Veronica Koman: Tak Ada Kemerdekaan bagi Perempuan Papua

Edisi Khusus Kemerdekaan Perempuan: untuk edisi Kemerdekaan Agustus
2016 kali ini, www.konde.co akan menampilkan edisi khusus: “Refleksi
Kemerdekaan Perempuan”. Refleksi kemerdekaan perempuan ini berisi kritik
sekaligus evaluasi dari individu dan sejumlah kelompok tentang
pentingnya kemerdekaan perempuan, ide kemerdekaan perempuan dan
bagaimana refleksi mereka bagi kemerdekaan perempuan di Indonesia. Edisi
khusus ini akan kami tampilkan dari tanggal 15-18 Agustus 2016.
(Redaksi)

Luviana – www.konde.co

Maret
2016 lalu, jelang hari perempuan internasional, Veronica Koman
pengacara publik di organisasi “Papua Itu Kita” menyatakan bahwa
perempuan Papua tak hanya mendapatkan kekerasan dan diskriminasi karena
mereka perempuan. Namun juga stigma yang terus melekat hingga kini. Diskriminasi atas akses ekonomi. Dan stigma
sebagai perempuan hitam dan tak berdaya yang terus melekat pada
perempuan-perempuan Papua.

Sejumlah pemetaan atas persoalan
perempuan Papua yang dilakukan oleh para aktivis perempuan juga menunjukkan hal ini. Dalam Kongres perempuan Papua pertama di tahun 2001 misalnya, terpapar banyak perempuan Papua yang
dihamili oleh militer, lalu ditinggalkan begitu saja.
Persoalan lain, yaitu adanya pesta adat yang memaksa perempuan Papua
harus mau berhubungan seksual dengan banyak laki-laki. Akibatnya banyak
ibu rumah tangga yang terkena HIV/AIDS. Lalu ada lagi soal pemberian
Mahar/ belis atau mas kawin sebagai pertanda budaya bahwa perempuan
sudah dibeli. Dan persoalan lain yang maha dahsyat, yaitu kedatangan
perusahaan transnasional yang mengeruk alam disana dan meminggirkan
perekonomian perempuan dan anak-anak Papua.

Pada moment hari
kemerdekaan ini, Veronica Koman menjawab tentang apa yang harus
dilakukan untuk menyelesaikan persoalan perempuan disana?:

Menurut anda, apakah saat ini sudah ada kemerdekaan bagi para perempuan Papua?

“Belum ada kemerdekaan bagi perempuan Papua. Belum ada kemerdekaan secara ekonomi, sosial dan budaya juga. Mau membangun pasar untuk mama-mama Papua saja sulit sekali.  Ini semakin membuktikan bahwa mama-mama Papua telah termarjinalkan di tanah mereka sendiri. Untuk persoalan lain disana, yaitu tidak adanya kebebasan bereskpresi dan berpendapat di Papua. Salah satunya yaitu, hari kemarin (15 Agustus 2016), salah satu perempuan Papua terkena peluru karet ketika sedang menyampaikan pendapatnya. Jadi ini semakin membuktikan tidak adanya kemerdekaan politik, ekonomi, sosial dan budaya bagi perempuan di Papua.”

Diskriminasi apa saja yang dialami para perempuan Papua?

“Di masyarakat kita yang masih patriarkhi ini perempuan masih menjadi warga negara kelas dua, apalagi perempuan Papua. Mereka didiskriminasi secara berlapis. Yang terkait perjuangan nyata yaitu perjuangan mama Papua agar punya punya pasar sendiri, tapi selalu sulit padahal ini tanah mereka sendiri. Mereka selalu tergusur oleh para pendatang. Di tanah Papua ini kaya akan emas dan sumber daya alam, namun mama mama Papuanya sendiri hanya bisa berjualan pinang dan sayuran untuk bertahan hidup. Mereka hanya bisa menjadi penonton, ketika emas dan kekayaan alam disana diambil begitu saja. Bagi saya ini betul-betul sangat ironis.”

Mengapa negara banyak mengabaikan perempuan Papua?

“Karena memang sepertinya pemerintah sudah secara sistematis membodohi mereka. Dulu waktu jaman Belanda, pemerintah Belanda menerapkan akses untuk pendidikan yang minim bagi  orang Indonesia, biar gak pada pintar. Nah, saat ini, kondisi itulah yang terjadi. Perempuan Papua tak boleh pintar, tak boleh mendapatkan pendidikan yang baik. Dua hari lalu saya bersama peneliti LIPI yang mengatakan bahwa angka kematian ibu sangat tinggi di Papua dan kondisi kesehatan perempuan di Papua itu sangat memprihatinkan. Angka HIV/AIDS tertinggi dialami perempuan Papua yang adalah para ibu rumah tangga. Umumnya mereka ditulari oleh suami-suami mereka. Namun ada pemetaan yang juga menyatakan bahwa HIV/AIDS ini digunakan untuk memusnahkan perempuan-perempuan di Papua. Karena itulah mereka semakin menjadi minoritas di tanah mereka sendiri.”


Apa yang harus dilakukan pemerintah dengan banyaknya persoalan yang menimpa perempuan Papua?

“Pertama, pemerintah harus mengakui dulu bahwa ada persoalan struktural dan sistematis yang terjadi di Papua. Karena ketika Jokowi ke Papua di tahun 2015, Jokowi tidak mengakui ada persoalan di Papua. Jadi bagaimana mau menyelesaikan persoalan, padahal mengakui akan adanya persoalan saja tidak?. Karena daripada Jokowi hanya jalan-jalan ke Raja Ampat, lebih baik mencoba mendengarkan suara perempuan Papua. Kedua, Jokowi harus membuka dialog dan mendengarkan aspirasi masyarakat Papua. Karena banyak pembicaraan yang menanyakan soal mengapa Papua minta untuk merdeka?. Mereka selalu menjawab bahwa  karena ditinggalkan, pembangunan buruk, miskin. Padahal ada persoalan lain, yaitu persoalan hutang politik sejak pertamakalinya Papua bergabung menjadi bagian dari NKRI. Ada persoalan dulu hingga kini. Ada hutang politik. Jadi pemerintah harus tahu persoalan ini dan segera menyelesaikannya.”


Desakan dari masyarakat sipil, advokasi sudah banyak dilakukan. Namun persoalan seolah tak henti mendera perempuan Papua. Apa lagi yang bisa dilakukan masyarakat sipil agar pemerintah mau melakukan sesuatu untuk perempuan Papua?

“Menurut saya, masyarakat sipil harus semakin banyak menyuarakan suara –suara perempuan Papua, karena selama ini banyak yang menjadi narasumber pemberitaan misalnya adalah dari polisi. Jadi sebenarnya harus ada sharing media untuk Papua, jadi masyarakat Indonesia tahu apa persoalan sesungguhnya yang terjadi di papua. Dan agar pemerintah membuka persoalan papua.  Karena selama ini jika ada berita tentang Papua, pasti polisi yang menjadi narasumbernya. Harusnya khan masyarakat yang disana yang harus didengarkan.”

“Saya juga usul, menurut saya, jika semakin banyak orang di luar Papua yang membicarakan tentang Papua akan jauh lebih baik, karena ada banyak suara yang menyuarakan persoalan perempuan di Papua. Ini untuk apa? Untuk menyelesaikan persoalan yang menimpa para mama-mama disana dan disampaikan pada pemerintah.”

(Foto: tabloidjubi.com dan Kbr.id)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!