Simbah Ginol dan kain batik lawasannya |
Febriana Sinta,www.konde.co
Jogjakarta, konde.co-Saya dulu harus jalan kaki keluar masuk kampung untuk mencari jarik(kain) batik. Kadang dapat, kadang tidak..
Itu adalah awal cerita dari Mbah Ginol,penjual kain batik lawasan di Pasar Beringharjo. Simbah yang sebenarnya bernama Suginem ini sudah lebih 40 tahun menjadikan kain batik lawasan (bekas) menjadi penopang kehidupan keluarganya. Kain batik lawasan diperolehnya dari membeli kain batik bekas yang biasanya dipakai simbah (nenek) yang hidup di pedesaan.
“ Kolo mben gampil madosi jarik ingkang sae, simbok-simbok taksih kathah ngagem,” ujar simbah.
(Jaman dulu gampang mencari kain batik yang bagus, karena masih banyak ibu dan orang tua yang memakainya)
Alasan simbah yang berusia 70 tahun ini tetap setia menjual kain batik lawasan ini adalah karena dirinya tidak memiliki pekerjaan lain yang bisa dilakukan.
Sebelum berjualan batik lawasan Mbah Ginol berjualan baju bekas, namun keuntungan dari penjualan baju bekas dirasakan tidak mendapatkan keuntungan besar. Kemudian dia berpindah jualan kain batik lawasan.
Mbah Ginol mempunyai lima anak, untuk berjualan di Pasar Beringharjo saat ini dibantu anak atau menantunya. Kesehatan yang menurun dan cepat capek menjadikan Mbah Ginol tidak selincah dulu.
“ Saya sudah tidak kuat kalau harus naik bus atau jalan kaki pulang ke rumah, jadi harus diantar jemput,” ujarnya sambil terkekeh.
Berbincang dengannya kita dapat mengetahui banyak sejarah kain batik. Simbah dapat menceritakan beberapa motif kain yang harus dipakai saat acara tertentu. Misalnya adalah kain batik motif Parang Rusak adalah kain yang sering dipakai oleh priyanyi (bangsawan) Kraton Jogjakarta dan Surakarta. Kain motif Truntum dan Sidomukti, harus dipakai saat hajatan pernikahan. Namun simbah menyayangkan saat ini banyak yang tidak mengetahui arti penting dari pembuatan motif kain batik.
“ Dulu tidak ada yang berani memakai kain Parang Rusak, karena kita hanya masyarakat biasa. Bisa didukani (dimarahi). Tapi sekarang semuanya bisa pakai.”
Menurutnya hal ini tidak lepas dari minimnya pengetahuan tentang sejarah batik sehingga masyarakat tidak lagi mengikui aturan yang berlaku.Selain itu dirinya mengeluhkan sulit untuk menemukan kain batik yang dibuat dari bahan alami.
“Hampir semuanya printing, dibuat oleh pabrik. Jadi makainya juga sebenarnya tidak enak, kasar. Kalau jaman dulu masih banyak yang tulis, dan cap, lebih halus.”
Untuk mendapatkan kain batik yang berkualitas, sebulan sekali bersama anaknya Mbah Ginol mendatangi beberapa temannya yang masih tinggal di desa. Namun ada juga beberapa orang yang datang ke kiosnya untuk menjual kain batik milik leluhurnya.
Untuk menentukan harga jual kain batik lawasan dibagi tiga jenis. Yang pertama batik tulis asli, kain batik cap, dan kain batik cacat. Selembar kain batik cacat dihargai Rp15.000, biasanya kain ini sebagai bahan pembuatan tas dan dompet. Sedangkan kain lawasan cap akan dihargai Rp25.000 – Rp45.000. Dan kain tulis asli asli akan dijual Rp90.000 hingga ratusan ribu rupiah.
“ Harga kain tulis tergantung motifnya, saya pernah menjual satu kain sejuta karena bagus sekali,”kenang Mbah Ginol.
Menurutnya yang paling sulit adalah mendapatkan kain yang pernah dipakai keluarga kraton. Karena kain dari kraton berbeda dengan yang beredar di pasaran. Kain yang halus dan motif yang jarang dilihat menjadikan kain batik lawasan kraton banyak yang menginginkannya.
Berbincang dengan simbah seperti sedang membaca cerita atau kamus sejarah kain batik. Tak terasa sudah dua jam saya bersamanya di kios yang berukuran 2 x 4 meter di lantai 3 Pasar Beringharjo. Namun sayang, belakangan ini saya tidak dapat menemui simbah, kesehatan mata yang terus menurun menyebabkan simbah harus banyak istirahat di rumah.
Foto : Febriana Sinta