Penumpang KRL gerbong khusus perempuan

Gerbong Khusus di KRL Belum Lindungi Hak Perempuan, Butuh Kebijakan Sistematis

Gerbong khusus perempuan di KRL merupakan respon atas maraknya pelecehan seksual di transportasi umum. Di sisi lain, perempuan jadi berebut tempat di sana. Upaya ini sebatas jadi tindakan afirmatif, butuh solusi konkret secara sistematis.

Selama satu dekade lebih, kebijakan afirmatif gerbong khusus perempuan di Kereta Rel Listrik (KRL) dicanangkan. Ini sebagai upaya untuk mencegah adanya kasus pelecehan seksual yang saat itu marak terjadi.

Para perempuan pun akhirnya disediakan 2 gerbong khusus di tiap KRL. Tepatnya bagian depan dan belakang dari total sebanyak 8-12 rangkaian gerbong kereta. Biasanya gerbong khusus perempuan ini akan ditandai dengan warna khas merah muda.

Dari sisi kapasitas, gerbong khusus perempuan ini tentu tak bisa menampung banyak. Akibatnya, tak jarang dari kita mendengar adanya persoalan lain di gerbong kereta khusus perempuan di KRL ini. Seperti, desak-desakkan, ada yang jatuh sakit, sampai pernah viral ada ibu hamil yang dikabarkan keguguran setelah berselisih dengan sesama pengguna KRL di gerbong khusus perempuan.

Di satu sisi, posisi gerbong kereta khusus perempuan juga banyak dikritik jadi yang paling rentan dalam keselamatan. Sebab, jika terjadi kecelakaan maka gerbong yang paling depan dan belakanglah yang paling berisiko.

Seorang perempuan pekerja kantoran di Jakarta Selatan, Annisa alias Nica (28) mengamini hal itu. Meski dengan segala keterbatasannya, dia mengaku tetap memilih gerbong perempuan ketika naik KRL.

Perempuan asal Bekasi, Jawa Barat itu, tiap hari harus berangkat sekitar 6 pagi menuju stasiun ke kantor. Dia baru pulang ketika jam 5 sore dan tiba di rumah sekitar 8 malam.

Alasan keamanan termasuk dari pelecehan seksual, menjadikan Nica rela berdesak-desakkan di gerbong khusus perempuan. Dia merasa itu lebih baik, ketimbang mencari gerbong campuran yang baginya tak begitu aman.

“Aku pernah ngalamin pelecehan seksual di gerbong campuran itu. Jadi ya udah, nggak apa-apa deh, di gerbong perempuan penuh-penuhan,” ujar Nica kepada Konde.co, Minggu (21/1/2024).

“Yang penting ngehindari pelecehan gitu lagi,” imbuhnya.

Baca Juga: Penumpang KRL Bicara: Ini Alasan Transportasi Umum Buruk Bikin Perempuan Menderita

Ada juga cerita Bella (25), mahasiswa asal Bogor yang menempuh pendidikan magister di Jakarta Pusat. Dia mengkritik gerbong khusus perempuan di KRL, situasinya juga sering kurang kondusif. Keterbatasan ruang di gerbong khusus perempuan, menjadikan sesama perempuan ‘saling berjibaku’ dan menjadikan situasi kurang aman dan nyaman.

Dia mengeluhkan kurangnya kepekaan sesama penumpang di gerbong khusus perempuan terhadap kelompok prioritas. Seperti, lansia, ibu hamil dan disabilitas.

“Yang gue lihat itu pas ada ibu hamil, masih muda mungkin seumuran gue, nggak dikasih kursi. Memang mungkin hamilnya baru beberapa bulan, yang belum kelihatan banget, gitu. Tapi udah pakai pin yang ‘ibu hamil’ itu. Ya, tapi nggak ada yang ngasih, bahkan di kursi prioritas pun karena dianggapnya dia anak muda biasa.”

Ia juga beberapa kali menyaksikan cekcok perkara tempat duduk di gerbong perempuan. “Lihat yang berantem di gerbong perempuan, yang desak-desakan sampai bajunya nyangkut di pintu, lumayan sering juga dulu.”

Berbagai persoalan di gerbong khusus, juga menjadikan perempuan tak punya banyak pilihan. Banyak dari mereka yang akhirnya harus melebur dengan gerbong campuran.

Itulah yang terjadi pada Fatia (22), mahasiswa dari Jakarta Barat yang berkuliah di Depok. Meski Ia paham dengan risiko keamanan yang dihadapi perempuan di gerbong campuran, namun biasanya lebih longgar untuknya bisa dapat tempat duduk saat kondisi sedang begitu lelah.

