Perempuan dan Perayaan Hari Raya

Poedjiati Tan – www.konde.co

Setiap kali ada perayaan keagamaan perempuan selalu menjadi yang paling
sibuk. Entah itu perayaan Natal, Tahun Baru Imlek, bulan Puasa atau Lebaran.
Saya masih ingat ketika kecil menjelang Tahun Baru Imlek, saya melihat wajah
mama saya yang resah karena THR yang  di
dapat papa saya dipotong untuk membayar pinjaman di kantornya. Mama saya harus
mencari akal agar kami anaknya bisa mempunyai baju baru untuk tahun baru imlek,
menyediakan kue, serta menyiapkan uang angpo untuk para keponakan dan juga untuk
kakek nenek saya. Mama saya yang memang seorang penjahit akhirnya membuat
sendiri baju untuk saya dari kain yang ada. Sedangkan dia sendiri memakai
pakaian yang dia miliki.

Begitu pula dengan bulan Puasa dan menjelang Lebaran seperti sekarang ini.
Perempuanlah yang paling sibuk. Mereka harus menyiapkan makanan untuk Sahur
bagi keluarganya dan ketika sore mereka kembali harus menyediakan makanan untuk
berbuka Puasa. Beban kerja mereka bertambah dibandingkan biasanya. Mereka harus
bangun lebih pagi untuk memasak atau memanaskan masakan, menyiapkan makanan dan
setelah sahur harus membereskannya, mencuci piring dan membersihkan meja makan.
Menyiapkan keperluan anak-anak ke sekolah dan suami berangkat kerja.

Tidak hanya beban kerja saja yang harus ditanggung. Para perempuan juga
harus memikirkan bagaimana agar uang THR yang diterima dari suami bisa cukup
untuk biaya mudik, membeli pakaian baru buat anak-anak, membeli kue atau
membuat kue lebaran, membuat masakan untuk lebaran dan belum lagi kalau harus
membawa bingkisan untuk orang tua di kampung. Itu kalau suaminya bekerja di
perusahaan yang memberikan THR. Tapi bila suami tidak mendapat THR kembali para
perempuan yang harus memutar otak untuk mencari tambahan uang agar bisa
berlebaran.

Terkadang mereka harus mencari kerja tambahan agar bisa memiliki uang untuk
lebaran. Seperti tetangga saya yang penjual sayur, bila bulan puasa kalau sore
dia berjualan makanan, seperti kolak, gorengan, lontong sayur, botokan, kadang
dia berjualan nasi untuk orang sahur. Katanya untuk tambahan agar bisa mudik
dan bisa memberikan sedikit uang buat orang tuanya di Tulungagung karena suami
yang buruh bangunan kadang tidak dapat THR.

Kemarin ketika ke sebuah departemen store, saya melihat seorang ibu yang
berusaha menenangkan anaknya yang meminta pakaian bergambar Frozen, tetapi
setelah dilihat harganya yang mahal, si ibu tidak jadi membeli dan menacrikan
baju lainnya yang lebih terjangkau. Tetapi anaknya merengek minta baju yang
telah dia pilih. Kejadian seperti ini banyak dialami para perempuan yang
menjadi Istri, menjadi Ibu dan sekaligus anak. Ketika menjelang lebaran mereka
harus memikirkan  bagaimana bisa
membahagiakan anak-anaknya dengan pakaian baru di hari lebaran, bagaiamana
caranya agar bisa mudik ke rumah orang tua dan memberikan sesuatu buat orang
tua tercinta. Belum lagi kalau dia juga harus menanggung adik-adiknya berarti akan
ada tambahan biaya pengeluaran.

Sering kali perempuan harus mengorbankan dirinya untuk keluarganya. Mereka rela
bekerja dua kali lebih keras, tidur lebih sedikit agar keluarganya bisa
merayakan lebaran dengan kebahagian. Rela tidak menggunakan pakian baru agar
anak-anaknya bisa mengenakan pakian baru. Kadang dia harus bekerliling dari
satu toko ke toko lain untuk mencari yang termurah tetapi laki-laki menganggap
para perempuan suka shopping. Kadang mereka harus menjual tabungan perhiasannya
agar bisa berlebaran. Tak jarang mereka harus berhutang ke tetangga atau
renternir untuk ongkos mudik dan lebaran. Dan semua beban itu harus dia
tanggung  sendiri dan biasanya para suami
tidak mau ikut campur karena merasa sudah memberikan semua uang THR yang dia
dapat. Dan merasa itu adalah tugas dari seorang isteri untuk mengelola
keuangan.

Begitu juga dengan perayaan keagamaan lainnya seperti Natal atau Tahun baru
Imlek, para perempuan juga harus sibuk menyiapkannya. Apalagi di Indonesia uang
THR diberikan ketika menjelang Lebaran, sehingga ketika menjelang Natal atau
Tahun baru Imlek uang THR itu sudah terpakai atau habis.

Masyarakat Indonesia yang patriaki tidak pernah memikirkan bahwa menjelang perayaan
hari besar keagamaan beban kerja perempuan menjadi dua kali lebih berat dari
biasanya. Karena peran gender yang stereotype hal ini dianggap sebagai suatu
yang biasa dan lumrah. Mereka menganggap bahwa ini ada tugas dan kewajiban
perempuan. Mungkin ini saatnya bagi para suami untuk juga ikut menanggung beban
dari para isteri dan juga ikut memikirkan bagaimana mensiasati persoalan
ekonomi menjelang lebaran atau perayaan hari keagamaan lainnya, sehingga tidak
semuanya harus ditanggung para perempuan.

foto : sidomi.com 

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!