Untuk Perempuan Timor





Maret adalah bulan penting bagi kami. Selain perempuan di seluruh dunia memperingati hari perempuan internasional pada tanggal 8 Maret, pada tanggal 8 Maret 2017 ini Konde.co juga memperingati ulangtahun yang pertama.



Tepat di hari ulangtahun pertama kami di tanggal 8 maret 2017 ini, Konde.co akan menyajikan sejumlah tulisan dalam edisi khusus “Untuk Perempuan Timor.” Tulisan ini merupakan pemetaan, liputan yang kami lakukan di sejumlah daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) bersama Oxfam Indonesia pada akhir Februari 2017 lalu. Mengapa Perempuan Timor? Perempuan Timor adalah perempuan yang harus berjuang dengan keteguhan, jejak kaki panjang untuk keluar dari kekerasan, kemiskinan yang terus terjadi sehingga menempatkan perempuan disana sebagai perempuan yang tinggal di wilayah termiskin ketiga di Indonesia. Edisi khusus ini akan kami tampilkan mulai tanggal 2-8 Maret 2017. 



Terimakasih banyak atas dukungan, solidaritas sekaligus partisipasi pada Konde.co selama setahun ini. Sebagaimana bayi yang baru saja lahir, kami baru belajar untuk merangkak, namun punya semangat untuk berjuang bagi perempuan di Indonesia. Selamat membaca.

Luviana – www.Konde.co

Kupang, Konde.co – Ingatan saya tak pernah lepas pada Lusia (bukan nama sebenarnya), ketika kaki saya kembali ke kota Kupang di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada akhir Februari 2017 lalu. Tanah kering yang kami lewati selalu mengingatkan saya pada surat-surat yang pernah  ditulisnya dulu.

Lusia, gadis kecil berumur belasan tahun, rambut yang selalu dikepang rapi, adalah seorang pegawai hotel kecil di Maumere, Flores, NTT. Waktu itu bulan Desember, namun hujan tak kunjung datang di kota itu. Itulah pertamakalinya kami bertemu sekitar 17 tahun lalu.

“Bagaimana kabar kakak? Jangan lupakan adik kak, juga perempuan-perempuan disini.”

Surat-surat itu beberapakali datang ke kantor lama saya. Surat yang selalu membuat airmata saya basah. Kakak Lusia harus menikah di umur 16 tahun, dan kala itu, Lusia juga diminta menikah cepat oleh orangtuanya.

Umurnya masih 15 tahun ketika saya mengenalnya. Ia harus bekerja apa saja untuk membantu ibunya. Maka ia bekerja untuk membersihkan hotel setiap harinya. Menyapu, mengepel, membuat teh dan menyajikan makanan di malam hari untuk tamu-tamu hotel. Pagi hari hingga siang, ia masih bisa sekolah sambil membantu ibunya berjualan kue-kue.

Ayah Lusia pergi, sesaat setelah berpamitan akan menjual kain-kain yang telah selesai ditenun ibunya. Ayahnya berjanji untuk pulang secepatnya. Namun sejak memanggul kain-kain itulah, ayahnya tak pernah kembali.

“Kamu sudah mencoba mencarinya?,” kata saya, perempuan muda, hidup di kota besar Jakarta dan merasa paling tahu, ingin mengusulkan sesuatu.

“Sudah kak. Saya coba menelepon semua saudara di kota, awalnya tak ada yang melihatnya. Tapi sesudah itu ada yang melihat ayah menikah lagi. Ayah menggunakan uang hasil penjualan kain untuk menikah lagi.”

Surat terakhir Lusia mengabarkan soal perkawinannya, yang dilakukan melalui perjodohan karena ia sudah dianggap besar. Sudah 16 tahun. Ibunya tak lagi bisa membiayainya sekolah, sedangkan uang yang Lusia dapatkan, harus digunakan untuk membiayai makan dan sekolah adiknya yang lain.

“Selesailah cita-citaku ingin jadi sarjana, kak,” tulisnya dalam suratnya.

Badan saya gemetar. Saya tak bisa melihat Lusia dengan matanya yang terus basah. Ingatan akan Lusia tak pernah hilang hingga kini. Apa yang bisa saya lakukan untuk Lusia, untuk ibunya untuk adik dan kakaknya? Saya merasa sangat egois, bisa kuliah, bekerja sebagai jurnalis, hidup di kota dan dipermudah segalanya.

Bagi saya, Lusia adalah perempuan yang selalu menjadi pengingat, bahwa hidup harus berarti bagi orang lain.

Dan sekarang, tiba-tiba ingatan saya kembali pada Lusia, pada kepedihan dalam surat-suratnya. Teriknya matahari di Kota Kupang, listrik yang sering padam di malam hari, tanah yang kering dan tandus di tengah bangunan beberapa mall yang mulai terbangun di kota ini, serta sejumlah perempuan yang mengalami kekerasan, mengingatkan pada surat-surat Lusia yang masih saya simpan hingga sekarang.



Kemiskinan Perempuan

NTT termasuk daerah termiskin ketiga di Indonesia setelah Papua dan Papua Barat. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Nusa Tenggara Timur di tahun 2016 melansir jumlah penduduk miskin di daerah itu hingga Maret 2016 mencapai 1,149 juta orang atau 22,19 persen. Ini berarti Nusa Tenggara Timur berada di peringkat ketiga daerah termiskin di Indonesia.

Menurut berbagai standar ekonomi, ekonomi di provinsi ini lebih rendah daripada rata-rata daerah-daerah lain di seluruh Indonesia.

Persoalan kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan budaya yang menempa masyarakat disana, membuat para perempuan NTT menjadi semakin tertinggal jauh.  Perkawinan anak-anak, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga karena pendidikan rendah juga kemiskinan merupakan cerita sehari-hari yang dialami perempuan disana.

Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH-APIK) Nusa Tenggara Timur mencatat maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak telah menempatkan daerah ini pada posisi kelima terbesar dari 34 Provinsi di Indonesia.

Data LBH APIK NTT menyebutkan dari tahun 2011-2017 terdapat 326 kekerasan terhadap perempuan yang terjadi disana, atau kurang lebih 53 pertahunnya atau lebih dari 4 perempuan yang mengalami kekerasan perbulannya. Kekerasan ini dilakukan secara fisik, namun tak jarang dilakukan secara verbal. Yang lain ada kekerasan ekonomi, misalnya suami meninggalkan begitu saja istri dan anak-anaknya seperti yang dialami Lusia, atau perkosaan yang berarti terjadi kekerasan seksual.

“Kekerasan fisik dan verbal adalah yang banyak terjadi, misalnya para perempuan dimaki, tak boleh ikut kegiatan. Atau suami pulang, makanan belum ada, lalu suami marah sama istri. Padahal istri juga bekerja mencari rumput dan menjaga anak-anak, lalu setelah dimaki, ada juga yang dapat kekerasan fisik,” ujar Direktur LBH Apik NTT, Ansy Rihi Dara.

Banyak istri kemudian tidak punya pilihan selain diam menerima perlakuan kasar. Segala bentuk kekerasan, akan selalu tertutup rapat kisah ini dan terkubur dalam-dalam agar tak menjadi aib bagi keluarga besar. Karena bercerita pada orang lain dianggap menceritakan aib keluarganya.

Lalu Apa yang Dilakukan untuk Perempuan?

Hingga kini kita masih melihat persoalan mendasar yang menimpa perempuan di NTT yang sebagian besar diantaranya:

1. Perempuan yang sudah dinikahkan di usia anak-anak

2. Persoalan belis/ mahar dimana perempuan dihargai dari belis sebagai nilai tukar perkawinan

3. Kemiskinan yang membuat perempuan tak bisa melanjutkan sekolah

4. Kekerasan dalam rumah tangga

5. Angka Kematian Ibu dan Bayi

6. Gizi Buruk

7. Perempuan Buruh Migran

8. Perdagangan perempuan

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak NTT, Bernadetta Meliani Usboko mengatakan bahwa pemerintah NTT mempunyai pekerjaan besar untuk menyelesaikan berbagai persoalan perempuan dan anak di NTT.

“Persoalan ini seperti terkait satu sama lain, pendidikan yang buruk untuk perempuan berimbas bagi kemiskinan, kesehatan dan gizi buruk untuk perempuan. Kemiskinan juga mengakibatkan kematian para perempuan, menyebabkan perempuan menjadi korban kekerasan.”

Contoh kecil misalnya, ketika akan melahirkan, yang memutuskan untuk dimana akan melahirkan, kapan akan melahirkan adalah suaminya. Ini karena perempuan tak mendapatkan pendidikan yang cukup. Jika mendapatkan pendidikan yang cukup, maka perempuan bisa memutuskan sesuatu yang berguna untuk kesehatannya.

“Ini akhirnya menjadi budaya yang membuat perempuan tidak percaya diri, apapun keputusan harus seijin suami dan tak berani untuk bicara di muka umum,” ujar Bernadetta Meliani.

Soal lain yang terus terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga. Bernadetta mengatakan bahwa pemerintah tak mungkin bekerja sendiri mengatasi persoalan-persoalan ini. Maka mereka kemudian banyak bekerjasama dengan organisasi perempuan, seperti LBH APIK misalnya untuk mengatasi persoalan ini.

Saat ini Pemerintah NTT bersama Oxfam Indonesia juga telah mengeluarkan pemetaan atau grand strategy soal perlindungan untuk anak dan perempuan NTT. Pemetaan ini untuk waktu yang akan datang direncanakan akan menjadi sebuah Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Perempuan dan Anak.

Pemerintah NTT mempunyai sejumlah target yang akan dilakukan untuk perempuan dan anak-anak disana, antaralain:

1. Pendidikan untuk perempuan dan anak

2. Kota layak anak hingga di tingkat desa

3. Forum Perempuan

4. Perlindungan hak perempuan buruh migran dan stop perdagangan perempuan

5. Membuat tempat belajar dan perpustakaan anak

6. Semakin mengaktifkan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk para korban kekerasan.

Ketua Komisi V DPRD NTT, Winston Rondo menyatakan bahwa pihak DPRD akan memberikan dukungan jika grand strategi ini dijadikan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak.

“Walaupun masih berupa grand strategy, namun kami sudah membahas ini, tinggal menambahkan apa yang kurang dan apa yang perlu ditambahkan bagi perlindungan perempuan dan anak,” ujar Winston Rondo.

Berbagai upaya ini diharapkan bisa lebih fokus untuk memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak. Pemerintah misalnya mempunyai sejumlah target yang harus dicapai setiap akhir tahun. Bernadetta Meliani berharap, target-target ini bisa dicapai untuk melindungi perempuan dan anak di NTT.

Selesai wawancara yang kami lakukan, saya kembali teringat Lusia. Semoga, apa yang akan dilakukan, janji pemerintah ini, bisa meringankan beban Lusia dan para perempuan NTT lainnya. Paling tidak, untuk anak-anak perempuan Timor nantinya.

(Bersambung)

(Referensi: https://m.tempo.co/read/news/2016/07/19/058788624/nusa-tenggara-timur-provinsi-ketiga-termiskin-indonesia)

(Foto/ Ilustrasi: floresztantt.blogspot.com)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!