Segarnya Selat Solo

 www.konde.co – Melly Setyawati

Konde.co – Ke Solo kalau belum merasakan selat Solo itu seperti belum
ke Solo. Saya biasanya mengompori beberapa kawan yang hendak ke Solo untuk menyicipinya. Perpaduan yang khas
sayuran wortel, selada, kacang buncis, kentang, mayonaise, telur dan daging. Ini bisa disebut dengan bistik jawa. Karena kuah kaldu semurnya yang manis sebab orang jawa umumnya sangat suka rasa manis.

Biasanya saya memakan
dagingnya terakhir, sebagai gong penutup makanan. Perpaduan sayuran itu
menunjukkan keberagaman warna sajian selat seperti warna merahnya dari wortel,
warna hijau dari salada dan buncis, untuk warna kuning ada kentang goreng serta
kecoklatan dari daging. Ini bagian dari seni manner selat segar, tidak hanya mengutamakan kandungan gizi saja.
Lalu disiramlah kuah semur kaldu. Sangat segar sekali dan makannya pun tanpa
prasangka apakah itu wortel transgenik, kentang pestisida, selada hidroponik
atau kaldu msg?

Prasangka itu perasaan di hati dan pikiran yang bisa
menimbulkan ketidaksukaan. Makan selat segar di tengah kondisi prasangka saat
ini sangat cocok. Kalau membela yang non karena lebih rasional maka mereka bisa
mengatakan si pembela itu sebagai pendukung “kafir”.

Saya jadi ingat pada Pilkada di Solo bulan Desember tahun 2015
kemarin. Waktu itu saya sedang naik motor untuk periksa kehamilan. Sepulangnya
saya lewat jalur lambat untuk belokan arah pulang karena jalur utama tidak
memperbolehkan motor lewat sebab waktu itu bertepatan dengan rutinitas car free day.  Di jalur yang saya tempuh, sekelompok tim
kampanye dari partai agama menyebarkan pin
dan stiker  kepada orang yang lewat termasuk saya.
Pesannya yang saya tangkap jangan memilih pemimpin yang non.

Kaget sih, begini kah Solo saat ini? Ini tempat saya tumbuh.
Dulu, Solo dipimpin oleh pemimpin yang mantan preman saja tidak sedemikian
gentingnya. Kenapa sekarang menjadi begitu penting persoalan kebencian agama. Saat
di rumah, seorang kerabat datang sambil memberikan undangan pencoblosan lalu
juga menitipkan pesan supaya saya tidak memilih yang “non”.

Kerabat saya memang ikut komunitas terbesar di Solo yang
mempunyai gedung megah di wilayah Ngarsopuro. Saya hanya diam meskipun sedikit
resah karena saya tidak mau berkonflik terkait persoalan sensitif ini. Sangat
melelahkan debat soal kebencian karena yang diperdebatkan adalah persoalan hati,
yakni suka dan tidak suka tanpa alasan rasional. Kenapa yang diperdebatkan dan
dipersoalkan bukan pada persoalan kualitas program atau kinerja? Ah sudahlah, saya
tetap dalam diam dan berharap kebaikan.

Penghitungan cepat pun menunjukkan bahwa pemimpin yang non  menang. Saya lega, bukan karena saya pendukung
yang non  sebab saya juga golput tetapi dagang politik
dengan brand  agama ternyata tidak laku di Solo. Warga mampu
berpikir siapa yang ingin dipilih. Masih ada harapan untuk keberagaman di Solo
meskipun umat mayoritas masih dominan.

Kelegaan saya bertambah karena kemarin (15/10/2016) Wawan
Kardiyanto, penulis Solo, mengenalkan bukunya di dalam bedah buku Dialog Cinta Allah – Sahabat Beda
Agama di Islamic Center Pabelan.
Kegiatan ini diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam Sukoharjo.

Saya masih mengingat ungkapan salah seorang pembicara dalam
diskusi tersebut, Muhammad Arif berkata “identitas kafir dan bukan kafir itu
adalah politis bukan ideologis”. 
Penegasan ini memang sangat relevan dikaitkan dengan polemik pilkada di
DKI yang sudah mengarah pada persoalan agama. 

Saya berpikir, bisakah minimal
mengkritisi program dan kinerja yang telah dilakukannya.

Kegelisahan ini ternyata yang hendak diungkapkan oleh Wawan
Kardianto dalam bukunya tersebut. Yang menceritakan proses dialognya dengan
seorang sahabat bernama Melati, nama yang disamarkan. Awalnya Melati marah
karena keyakinannya disinggung dan dipertanyakan. Namun lambat laun Melati bisa
memahami maksud Wawan untuk mengenal lebih jauh keyakinannya.

Saya-pun menanyakan kepada penulis buku tersebut, mengapa
mau menuliskan buku itu? “Saya berharap bahwa tidak ada tindakan langsung menjustifikasi
yang non muslim itu kafir dan
mengharap ada kedamaian di bumi, serta menyakini keberagaman itu adalah
anugerah” ungkap Wawan Kardiyanto.

Senyum mulai mengembang di wajah saya. Senangnya, ternyata
saya tidak sendirian. Kunyalakan mesin motor meluncur ke warung selat solo yang
jaraknya dekat dengan rumah. Sambil membayangkan kalau selat isinya kacang
buncis semua, apakah segar yah?

sumber foto 

http://www.jendelakuliner.com/resep-membuat-bistik-jawa-selat-solo/

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!