Poedjiati Tan – www.konde.co
Beberapa hari ini saya mendapat broadcast sebuah tulisan. Tulisan berisi: Kisah pilu kelompok Gay ini beredar di beberapa Whats App (WA) group dan di facebook.
Dalam cerita tersebut diceritakan seorang pendamping Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang bertemu dengan seorang ibu yang ternyata anaknya terinfeksi HIV. Namun diakhir cerita penulis justru melakukan judment dan stigma. Tulisan yang jelas homophobia dan menyebar kebencian:
Beberapa cuplikan dari cerita tersebut :
Memang banyak juga karena mereka pemakai narkoba… tetapi yang sangat banyak adalah dari kalangan kaum Sodom. Semakin hari jumlah mereka semakin banyak… mau menjadi apakah negara ini jika yang seperti ini dibiarkan. Akankah para generasi kita menjadi rusak karena hal ini.
Mohon para orang tua yang mempunyai putra putri lebih waspada… rangkul dan dekati putra putri kita… perhatikan pergaulannya… dengan siapa?? meski sejenis kita juga harus mengetahui bagaimana karakter teman2 mereka …
Kalau jaman dahulu sebagai orang tua kita merasa aman jika putra putri kita berteman dengan teman2 sejenis saja… saat ini jamannya sudah berubah… sisihkan waktu untuk mendampingi putra putri yang diamanahkan ALLAH SWT kepada kita… jagalah aqidahnya… ibadahnya…
Saya menulis kasus ini karena merasa miris … kaum ini sudah tidak malu2 lagi mempertontonkan ke eksisannya… bermesraan dan ciuman di tempat umum…
Seringkali kita jumpai orang memberikan informasi tentang HIV/AIDS dengan mengkaitkannya terhadap orientasi seksual atau gay. Tulisan ini menurut saya justru menutupi fakta-fakta lain penyebab tertularnya HIV, seperti broadcast tentang kisah pilu kaum gay, yang menekankan penyebab HIV/AIDS karena hubungan sejenis.
Padahal penyebab dan penularan HIV/AIDS banyak sebabnya. Menurut laporan Kementrian kesehatan RI tahun 2016 jumlah AIDS tertinggi menurut pekerjaan/status: adalah ibu rumah tangga sebesar 10.691.
Maka bila kita memberikan informasi tentang penyakit atau tentang pendidikan seksual dengan cara menakut-nakuti maka akan berbahaya buat generasi muda. Mereka tidak pernah atau takut mengajarkan tentang save sex atau seks yang aman pada anak muda. Bayangkan bila laki-laki melakukan hubungan seks yang beranti-ganti dengan banyak pasangan, akibatnya banyak ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suami.
Pendidikan seks buat anak muda selalu dikait-kaitkan dengan moral, bukan tentang hak seksual dan reproduksi yang semua orang harus mengetahuinya. Mereka selalu mengkaitkan pada moral dan dosa, bukan tentang seks yang aman atau tentang kesehatan reproduksi.
Misalnya berita tentang kematian artis Julia Peres yang terkena kanker serviks, dan ketika seorang teman share apa itu infeksi HPV serta bagaimana terjadinya kanker serviks. Ada seorang laki-laki yang berkomentar intinya bila tidak ingin terkena kanker serviks, perempuan jangan suka berganti-ganti pasangan. Padahal bisa jadi seorang istri terkena virus HPV dari suaminya dan suaminyalah yang suka berganti pasangan. Namun stigma itu justru dilekatkan pada perempuan.
Kanker serviks penderitanya pasti perempuan. Bila masyarakat memiliki persepsi kanker serviks karena berganti-ganti pasangan maka akan memberikan stigma dan berbahaya buat perempuan. Perempuan yang terkena kanker serviks akan memiliki beban psikologis ganda dan tak jarang di stigma sebagai perempuan nakal! Selain itu perempuan yang merasa tidak pernah berganti-ganti pasangan akan mempunyai kecenderungan merasa tidak perlu mengecek kesehatan reproduksinya atau melakukan pemeriksaan kesehatan seperti papsmear.
Pernah, ketika memberikan penyuluhan tentang gender dan seksualitas di daerah, teman-teman bertanya kepada para anggota karang taruna yang ikut. “Bagaimana perasaan kalian ketika mengetahui pacar kalian hamil karena hubungna seks yang kalian lakukan? Rata-rata para cowok menjawab bangga, itu tandanya mereka laki-laki sejati. Tetapi berbanding terbalik ketika mereka diminta bertanggung jawab dengan menikahi pacarnya. Mereka merasa belum siap dan selalu beralasan jika mereka belum memiliki pekerjaan.
Seks dan seksualitas selalu ditafsirkan sebagai sesuatu yang erotis, tabu, dan harus ditutupi, bukan untuk dibicarakan secara terbuka. Pendidikan seksual selalu dikaitkan dengan persoalan akhlak atau moral. Masyarakat sering memberikan pemahaman yang keliru tentang seks dengan cara menakut-nakuti remaja tentang seks.
Padahal pendidikan seksualitas perlu diajarkan kepada remaja agar mereka mengerti dan tahu apa saja tentang bahaya serta pencegahannya. Pendidikan seks bukan persoalan seks bebas tetapi mengajarkan remaja tentang resiko yang mungkin terjadi akibat melakukan hubungan seks yang tidak aman.
Selain itu pendidikan seks juga mencegah anak-anak dan remaja dari pelecehan ataupun kekerasan seksual. Jangan membuat remaja atau mendidik remaja menjadi seksphobia sehingga membuat mereka jadi takut membicarakan tentang seksual.
(Referensi: http://www.aidsindonesia.or.id/ck_uploads/files/Final%20Laporan%20HIV%20AIDS%20TW%201%202016.pdf