Pekerja lepas

Boro-boro THR, Kekerasan Seksual dan Gaji Layak Masih Jadi Ancaman Pekerja Lepas

Para pekerja lepas di Indonesia masih punya segudang persoalan, seperti tak mendapat gaji layak dan THR. Di luar itu, mereka kerap alami kekerasan seksual. Hal ini terpapar dalam riset Serikat Sindikasi bersama Konde.co yang di launching 23 Maret 2024 lalu.

Salah satu pekerja lepas, sebut saja namanya Diana, memilih bekerja sebagai design grafis freelance di Jakarta.

Diana pernah mengatakan pada Konde.co bahwa ia sering dihadapkan pada situasi sulit. Deadline yang ketat, revisi yang seharusnya dilakukan 3 kali. Namun ternyata harus dilakukannya berkali-kali, untuk memenuhi keinginan klien.

Ketika giliran tenggat waktu pembayaran honor, ternyata juga molor atau tidak tepat waktu pembayaran. Padahal sebagai perempuan, ia harus membiayai hidupnya, hidup ibunya yang sudah makin menua.

Inilah situasi sulit yang banyak dialami para pekerja freelance di Indonesia. Revolusi industri 4.0 dan 5.0 memang situasi yang tak terelakkan. Banyak perusahaan yang membutuhkan para pekerja kreatif freelance. Namun situasi ini menjadi rumit ketika pekerja tak mendapatkan gaji sesuai kontrak atau kerja yang tidak berbasis pedoman yang jelas. Jadi, jangankan dapat THR, dapat gaji tepat waktu saja sudah bersyukur.

Pekerja lepas yang selama ini tak mendapat THR seperti Diana, utamanya mereka yang baru saja memulai karir. Mereka tak punya posisi tawar yang cukup. Sehingga, tak mudah menegosiasikan THR padahal ada aturan negara yang mewajibkan pembayarannya. 

Serikat SINDIKASI pada 23 Maret 2024 lalu me-launching riset soal model pengupahan di media dan industri kreatif. Dalam acara ini SINDIKASI bersama Konde.co juga melaunching riset soal kekerasan seksual yang terjadi pada pekerja media dan industri kreatif.

Baca Juga: Perempuan Pekerja Freelance Akan Kehilangan Pekerjaan Karena #BlokirKominfo

Ikhsan Raharjo, Ketua Umum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), mengungkap, para pekerja lepas ini seringkali khawatir jika terang-terangan meminta THR, mereka bakal kehilangan atau tak diperpanjang pekerjaannya. 

“Mereka seringkali khawatir akan kehilangan pekerjaan atau tidak menerima pekerjaan lanjutan apabila dianggap terlalu banyak menuntut,” kata Ikhsan ketika dihubungi Konde.co, Kamis (28/3).  

Padahal, suka cita jelang lebaran bagi pekerja, salah satunya yaitu menanti Tunjangan Hari Raya (THR) yang bakal cair. Tapi, hal ini seolah sebuah “kemewahan” yang sulit dijangkau bagi para pekerja lepas (freelancer). Sebab tak sedikit dari pekerja lepas ini yang tidak mendapatkan THR. 

Serikat SINDIKASI sampai kini seringkali menerima cerita dari para pekerja lepas yang tak juga menerima THR. Meskipun, secara aturan ketenagakerjaan mereka sudah memenuhi syarat. 

Pengaturan THR diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan yang dipertegas melalui Surat Edaran (SE) Nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan 2024 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. 

Baca Juga: Akhirnya Dapat THR: Pekerja Lepas, Lebaran Harus Dapat THR!

Ikhsan Raharjo menekankan pentingnya pemberi kerja untuk mematuhi Permenaker Nomor 6 Tahun 2016. Peraturan itu menjamin semua pekerja termasuk freelancer mendapatkan THR sepanjang ia sudah bekerja dengan masa kerja satu bulan secara terus menerus atau lebih.

