Aparat Merepresi Aksi Damai di Kedubes Arab Saudi

Estu Fanani- www.konde.co

Jakarta, Konde.co- Bulan Maret menjadi
bulan anti diskriminasi bagi perempuan maupun kelompok marginal. Karena di
bulan Maret ada beberapa tanggal penting diingat dan terus digaungkan untuk menghapuskan
tindakan dan pikiran yang diskriminatif dan penuh kekerasan yang didasarkan
pada jenis kelamin, disabilitas, orientasi, identitas dan ekspresi gender maupun
kondisi sosial lainnya. Ada tanggal 1 Maret sebagai hari Nol Diskriminasi, 3
Maret sebagai hari Pendengaran Internasional, 8 Maret sebagai hari Perempuan
Internasional, dan 9 Maret sebagai hari Ginjal Sedunia.

Foto: Komite Aksi IWD 2017 di Aksi Kamisan 2 Maret 2017 (Estu Fanani)

Mengambil
momentum kedatangan raja Salman dari Arab Saudi setelah 47 tahun silam,Komite
Aksi Bersama International Women’s Day 2017(Komite Aksi Bersama IWD 2017) melakukan aksi damai di Kedutaan Arab Saudi di
Jakarta ada tanggal 2 Maret 2017 jam 13.00 WIB. Hal ini dilakukan karena dalam  agenda kunjunganraja
dari negara kaya minyak itu tidak lain adalah untuk menanamkan investasi sebesar
25 Milliar US$pada 11 sector pembangunan di Indonesia. 

Mendengar kata Arab Saudi, tentunya
mengingatkan kita kembali pada begitu banyaknya kasus-kasus kekerasan dan
pelanggaran HAM Buruh Migran Indonesia (BMI), khususnya perempuan. Tingginya
angka Perempuan Buruh Migran (PBM) di Arab Saudi tidak lepas dari peran
Indonesia yang “meng-ekspor” warga negaranya untuk mengisi kekosongan pasar
kerja dunia sejak 1990an. Dilansir dari data Bank Indonesia (BI), jumlah BMI
yang bekerja di Arab Saudi per akhir tahun 2014, sebelum kebijakan penghentian
pengiriman, adalah sebanyak 1,01 Juta jiwa.
Alasan lain, anggapan persamaan agama dan budaya dengan Indonesia juga menjadi
salah satu factor pendorong PBM memilih Arab Saudi sebagai Negara tujuan untuk
bekerja. Padahal faktanya, kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak yang
dialami PBM terjadi karena basis agama dan budaya.

Namun,
ternyata Komite Aksi Bersama Internasional Women’s Day dalam aksinya
mendapatkan perlakuan represif dari Polisi dan Badan Intelijen Indonesia (BIN).Alih-alih dapat menyuarakan aspirasi mengenai kegelisahan
akan nasib buruh migran Indonesia yang banyak mengalami penindasan di Arab
Saudi, massa aksi justru mengalami represi, intimidasi yang berujung pada
pembubaran serta penangkapan dan sejumlah kekerasan.

Padahal,
penyuaraan terhadap apa yang menjadi aspirasi massa aksi tersebut menjadi
sangat penting untuk dikemukakan, terlebih mengingat momentum kedatangan Raja
Arab Saudi beserta rombongan sekaligus bagian dari rangkaian peringatan Hari
Perempuan Internasional yang akan jatuh pada 8 Maret 2017 mendatang. Pasalnya,
kondisi Buruh Migran Indonesia (BMI) yang mayoritas Perempuan Buruh Migran
(PBM) yang bekerja di Arab Saudi tidak kunjung membaik.

Hal
ini antara lain dapat dilihat dari berbagai eksploitasi serta kriminalisasi
yang terjadi terhadap mereka. Siksaan tanpa henti serta hukuman mati merupakan
fakta resiko yang harus dihadapi oleh Buruh Migran Indonesia. Pemerintah
Indonesia dengan kedatangan raja Salman saat ini seakan menutup mata terhadap
fakta-fakta tersebut.

Kebijakan-kebijakan
dan tindakan pemerintah cenderung reaktif dan parsial karena tidak menyentuh
akar persoalan serta tidak memperhitungkan dampak sosial dan hukum yang
ditimbulkan. Salah satunya, dikeluarkannya Kepmen 260/2015 yang melarang
pengiriman TKI pada pengguna perseorangan di negara Timur Tengah justru berbuah
pada terjadinya peningkatan perdagangan orang di Arab Saudi pada tahun 2015.

Seakan
tidak mempunyai itikad baik untuk memperbaiki keadaan, kini pemerintah
Indonesia mengadakan kerja sama dengan Arab Saudi tanpa me jadikan isu
perlindungan BMI di Arab Saudi. Jelas hal ini harus dikecam mengingat masih
masifnya pelanggaran hak dan kekerasan terhadap BMI/PBM di Arab Saudi.

