Melly Setyawati – www.konde.co
Gumohberasal dari bahasa jawa namun
istilah ini telah diadopsi dalam bahasa Indonesia, untuk menyebutkan tentang
kondisi bayi yang muntah karena kekenyangan. Secara medik gumoh adalahaliran balik isi lambung ke dalam kerongkongan dan dikeluarkan
melalui mulut yang berlangsung secara involunter.
Ini pas
banget dengan terjadi beberapa bulan belakangan ini yang bisa bikin gumoh. Saya kenyang karena seluruh media
sosial baik grup percakapan, fesbuk, dan media sosial lainnya berisi tentang
PILKADA. Eh belum tambah pemberitaan – pemberitaan dari media televisi dan
cetak. Ampun…Gusti.
Iya, PILKADA
DKI Jakarta paling menyedot perhatian seluruh warga Indonesia. Bahkan orang –
orang yang tidak ber KTP DKI Jakarta pun ikut nimbrung dan saling membully.
Tuduhan –
tuduhan berbasis kebencian pada pasangan calon tertentu bakal diberikan kepada
orang yang berpendapat berbeda. Bisa – bisa yang terjadi adalah putus
pertemanan di fesbuk dan saling tidak menyapa di jalan. Bahkan terang –
terangan di depan umum memarahi teman dekatnya sendiri atau orang lain yang
berkomentar berbeda.
Kalau saya
ikut – ikutan membenci perbedaan pendapat dalam pandangan politik lalu apa
bedanya saya dengan kelompok – kelompok yang anti keberagaman? Ternyata
memahami perbedaan itu sulit sekali. Pelan – pelan memang harus menginternalisasi
pluralisme.
Grup – grup
percakapan tidak berhenti meributkannya. Kencang sekali percakapan yang
bernuansa negatif dengan menyebarkan kebencian – kebencian berbasis agama dan
ras. Saya tidak tahan dengan hal – hal itu, energi negatifnya terlalu
berlebihan. Saya seperti megap – megap tenggelam dalam air dan
mengalami sesak napas. Bukan karena saya pendukung salah satu pasangan calon
tertentu tetapi percakapan kebencian itu jauh dari argumentasi data – data akurat
dan bertentangan dengan nilai – nilai kemanusiaan. Lagipula saya ber KTP non
Jakarta jadi jelas secara politik saya tidak berkepentingan.
Awalnya saya
hanya diam dan membaca saja pendapat teman – teman di grup percakapan. Lama
kelamaan saya merasa komentar teman – teman semakin ngawur. Akhirnya saya berupaya saja merespon sebaran berita
kebencian dengan pengetahuan yang saya punya, dengan menguatkan mental bakal
sakit hati atau di bully lagi. Saya
berharap agar pengetahuan dapat berimbang sehingga dapat mencerdaskan. Itu
harapan saya.
Namun percuma
juga berupaya mengatakan kebenaran karena saya juga di bully ramai – ramai oleh
teman teman dekat sendiri. Bisa
dikatakan pendukung kafir, maksiat dan sebagainya.Saya pun mendapatkan kiriman ayat dan rekaman video pengajian. Saya bukan ahli agama jadi saya tidak bisa berbalas ayat maka saya pun diam daripada berkata menyakiti hati.
Dengan berat hati dan pikir
panjang saya berpamitan lalu menekan “exit group”.
Ada perasaan lega saat menekan “exit
group” dan seperti bisa bernafas kembali. Namun saya juga merasa sedih
karena teman – teman saya berkurang dan tidak bisa bebas berkomunikasi dengan
teman – teman seperti dahulu lagi seperti bercanda dan tertawa bersama seperti syair lagu Sheila On Seven. Saya terus menerus berharap kondisi ini akan segera
berakhir dan saya bisa menyapa teman – teman tanpa beban kebencian karena saya
minoritas berbeda.
Ternyata apa
yang saya lakukan terjadi pada beberapa teman lainnya, yang terpaksa harus
memutus pertemanan di fesbuk dan
media sosial lainnya karena sebaran kebencian. Menurut saya sebenarnya ini
merupakan pandangan politik saja. Seperti halnya kita memahami perbedaan
keyakinan yang harusnya ada sikap toleransi perbedaan itu. Bukan
untuk ajang saling membenci karena adanya perbedaan pandangan politik, apalagi
sudah memojokkan dan membully teman
sendiri. Bisakah kita memahami
perbedaan itu bagian dari keragaman pengetahuan?
Itulah yang
membuat saya berhati – hati menuliskan status di media sosial bukan karena saya
takut tetapi saya khawatir menyinggung hati teman – teman yang sudah baik juga
terhadap saya. Sebab beragamnya teman – teman itu bisa menambah pengetahuan
saya dalam memahami perbedaan itu.
Saya juga
mempunyai rasa kebencian tetapi saya berupaya mengelola kebencian terhadap
penindasan orang – orang marjinal yang diperlakukan semena – mena dan tidak
manusiawi. Kalau kebencian terhadap agama
dan ras menjadi dasar untuk memenangkan PILKADA, ini bukan pendidikan
politik yang baik tetapi bagian dari proses pembodohan. Sudah cukup 32 tahun
proses itu berjalan di negeri ini, jangan sampai terulang lagi.
15 Februari
2017 kemarin, pilkada berlangsung dan perhitungan cepat telah menunjukkan
hasilnya. Uhg… sambil mengelus dada dan tersenyum, ada perasaan plong
ternyata hasilnya baik. Plong bukan berarti saya pendukung pasangan calon
tertentu tetapi PILKADA berlangsung dengan damai dan aman serta dagangan
politik yang mengatasnamakan kebencian tidak laku. Meskipun saya sempat
khawatir kalau kebencian itu menang. Semoga putaran kedua berjalan baik – baik saja. Duh masih PILKADA lagi…gumoh lagi.