Film ‘YUNI’: Perempuan Percaya Mitos Atau Melanjutkan Hidup

Film “YUNI” adalah suara para perempuan yang tak terdengar yang melawan mitos patriarki yang melekat pada perempuan. Sebagai sutradara, Kamila Andini terinspirasi dari kisah pekerja rumah tangga (PRT) dan para perempuan yang nasibnya buruk di Indonesia

“Seorang perempuan yang menolak lamaran laki-laki sampai tiga kali, dia tidak akan pernah menikah.” 

Begitulah mitos yang dipercayai oleh masyarakat sekitar tempat Yuni tinggal. Gosip tentang mitos itu semakin menguat, kala Yuni menolak dua laki-laki yang datang melamarnya.

Sampai kemudian datanglah seorang laki-laki ketiga yang berniat mempersunting perempuan remaja yang cerdas di sekolah itu. 

Bukan perkara mudah, hidup di tengah masyarakat yang masih memegang teguh mitos. Yuni pun mendapat tekanan kuat, dia yang seorang perempuan remaja belasan tahun, harus memilih: percaya mitos atau mengejar impiannya untuk melanjutkan kuliah. 

Yuni bukanlah hanya tentang cerita sosok remaja perempuan. Yuni adalah suara para perempuan yang tak terdengar. Para remaja perempuan yang merindukan kebebasannya, namun terbelenggu oleh standar nilai bahkan mitos-mitos yang mengakar kuat di sosial masyarakat mereka. Terlebih, di kultural seperti wilayah Indonesia yang masih jamak terjadinya perkawinan anak. 

“Ini untuk suara-suara perempuan di Indonesia yang belum didengar. Ini untuk setiap perempuan di Indonesia dan dunia yang telah berjuang, bertarung bertahun-tahun, menemukan, berusaha menemukan kebebasan mereka,” kata Kamila Andini dalam pidato kemenangan saat menerima Platform Prize Toronto International Film Festival (TIFF)  2021 dikutip dari instagram suaminya, Ifa Isfansyah. 

Mengingat ke tahun 2015, Kamila pertama kali menghadiri festival film internasional di Toronto. Ini tahun ketiganya, hingga akhirnya bisa mendapatkan penghargaan dari ajang yang cukup bergengsi di dunia perfilman itu. 

“Saya sulit mempercayainya (kemenangan TIFF). Tapi, saya kira saya melihat ini sebagai harapan,” ujarnya. 

Film Yuni, merupakan film ketiga Kamila Andini yang berkompetisi di TIFF setelah film pendeknya berjudul ‘Sendiri Diana Sendiri (Following Diana)’ berkompetisi di program Short Cuts pada tahun 2015 dan film panjang keduanya yang berjudul ‘Sekala Niskala (The Seen and Unseen)’ di program Platform pada tahun 2017.

Melalui akun Instagram resmi festival @tiff_net, dewan juri menyampaikan bahwa mereka merasa tersentuh dengan film Yuni. Mereka menilai, film itu menyuguhkan perspektif baru dan intim dari kisah seorang remaja, yang ditandai dengan struktur, framing dan sinematografi luar biasa.

“Film yang membawa kesegaran, perspektif intim ke cerita yang maju, ditandai dengan struktur yang kuat, framing yang halus dan sinematografi yang kuat,” ujar Ahmed menyebutkan penilaian juri terhadap karya film Yuni.

Inspirasi dan Kiprah ‘YUNI’

Film tentang perkawinan anak itu, terinspirasi dari cerita Pekerja Rumah Tangga (PRT) Kamila yang suatu waktu pamit ke kampung halaman. Lantaran harus menemani anaknya yang kala itu berusia masih 17 tahun dan akan melahirkan. Selain itu, film itu juga dikembangkan dari berbagai referensi dan cerita-cerita perempuan yang sutradara Sekala Niskala itu pernah dengar lainnya.  

Sementara, judul film Yuni menurut Kamila, terinspirasi dari salah satu puisi terkenal karya Sapardi Djoko Damono berjudul ‘Hujan di Bulan Juni’. Pemaknaannya, ialah seperti hujan yang jatuh di musim yang tidak tepat. Seperti layaknya Yuni, karakter yang dirinya bangun sebagai seorang remaja yang dipaksa untuk “dewasa” tidak pada waktunya. 

Yuni yang cemerlang di sekolahnya pun, digambarkan sebagai remaja yang penuh mimpi. Hidup di era media sosial yang bisa membuka cakrawala “dunia dalam genggaman” pun, tak menjadikan Yuni bebas. 

“Yang harus dipikirkannya (Yuni) adalah menghadapi lamaran dan menikah,” ujar Kamila dalam keterangan persnya, beberapa waktu lalu.

“Saya mendengar begitu banyak cerita tentang gadis remaja yang punya potensi dan prestasi tapi harus gagal karena pernikahan, dan saya merasa perlu untuk membicarakan isu ini,” lanjutnya. 

Proses persiapan pembuatan film Yuni, telah dimulai sejak sekitar empat tahun silam. Hingga pengambilan gambarnya baru rampung di awal tahun 2020 sebelum pandemi Covid-19 melanda. Film yang disajikan dengan artistik memukau itu, diambil di wilayah Serang Banten, Jawa Barat. 

Film Yuni diperankan oleh Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Dimas Aditya, Marissa Anita, Asmara Abigail, Muhammad Khan, Nazla Thoyib, Neneng Risma, Vania Aurell, Boah Sartika, Anne Yasmin, Toto ST. Radik, Mian Tiara, Ayu Laksmi, dan Sekar Sari.

Adapun skenario ditulis oleh Kamila bersama Prima Rusdi. Produser film ini adalah Ifa Isfansyah dan diproduksi oleh Fourcolours Films bekerja sama dengan Akanga Film Asia (Singapura), Manny Films (Perancis), dengan dukungan pendanaan dari Aide Aux Cinémas Du Monde CNC Perancis, Infocomm Media Development Authority Singapura, Visions Sud Est Swiss, Program Pendukungan Film Indonesia untuk Distribusi Internasional Direktorat PMMB Kemendikbud Ristek Republik Indonesia, MPA APSA Academy Film Fund Australia, dan Purin Pictures Thailand.

Tak hanya festival film di Toronto, film Yuni juga lolos dalam seleksi Busan International Film Festival.

Di Indonesia, ada tiga film lainnya yang lolos seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas; film pendek Laut Memanggilku; dan Penyalin Cahaya. Nantinya keempat film tersebut akan ditayangkan di Busan International Film Festival (BIFF), yang digelar di Busan, Korea Selatan pada 6-15 Oktober 2021 mendatang.

(Foto: Joglosemarnews.com)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!