Sayangnya,
penyuaraan terhadap aspirasi tersebut nampaknya harus menemui pembungkaman.
Massa aksi yang mulai berkumpul di depan Kedutaan Besar Arab Saudi di Kawasan
Kuningan, Jakarta Selatan sekitar pukul 13.31 WIB, langsung dihadang oleh pihak
kepolisian. Tak lama setelahnya, sekitar pukul 13.35 WIB, dengan dalih
mengganggu kepentingan umum, aparat kepolisian mulai melakukan intimidasi
dengan membentak serta mendorong paksa yang tidak mau meninggalkan lokasi
uunjuk rasa. 

Seakan tidak puas dengan hanya membentak dan mendorong massa,
aparat kepolisian mulai menyeret secara paksa sekitar 12 orang massa aksi
kedalam kendaraan panser dengan rencana untuk membawa seluruh pihak yang
ditangkap ke Polda Metro Jaya guna pemeriksaan lebih lanjut. Adapun diantara
massa aksi yang ditangkap tersebut antara lain adalah Hari dan Bobi dari SBMI.
Setelahnya, sekitar pukul 13.45 WIB, aparat kepolisian kembali memerintahkan
agar massa aksi yang tersisa membubarkan diri sambil mendorong mereka ke
belakang gedung wisma Bakrie.

Kendati
massa aksi yang ditangkap kemudian telah dilepaskan pada pukul 14.40 sebelum
sempat diangkut ke Polda Metro Jaya menyusul adanya negosiasi dengan juru
bicara dari massa aksi, namun peristiwa pada hari ini merupakan cerminan
bagaimana negara kembali gagal dalam menjamin pemenuhan hak fundamental bagi
setiap orang untuk menyuarakan aspirasinya. Bagaimana tidak, dengan
mengatasnamakan “kepentingan umum” yang dalam hal ini tidak jelas ukuran serta
batasannya, aparat penegak hukum melakukan tindakan-tindakan represif yang
secara jelas bertentangan dengan jaminan perlindungan terhadap kebebasan
mengeluarkan pendapat dan berekspresi. 

Padahal, massa aksi sudah secara teliti
menentukan lokasi unjuk rasa pada Kedutaan Besar Arab Saudi agar tidak
mengganggu kedatangan tamu negara yakni Raja Salman yang rencananya pada hari
ini akan berkunjung ke gedung DPR-RI. Sehingga dalih “kepentingan umum” yang
didengung-dengungkan oleh aparat sejatinya berada jauh diluar konteksnya dan
tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindakan-tindakan represif berupa
penangkapan dan pembubaran seperti yang terjadi siang tadi. Tindakan aparat
Kepolisian jelas merupakan pelanggaran atas hak kemerdekaan mengemukakan
pendapat di muka umum dan pelanggaran hak konstitusi.

Bahkan
3 hari menjelang aksi, aparat sudah menunjukkan sikap represifnya. Beberapa
anggota Komite Aksi, yakni Serikat Buruh Migran Indonesia Cabang Indramayu
didatangi BIN dan Polisi yang meminta SBMI menangguhkan aksinya. Bahkan di hari
berikutnya (H-2) terjadi penyisiran ke rumah-rumah keluarga buruh migran
Indonesia (BMI) yang akan datang aksi ke Jakarta. Aparat melakukan intimidasi
kepada ibu-ibu dan perempuan keluarga BMI. Bahkan aparat terus berjaga sehingga
4 bus yang direncanakan untuk berangkat ke Jakarta dibatalkan. Desakan untuk
memindahkan tempat aksi ke Kementerian Tenaga Kerja juga dilakukan oleh aparat.

Dalam
konferensi pers yang dilakukan setelah aksi (2/3), Komite Aksi Bersama IWD 2017
menyatakan bahwa meskipun kebebasan mengeluarkan
pendapat dan ekspresi telah dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Pasal 23
ayat (2) UU 39/1999 tentang HAM, Pasal 2 ayat (1) UU 9/1998 tentang Kemerdekaan
Penyampaian Pendapat di Muka Umum, serta berbagai instrumen hukum internasional
lainnya, namun pada praktiknya negara selaku pengemban kewajiban pemenuhan HAM
justru menjadi pihak yang seringkali melakukan pelanggaran.Dan pembubaran
serta tindakan represi pada aksi di Kedubes Arab Saudi menjadi salah satu
contohnya.

Berdasarkan
hal-hal di atas, Komite Aksi Bersama International Women’s Day 2017 mengecam
tindakan pembubaran yang disertai dengan penangkapan serta kekerasan yang
dilakukan oleh aparat Polda Metro Jaya terhadap massa gabungan dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), SolidaritasPerempuan (SP)dan LBH
Jakarta,karena merupakan pelanggaran terhadap jaminan kebebasan mengeluarkan pendapat
dan berekspresi.

 

Koalisi
Aksi BersamaInternational Women’s Day 2017meminta
Presiden R.I. untuk menjadikan peningkatan perlindungan Buruh Migran
Indonesia di Arab Saudi sebagai salah satu bentuk kerja sama dengan Raja Arab
Saudi;memintaPresiden R.I. untuk
meminta Raja Arab Saudi membebaskan BMI yang menjadi korban kriminalisasi; danmeminta Kapolda Metro
Jaya untuk menindak tegas oknumkepolisian
yang melakukan kekerasan terhadap massa aksi.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!