“Suara-suara yang muncul dari pesisir pantai selatan Yogyakarta menyimpan perjuangan panjang kaum perempuan. Tanah adalah jiwa abadi, tanah pula merupakan ujung tombak kehidupan yang paling dasar. Setiap ada perampasan tanah, maka bisa dipastikan akan lahir penindasan. Kolaborasi kelas para penguasa politik dengan elite-elite borjuis telah memungkinkan kaum elite menganugrahi diri mereka lahan- lahan garapan penduduk menjadi milik pribadi (Marx, 1990: 884).”
*Abdus Somad- www.Konde.co
Saya mencoba mengulas perempuan pesisir dalam perspektif perlawanan dan pertahanan ruang hidup. Walaupun saya sudah lama tidak bertatap muka dengan mereka, namun keinginan mengulas mereka adalah sebagai upaya mendokumentasikan perjuangan perempuan.
Akronim perempuan pesisir muncul karena dilatarbelakangi letak geografis mereka yang berada di zona pesisir serta paling fundamental dari keberadaan mereka adalah konsistensi mempertahankan ruang hidup.
Dua Perempuan, Kawit dan Rugiyati
Terakhir bertemu para perempuan yang tinggal di pesisir, Kawit dan Rugiyati ini seingat saya pada Festival Katok Abang, Watu Kodok, Gunungkidul, Jogja. Saat itu kami berbincang-bincang, mencoba mengulik permasalahan tanah Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG) yang penuh dengan kengerian.
Bagi mereka klaim tanah adalah bagian dari penindasan. Mereka benci adanya SG/PAG, mereka juga tidak terima jika tanah mereka diserobot kerajaan atau dimanfaatkan untuk mendulang pendapatan ekonomi kerajaan. Mereka juga tidak mau investor datang dengan segudang uang lalu mengusir tempat tinggal mereka.
Tapi bagaimana lagi, gencarnya arus kekuasaan dan kultur feodal yang begitu kuat melekat di masyarakat Jogja membuat mereka harus sekuat tenaga menyuarakan persoalan tersebut. Pikir mereka, setidaknya walaupun orang lain tidak ikut bersuara. Ia masih bisa mempertahankan tanah mereka dari ancaman land crabbing. Begitulah Kawit dan Rugiyati menyelami perjuangan di zona pesisir pantai selatan Yogyakarta.
Kawit dan Rugiyati adalah perempuan yang dengan berani mengambil sikap menentukan manifesto perlawanannya terhadap kaum elite borjuis yang sewenang-wenang menindas. Apa yang mereka tolak adalah bagian dari penyelamatan ruang hidup, ketahanan pangan sampai pada persoalan lingkungan terdekatnya. Mereka adalah perempuan luar biasa.
Sekali lagi kisah mereka perlu diabadikan, penting tidaknya bagi mereka, bukan menjadi persoalan bagi saya. Setidaknya kisah ini mungkin bisa menjadi inspirasi bagi kaum perempuan di seluruh penjuru negeri untuk terlibat aktif dengan berada di garis terdepan menyuarakan keadilan. Tentu saya akan lebih bersyukur jika mereka-pejuang pesisir membaca tulisan ini. Agar mereka tahu, mereka tidak sendiri, mereka bisa berlipat ganda.
Membayangkan perjuangan mereka, saya teringat dengan Comandante Ramona, sosok perempuan yang memimpin pemberontakan ke kota San cristobal de las Casas untuk menuntut hak masyarakat adat memprotes perjanjian bebas (NAFTA) hal tersebut dilakukan karena masyarakat adat merasa dirugikan dengan adanya skema pasar bebas tersebut. Protes-protes yang muncul dari pembrontakan mereka diantaranya menyerukan tanah, pekerjaan, perumahan, makanan sampai pada demokratisasi.
Mungkin agak lebay membandingkan perempuan pesisir seperti Kawit dan Rugiyati dengan Comandante Ramona. Namun saya pikir itu tidak masalah, persoalannya bukan pada perbandingan kapasitas individu, melainkan perjuangan mereka yang sama-sama memperjuangkan ruang hidup atas dominasi kapital, menuntut hak yang sama dan mencoba mewujudkan kemerdekaan yang hakiki adalah tujuan mereka. Saya menyakini dikemudian hari perempuan pesisir akan terus ada dan berlipat ganda.
Perempuan Pesisir dan Nalar Penguasa
Sejak ditetapkan sebagai kawasan strategis zona pesisir oleh Bappeda Daerah Istimewa Yogyakarta pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) 2017. Ruang hidup mereka kian terancam. Apa sebab? Kawasan mereka akan disulap menjadi gemerlap modernitas yang dipicu dari industrialisasi berkedok pariwisata.
Catatan Bappeda tertulis jika wilayah Parangtritis (Gumuk pasir) dan Gunungkidul (pantai pasir putih) sebagai ruang yang dapat mendapatkan pendapatan yang lebih besar dengan adanya pengembangan industri pariwisata. (Baca: Hasil Musrenbang DIY). Nalar penguasa yang haus akan modal bisa dilihat dari cara mereka memetakan potensi tanpa melihat resiko yang terjadi dikalangan masyarakat.
Melihat kenyataan yang demikian, pejuang perempuan pesisir seperti Kawit dan Rugiyati tidak tinggal diam. Mereka kemudian mencoba mengorganisir rakyat untuk mendulang semangat revolusioner.
Diakui atau tidak proses tersebut masih berlangsung di Yogyakarta. Terlebih saat ini dengan adanya Undang-Undang Keistimewaan (UUK) nomor 13 tahun 2012 dan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) Tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah-Tanah Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman, semakin meyakinkan jika apa yang sudah dilakukan oleh kaum elite Yogyakarta tidak begitu bermasalah bagi negara. Celakanya lagi negara juga mendukung legitimasi atas tanah di DIY. (baca:Selamatkanbumi.com).
Melihat gejala demikian, kaum perempuan tidak tinggal diam, mereka berteriak, berupaya membendung arus akumulasi primitif yang begitu massif di bumi mataram ini.
*Abdus Somadh, Aktivis lingkungan di Jogjakarta. Pengelola situs selamatkanbumi.com