Sica Harum- www.Konde.co
“Banyak ‘janji’ melebihi kapasitas diri, menghancurkan kepercayaan. Membangunnya kembali tak mudah. Keping-keping itu perlu disusun ulang, direkatkan kembali, dan belum tentu bisa menjadi kesatuan yang utuh kembali. Sulitnya perempuan membuat ‘janji.”
Ini adalah pengalaman, sharing dari beberapa teman perempuan saya yang bekerja secara freelance. Pekerjaan menjadi freelance memang serba tidak bisa diprediksi. Tiba-tiba gak ada job sama sekali. Kita bisa tidak mengerjakan apapun dalam waktu berminggu-minggu. Namun bisa saja tiba-tiba job itu datang secara berbarengan.
Pernah pada suatu ketika, teman perempuan saya yang bekerja di sebuah Production House pembuatan film, berjanji untuk menjadi fasilitator di sebuah diskusi. Namun tiba-tiba ada job pembuatan mini seri film ke luar kota. Dia harus cepat berangkat karena film akan dibuat dalam jangka waktu 2 minggu.
“Sedihnya saat itu. Saat itu sudah janji dengan teman untuk menjadi fasilitator diskusi. Tapi, jika job di mini seri film ini tidak kuambil akan rugi. Karena ini tidak hanya soal pemasukan, tapi juga soal relasi dan jaringan,” keluhnya kala itu.
Kalau sudah begini, mau apalagi?
Akhirnya ia mencari teman yang lain untuk menggantikannya menjadi fasilitator diskusi. Waktunya mepet banget, untung ada teman yang menolong. Walau penyelenggara diskusi sempat kecewa, namun apa boleh buat.
Teman perempuan saya yang lain juga mengalaminya. Suatu saat, ia kebanjiran job mengedit sejumlah buku. Deadline-nya sangat ketat. Maka ia harus berjibaku siang malam tidak tidur untuk menyelesaikan mengedit buku-buku tersebut. Mau tak mau, karena ini bagian dari konsekuensi atas pilihan.
Beginilah susahnya menjadi pekerja freelance. Di satu sisi, menurut teman perempuan saya, ia punya waktu yang sedikit longgar karena ia bisa menghandle pekerjaan rumah, mengurus anak. Sejumlah pekerjaan seperti mengedit film dan mengedit buku juga bisa ia kerjakan di rumah dengan lebih leluasa. Namun kadang, ketika job ini datang tiba-tiba dan menumpuk, ia harus menjadikannya priorotas. Satu persatu mesti dikerjakan. Dan suami mesti mengambil alih pekerjaan ini.
2 teman saya ini punya suami yang mau diajak bekerjasama. Jadi ketika mereka harus ambil pekerjaan di luar kota atau dengan job yang banyak, suaminya langsung menghandle semua pekerjaan rumah dan anak.Suaminya yang harus memastikan anak-anak diantar jemput, ada makanan di rumah, pulang tepat waktu, menemani anak-anaknya belajar dan membuat PR. Hal-hal yang tiap hari dikerjakan di rumah.
Namun ada sejumlah teman perempuan lain yang kondisinya tidak sama. Jika ada pekerjaan yang banyak, ia tetap harus bekerja keras. Orangtuanya diboyong pindahan sementara ke rumahnya, untuk mengurus rumah dan anak-anaknya.
Hemmm. Inilah yang membuat perempuan suit untuk berjanji. Bukannya tak bisa, tapi ada banyak unsur yang kadang tidak mendukung. Beban kerja domestik yang harus ia selesaikan juga disamping pekerjaannya di luar. Suami yang sulit diajak bekerjasama. Sehingga ia tak tahu harus minta tolong siapa.
Kondisi inilah yang kadang membuat perempuan seperti sulit memprediksi pekerjaannya, mendapat stigma sebagai perempuan yang tidak bisa sukses, mendapat stigma sebagai perempuan yang tidak fokus mengerjakan sesuatu.
Padahal? Bukan begitu kondisinya.
Stigma ini yang harus dilawan. Dan solusinya, suami harus mau diajak kerjasama. Tidak ada cara lain.