“Jadi, diatur atau tidak diatur dalam kontrak kerja, pekerja, termasuk freelancer, yang sudah bekerja dengan masa kerja satu bulan secara terus menerus atau lebih berhak untuk menerima THR,” ujarnya.  

Penekanan itu Ia sampaikan, seiring dengan laju pertumbuhan jumlah pekerja lepas di sektor media dan industri kreatif semakin meningkat. Per tahun 2021, pekerja ekonomi kreatif mencapai 7,72 juta orang. Selama periode 2011-2021, jumlah pekerja di sektor ekonomi kreatif cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 3,19% per tahun (BPS, 2022). 

Koordinator Divisi Advokasi SINDIKASI Guruh Riyanto menambahkan, pekerja lepas tergolong dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Oleh karena itu, perhitungan besaran THR merujuk pada pasal 3 mesti sesuai dengan masa kerja dan besaran upah rata-rata yang diterima selama sebulan.

“Pekerja/buruh yang bermasa kerja minimal 1 bulan secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan THR secara proporsional. Dengan menghitung jumlah masa kerja dibagi 12 bulan dikali satu bulan upah,” ujar Guruh.

Sementara bagi pekerja dan buruh yang telah memiliki masa kerja selama 12 bulan secara terus menerus atau lebih berhak mendapat THR sebesar satu bulan upah. Guruh pun mengingatkan agar perusahaan atau pemberi kerja wajib membayarkan THR kepada pekerja selambat-lambatnya 7 hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. 

Baca Juga: Menjadi Pekerja Lepas, Solusi atau Persoalan?

Lebih lanjut, Guruh juga mengajak seluruh pekerja, termasuk freelancer untuk berani memperjuangkan hak THR terlebih hal itu telah diatur dalam regulasi yang kuat. 

“Pemerintah juga harus punya komitmen yang tegas untuk mengawasi dan menindak, dan memberikan sanksi perusahaan yang tidak menunaikan kewajibannya memberikan THR kepada pekerja sesuai dengan aturan yang berlaku,” tegas Ikhsan.  

Pekerja lepas hidup dalam dua sisi yang bertolak belakang. Di satu sisi, pekerja ini identik dengan aktivitas kerja yang kreatif, mandiri, penggerak sektor kunci (Horowitz et al, 2005); kerja yang cair, lincah, dan fleksibel (Horowitz & Poynter, 2012); serta kerja yang relevan dengan masa depan (Mizrahi, 2018). Namun, di sisi lain mereka harus berjuang untuk menghadapi ketidakamanan ekonomi, masalah-masalah kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan di masa pensiun (Horowitz et al, 2005). 

Ketidakamanan tersebut hanya akan dapat dihadapi jika pekerja lepas mendapat upah yang layak dan perlindungan dalam memperjuangkan pencapaian upah yang layak. Namun, hal ini masih sulit dipenuhi oleh pekerja lepas di Indonesia. Oleh karena itu, penulis ingin mengkaji persoalan upah dan perlindungannya bagi para pekerja lepas di Indonesia. Persoalan pekerja lepas di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sistem perburuhan yang ada. 

Sistem ini semakin didominasi oleh neoliberalisme, terutama sejak lahirnya Undang Undang Cipta Kerja yang kontroversial. Dalam kajian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta terungkap, bahwa Undang-undang Cipta Kerja telah menempatkan kelas pekerja ke dalam posisi yang semakin rentan. Perlindungan terhadap kelas pekerja diperlemah agar sistem perburuhan Indonesia lebih “ramah pasar dan investor” serta “fleksibel”.

Undang-undang ini membuat perubahan mendasar dalam hukum perburuhan Indonesia dengan melakukan pelonggaran ketentuan kerja kontrak, perluasan sistem outsourcing, pembenaran politik upah murah, pelemahan hukum pidana perburuhan, perpanjangan waktu lembur, dan pengurangan hak cuti, sekaligus melemahkan peran serikat pekerja. Perubahan ini segendang sepenarian dengan resep reformasi sistem perburuhan yang selalu disarankan Bank Dunia kepada pemerintah. 

