekerasan dianggap sudah layak.
Mereka sering dianggap kotor dan tidak layak mendapatkan kesehatan. Jika mereka
hamil dan melakukan aborsi dianggap tidak mempunyai moral. Ketika mereka
membesarkan anaknya sendiri dianggap ibu yang tidak baik dan merusak masa depan
anaknya. Bila anaknya dititipkan keluarganya dianggap tidak bertanggung jawab.

Jika mereka
memperjuangkan hak-haknya, mereka dianggap memalukan dan tidak tahu diri.
Tetapi bila mereka tidak mempejuankan haknya sendiri mereka dianggap pemalas.
Ketika mereka hendak beribadah, mereka dianggap berpura-pura. Pekerja seks
tidak sama dengan pemaksaan perdagangan manusia atau perbudakan seks. Mereka menganggap pekerja seks adalah pekerjaan untuk mereka. Masyarakat
hanya bisa menyalahkan tanpa memikirkan bagaimana memberikan pekerjaan
yang  mereka sukai. Bagaimanapun
mereka juga manusia yang sama seperti yang lainnya dan sudah sepantasnya kita
memanusiakan mereka dan memberikan hak-haknya. Mereka mempunyai hak dengan hidupnya dan bagaimana dia mencari nafkah. 

Source

http://www.opsi-network.org/sejarah/

http://www.opsi-network.org/mencermati-aturan-hukum-penyedia-pengguna-dan-pekerja-seks/

http://reason.com/blog/2014/06/02/whores-day-celebrates-sex-worker-rights

foto : seananmcguire.tumblr.com

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!