Luviana- www.Konde.co
Apakah itu konseling laki-laki? Dan mengapa laki-laki perlu melakukan konseling?
Banyak terjadinya kekerasan terhadap perempuan membuat organisasi perempuan di Yogyakarta, Rifka Annisa melakukan konseling perubahan perilaku bagi laki-laki dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga maupun kekerasan terhadap perempuan berbasis gender lainnya.
Dalam informasi website Rifka Annisa, pemutusan rantai kekerasan akan lebih efektif apabila dilakukan oleh kedua pihak, baik korban maupun pelaku.
Konseling bagi laki-laki ini dimaksudkan untuk meningkatkan tanggungjawab laki-laki terhadap tindakan yang dilakukannya, serta mentransformasikan cara pandang sikap dan perilaku laki-laki agar lebih adil gender, menghargai perempuan, supportive, serta anti kekerasan. Oleh karena itu, perubahan perilaku pada pasangan turut membantu dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Rifka Annisa percaya bahwa sebagaimana perilaku itu dibentuk melalui proses belajar dan pembiasaan, maka perilaku juga bisa diubah melalui proses belajar dan pembiasaan, perilaku juga bisa diubah melalui proses belajar dan pembiasaan yang positif, diantaranya dengan mengajak laki-laki untuk memahami dirinya sendiri, berkomunikasi secara efektif, mengelola marah, membangun relasi intim dan setara, menjadi ayah (fatherhood), dan menghindari perilaku kekerasan.
Selama ini menurut catatan Aliansi Laki-laki Baru, tidak banyak yang memberikan perhatian pada aspek laki-laki atau pelaku kekerasan seksual sebagai aktor kekerasan (mikro sosial). Sebagai pelaku kekerasan seksual yang paling besar, kurang mendapat perhatian sehingga isu modifikasi perilaku bagi pelaku sebagai bagian penting dari penghapusan kekerasan seksual tidak begitu terdengar. Padahal ditengarai perilaku kekerasan seksual memiliki kaitan erat dengan cara pandang, keyakinan, dan sikap atau dengan kata lain terkait dengan cara pelaku kekerasan seksual memaknai diri sendiri dan korban.
Dalam rangka untuk merumuskan intervensi pada ranah personal sebagai pelengkap reformasi struktural, menjadi penting mengenali dinamika personal pelaku kekerasan seksual. Adalah Rus Ervin Funk dalam bukunya Stopping Rape A challenge for Men (1993) memberikan:
Pertama, gambaran beberapa hal yang mempengaruhi laki-laki melakukan kekerasan seksual lebih khusus pemerkosaan; pertama nalar yang keliru pada laki-laki pelaku kekerasan seksual dalam memandang hubungan mereka dengan perempuan. Sebagai contoh laki-laki kerap berfikir bahwa ketika ada perempuan yang mau diajak makan malam berdua saja, lalu dilanjutkan dengan menonton film dan kembali ke rumah atau kamar kos berarti ia mau diajak melakukan hubungan seksual. Cara berfikir ini dianggap lazim oleh laki-laki karena dalam pandangan mereka alur berfikir tersebut adalah logis dan rasional.
Kedua, Funk (1993) menambahkan bahwa laki-laki pelaku kekerasan seksual memaknai keintiman (intimacy) sebagai hubungan seksual atau lebih tepatnya laki-laki mengalami kebingungan dalam memaknai keintiman dan hubungan seksual.
Ketiga, laki-laki pelaku kekerasan seksual tidak mengenal konsep persetujuan (consent). Dalam budaya masyarakat yang menempatkan laki-laki sebagai tuan (master), yang memerintah, yang berbicara dan yang dilayani maka persetujuan dan ketidaksetujuan pelayan, yang diperintah, yang mendengarkan menjadi tidak ada. Laki-laki pelaku kekerasan seksual seringkali tidak dapat memahami atau tepatnya mengabaikan sikap menolak korban, baik yang ditunjukkan dengan diam atau pernyataan tidak secara gamblang. Situasi ini ditambah dengan keyakinan yang berkembang bahwa diamnya perempuan itu adalah persetujuan atau tidaknya perempuan itu berarti iya (no means yes) dan bukan tidak itu berarti tidak (no means no).
Keempat, laki-laki menganggap bahwa mereka memiliki hak untuk mendapatkan layanan seksual dari perempuan (sexual entitlement). Dalam survey terhadap 2,577 laki-laki di tiga kota di Indonesia (Jakarta, Purworejo, dan Jayapura) yang dilakukan oleh Rifka Annisa, UN Women dan Partner for Prevention pada tahun 2012-2013 tentang pengalaman laki-laki terkait dengan kesehatan dan kekerasan berbasis gender menemukan bahwa motivasi terbesar (75.7 persen di Jakarta, 74,7 persen di Jayapura dan 56,9 persen di Purworejo) laki-laki melakukan pemerkosaan terhadap perempuan adalah bahwa mereka merasa memiliki hak untuk mendapatkan layanan seksual dari perempuan ada atau tidak ada persetujuan.
Lebih lanjut laki-laki pelaku kekerasan perlu memahami tentang persetujuan, keintiman yang tidak melulu seksual dan pentingnya hubungan seks konsensual (atas dasar suka sama suka) serta pentingnya menghormati hak seksual dan reproduksi perempuan yang mengandaikan tidak adanya hak laki-laki atas layanan seksual dari perempuan (sexual entitlement)
Disadur dari:
1.http://www.rifka-annisa.org/id/layanan/konseling-laki-laki
2. http://lakilakibaru.or.id/nalar-sesat-pelaku-kekerasan-seksual/