Baca Juga: Perempuan Petani Tak Pernah Dianggap Pekerja, Dianggap Pembantu Suami di Sawah

Bagi pekerja media dan industri kreatif, kelahiran UU Cipta Kerja menggenapi cobaan berat bagi penghidupan mereka yang diamuk pandemi Covid-19 selama tiga tahun. 

Survei yang dilakukan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) terhadap 139 responden pada April 2020 menemukan bahwa 61,35% responden mengalami pembatalan pekerjaan atau proyek. Sebanyak 32,8% responden berpotensi kehilangan pemasukan sebesar Rp 5-15 juta sejak Maret hingga Juli 2020. Sementara itu, hanya sekitar 0,4% dari mereka yang mengakses bantuan dari pemerintah.

Riset Pekerja Lepas: Butuh Alat Kerja Elit, Upah Layak Sulit

Besar pasak daripada tiang, inilah realitas pekerja lepas hari ini. Dalam konteks ini, pengeluaran untuk produksi lebih besar dibandingkan upah yang diterima. Hal itulah yang ditemukan SINDIKASI dalam riset terbarunya: pengeluaran per bulan pekerja lepas lebih besar dua kali lipat dari upah yang mereka dapat. 

Estu Putri Wilujeng, Tim Peneliti Upah Layak untuk Semua, mengatakan persoalan timpangnya upah freelancer dengan pengeluaran yang mereka miliki kerap kali tidak disadari. 

“Ini karena beberapa hal. Seperti termin pencairan upah mereka yang terlihat besar meskipun jika dihitung per bulan jauh lebih rendah. Serta adanya akses terhadap kredit dan utang,” ujar Estu saat peluncuran riset, Sabtu (24/3).  

Riset berjudul ‘Upah Layak untuk Semua: Model Pengupahan Pekerja Lepas di Industri Media dan Kreatif’ itu memotret situasi 55 pekerja lepas di industri media dan kreatif. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Di antaranya, Bali, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Banten, D.I. Yogyakarta, Gorontalo, Jawa Timur, Jawa Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan.

Tim peneliti menemukan mayoritas responden (75,55%) mendapatkan upah kurang dari Rp 7 juta per bulan. Di sisi lain, total rata-rata kebutuhan alat produksi per bulan per proyek adalah Rp 1.729.634 dan total kebutuhan untuk reproduksi per bulan yakni Rp 13.082.303,95. 

Dengan demikian, total pengeluaran rata-rata pekerja lepas jika dihitung secara kumulatif adalah Rp 15.444.557,2 per bulan.

Baca Juga: Dear Pemberi Kerja, Pekerja Informal Juga Harus Dapat THR

Alat produksi yang dimaksud dalam penelitian ini termasuk laptop, smartphone, kendaraan bermotor, kamera, lensa, dan lain-lain yang selama ini ditanggung sendiri pengadaannya oleh freelancer. Adapun komponen yang termasuk dalam aspek reproduktif yakni biaya pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan lainnya.

“Penentuan kenaikan upah yang hanya didasari oleh pertumbuhan ekonomi dan inflasi seperti dalam sistem pengupahan versi pemerintah hari ini juga menjadi masalah,” imbuhnya.  

Ia menerangkan, persoalan itu timbul karena aspek kebutuhan produktif dan reproduktif freelancer terus bertambah. Sehingga, tidak bisa hanya mendasarkan kenaikan harga dari kebutuhan sebelumnya. 

Sebagai contoh, freelancer graphic designer perlu mengganti laptop dengan spesifikasi yang lebih tinggi setiap periode tertentu untuk menaikkan kualitas kerjanya. Kebutuhan ini tidak bisa dipenuhi hanya dengan menambahkan komponen harga laptop lama dengan inflasi saja.

