Melanggengkan Ketidakadilan Gender

Estu Fanani – www.konde.co

Gender pertama kali dikenakan kepada seseorang ketika dokter yang membantu
melahirkan menyebutkan jenis kelamin seorang anak. Ketika dokter mengatakan
perempuan, maka orang tua segera membeli pakaian berwarna pink, boneka, mencari
nama perempuan sesuai dengan konstruksi sosial yang ada.  Dan Menurut
Simone De Beauvoir: “One is not born a
woman, but rather becomes one

Mulailah anak dibentuk bagaimana menjadi seroang perempuan dan apa saja tugas
mereka sebagai perempuan. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan perempuan,
bagaimana dia bertingkah laku, tertawa, berbicara, berpakaian, bahkan
berpikirpun kadang dibatasi. Masa depannya seperti sudah ditentukan oleh orang
tuanya atau oleh lingkungan sosialnya. Tubuhnya seakan-akan bukan lagi menjadi
miliknya sendiri. 

18 Juli 2016 yang lalu organisasi Majelis Ulama Indonesia Kota Palu
mengeluarkan fatwa melarang keras kaum Muslim perempuan yang sudah berstatus
istri memajang foto-foto di media sosial. Menurut Ketua MUI Kota Palu, Zainal Abidin,
memamerkan foto di Media sosial bisa berdampak negatif kepada diri sendiri dan
keluarga. “Saya melihat bahwa wanita Muslim yang sudah berkeluarga justru
senang mengupload foto-fotonya, dan malah lebih senang lagi dia, jika ada orang
atau pengguna facebook yang berkomentar dengan kata-kata misalkan ‘bunda
cantik’,” ucap dia seperti diberitakan Antara. Menurut Zainal, kecantikan
wanita hanya untuk suaminya, bukan untuk orang lain. Menurutnya, wanita
berdandan, bergaya hanya untuk suaminya agar hubungan keluarga lebih membaik,
bukan untuk memamerkan kepada orang banyak.

Penulis juga membaca di Facebook beberapa waktu yang lalu bahwa salah satu
partai di Malaysia meminta konser Selana Gomez di Malaysia dibatalkan karena
akan merusak moral dengan penampilannya yang terlalu seksi. Ada juga berita
wakil Perdana Menteri Turkey dalam salah satu pidatonya  mengenai
menurunnya nilai moral mengatakan bahwa sebaiknya perempuan tidak tertawa di
depan umum. Lalu ada majalah nasional yang menyerang Melania Trump istri calon Presiden
Donald Trump karena pernah menjadi model panas.

Pemberitaan di atas menggambarkan bagaimana para penguasa laki-laki yang
menunjukkan kuasanya atas tubuh perempuan dan membatasi gerak ekspresi
perempuan. Tubuh perempuan dan gender selalu menjadi perdebatan yang tak jarang
harus tunduk pada kekuasan. Mereka seperti ingin melestarikan terus budaya
patriaki, melestarikan gender dan terus mencengkeramkan kekuasaannya akan tubuh
perempuan.

Tidak hanya laki-laki saja, tak jarang perempuan juga ikut melestarikan
budaya patriaki ini. Mereka diajarkan sejak kana-kanak bagaimana memainkan
perannya dalam masyarakat yang patriaki.Mary Wollstonecraft, feminis pertama yang mengatakan adanya
pembodohan terhadap perempuan yang disebabkan tradisi masyarakat yang
menjadikan perempuan sebagai makhluk yang tersubordinasi.

Gerakan feminis di barat memang sudah dimulai sejak abad 18 an dan terus
berkembang sampai sekarang. Tetapi masih banyak ketidakadilan karena gender
yang berlangsung di seluruh dunia. Perempuan masih sering dianggap sebagai second sex dan budaya patriaki masih
terus dipegang teguh. Misalnya, seorang suami yang membantu istrinya mencuci
pakaian atau memasak, lalu ibunya protes, “Kenapa bukan istrimu yang
mengerjakan? Khan itu tugas dia!

Budaya patriaki memang diajarkan dan diturunkan dari generasi ke generasi.
Meskipun teknologi sudah sedemikian maju, informasi sudah tak terbatas, tetapi
orang masih melestarikan peran-peran gender dan mempertahankannya sampai
sekarang. Sebenarnya siapakah yang memutuskan benar atau salah, baik atau buruk
terhadap seseorang? Entah itu menyangkut perilakunya, penampilannya, pekerjaan,
relasinya, atu apa yang dilakukan. Apakah 
Masyarakat? Pemerintah? Agama? Budaya? Ataukah dirinya sendiri? Baik dan
benar menurut siapa? Dan untuk siapa?

Apa masih perlu kita melestarikan peran gender dan budaya patriaki? Bila suami
istri bisa melakukan semua tugas rumah tangga secara bersama dan penuh cinta. Tanpa
bermaksud saling menguasai dan dikuasi sehingga anak-anak tumbuh menjadi
manusia yang bisa menghargai orang lain tanpa melihat perbedaan jenis kelamin. Dan
tidak lagi ada kekerasan dalam rumah tangga ataupun kekerasan terhadap
perempuan. 

gambar : ec.europa.eu

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!