Baca Juga: Perusahaan Teknologi Gagal Lindungi User dan Pekerja Perempuan: Ini yang Harus Dilakukan

Dalam aspek reproduktif juga misalnya. Peningkatan pengeluaran freelancer untuk memenuhi kebutuhan anak yang mulai bersekolah tidak bisa dicukupi hanya menggunakan skema kenaikan upah berkala berdasar penambahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, peneliti menyusun model pengupahan pekerja lepas yang mengakomodir kebutuhan produktif, kebutuhan reproduktif, dan kebutuhan pengembangan diri. Disesuaikan dengan status dan rekognisi berupa pengalaman kerja, tingkat keterampilan dan beban kerja yang ada. 

“Pemodelan tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena membutuhkan strategi advokasi yang matang yang sesuai dengan ekologi dan kehidupan sehari-hari pekerja lepas. Untuk mendapatkan upah layak,” kata Estu. 

Kekerasan Seksual Juga Mengintai Pekerja Kreatif

Tak hanya soal kondisi upah layak yang sulit didapat, pekerja industri media dan kreatif juga mengalami persoalan kekerasan seksual. 

Riset berbeda berjudul ‘Kekerasan Seksual terjadi di Kalangan Pekerja Industri Media dan Kreatif, Mari Mengajak Semua Pihak Berani Bicara’ yang dikerjakan oleh SINDIKASI bersama Konde.co, menemukan, sebanyak 37,68% responden pernah mendengar adanya kasus pelecehan dan kekerasan di dunia kerja. 

Kemudian sebanyak 29,03% responden pernah memiliki pengalaman langsung atas kasus-kasus pelecehan dan kekerasan di dunia kerja. Hanya sekitar 10,75% responden yang menjadi saksi adanya kasus pelecehan dan kekerasan di dunia kerja. Sedangkan yang tidak pernah mengalami satupun sebanyak 22,58%.

Tim peneliti dari Konde.co, Lestari Nurhajati memaparkan data yang menunjukkan, mayoritas pelecehan dan kekerasan seksual terjadi di lingkungan kerja. Yaitu mencapai 62,8% dari keseluruhan kasus. Hotel, kafe/restoran, tempat klien, rumah, area publik, dan lokasi lainnya juga menjadi tempat umum di mana kasus serupa terjadi. 

Namun, hanya sekitar 32% dari individu yang menjadi korban melaporkan kejadian tersebut. Dari jumlah itu, 46% melaporkan kepada atasan atau supervisor mereka. Sementara 24% melaporkan kepada rekan kerja. Sebagian kecil lainnya melaporkan kepada psikolog, satuan tugas internal, atau lembaga eksternal seperti polisi dan komisi perlindungan hak asasi manusia.

Baca Juga: Di PHK Dari Pekerjaan Karena HIV/ AIDS: Diskriminasi Pekerja

“Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara pengalaman pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja serta sikap terhadap perlunya advokasi bagi korban cenderung cukup signifikan. Ini menunjukkan pentingnya meningkatkan kesadaran akan kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja. Terutama di bidang media dan industri kreatif,” ujar Lestari Nurhajati.

Tim peneliti lantas merekomendasikan untuk melakukan sosialisasi tentang pentingnya penghentian kekerasan dan pelecehan di dunia kerja kepada seluruh anggota tim. Termasuk pimpinan, pekerja, dan pihak terkait lainnya seperti klien dan narasumber.

Kedua, memberikan pendidikan tentang kekerasan berbasis gender di lingkungan kerja kepada semua pihak terkait. Hal ini penting untuk meningkatkan pemahaman akan masalah ini dan mengurangi insiden kekerasan dan pelecehan.

Ketiga, mengajak pekerja untuk berani berbicara tentang kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja. Hal ini dapat menciptakan lingkungan di mana korban merasa didukung untuk melaporkan kasus-kasus tersebut.

“Terakhir, penting untuk mendorong pimpinan perusahaan untuk membuat aturan yang jelas dan tegas mengenai kekerasan dan pelecehan di lingkungan kerja. Hal ini dapat (diharapkan) menciptakan lingkungan kerja yang aman dan mendukung bagi semua pekerja,” pungkasnya.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!