Dilema: di Gerbong Perempuan Tidak Nyaman, di Gerbong Campuran Tidak Aman

Konsep penciptaan moda transportasi umum sudah selayaknya aman bagi para penumpang. Tak terkecuali bagi perempuan dan kelompok rentan. Namun kenyataannya, mereka belum sepenuhnya mendapatkan jaminan perlindungan hak atas keamanan dan kenyamanan.

Salah satunya, kaitannya dengan potensi jadi korban kekerasan ataupun pelecehan seksual. Padahal, sudah ada gerbong khusus perempuan yang diciptakan untuk tujuan itu. Fasilitas gerbong khusus perempuan yang kapasitasnya minim serta tak adanya kebijakan sistematis di KRL turut menjadi penyebabnya.

Dilema perempuan di KRL adalah dampak tindakan afirmatif yang tak kunjung mengarah pada penanganan konkret upaya melindungi hak perempuan. Termasuk pencegahan adanya kasus pelecehan seksual di angkutan umum.

Baca Juga: Muter, Aplikasi untuk Disable Tuli Pengguna Kereta KRL

Keberadaan area khusus perempuan di transportasi umum juga menimbulkan perdebatan di kalangan feminis. Beberapa kelompok feminis mungkin mendukung inisiatif, seperti kereta khusus perempuan atau area terpisah. Sementara yang lainnya lebih menekankan fokus pada pendidikan, perubahan budaya, dan penegakan hukum untuk mengatasi permasalahan ini.

Laura Bates adalah salah satu tokoh feminis yang mengusulkan solusi untuk permasalahan pelecehan seksual di transportasi umum. Gagasannya adalah dengan mengubah budaya dan sistem penyebab pelecehan terjadi.

Ia merupakan seorang aktivis dan penulis asal Inggris yang mendirikan proyek ‘Everyday Sexism’. Proyek ini bertujuan untuk mengumpulkan dan membagikan pengalaman perempuan terkait seksisme dalam kehidupan sehari-hari.

Bates telah mengecam ide tentang area khusus untuk perempuan sebagai solusi untuk pelecehan seksual di transportasi umum. Ia lebih menekankan perlunya perubahan dalam budaya yang memungkinkan pelecehan seksual terjadi dan juga tindakan tegas terhadap pelaku pelecehan seksual.

Menurutnya, memberikan area terpisah bagi perempuan dapat menciptakan kesan bahwa perempuan yang mengalami pelecehan adalah tanggung jawab mereka sendiri. Sementara seharusnya semua fokus pada mengubah perilaku pelaku dan menciptakan lingkungan yang aman bagi semua.

Gerbong Khusus Perempuan adalah Tindakan Afirmatif Sementara, Bukan Solusi Mutlak

Dari perspektif gender, keberadaan gerbong khusus perempuan berkaitan dengan tindakan afirmatif (affirmative action). Ini merujuk pada Teori Persamaan Substantif yang digagas oleh Ratna Kapur, seorang akademisi dan mantan direktur Center for Feminist Legal Research di New Delhi, India.

Kapur menekankan bahwa kesetaraan formal atau numerik, yang hanya fokus pada perlakuan yang sama untuk semua, mungkin tidak cukup untuk mengatasi ketidaksetaraan yang mendasar di masyarakat. Pendekatan kontekstual diperlukan untuk memahami keadaan khusus dan pengalaman kelompok-kelompok tertentu, terutama perempuan.

Melalui teori ini, Ratna Kapur hendak menunjukkan bahwa persamaan belum tentu membantu kelompok rentan mencapai kesetaraan karena berbagai faktor. Maka kelompok rentan harus mendapat tindakan afirmasi agar dapat mencapai kesetaraan.

Baca Juga: Parkir Khusus Perempuan itu Kontradiktif sama Kesetaraan Gender? Salah Kaprah soal Feminisme!

Dalam Teori Persamaan Substantif, persamaan substantif (substantive equality) dibagi menjadi tiga. Yakni ‘protective equality’, ‘sameness equality’, dan ‘corrective equality’. Dua poin pertama, masing-masing merupakan tindakan persamaan dengan pertimbangan proteksi dan perlakuan yang sama bagi kelompok rentan. Sedangkan ‘corrective equality’ adalah penyesuaian sementara dengan kebutuhan masing-masing orang demi mencapai kesetaraan, setidaknya sampai kesetaraan terpenuhi.

Tindakan afirmatif termasuk ke dalam ‘corrective equality’. Jadi, tingkat kerentanan seseorang membuatnya harus mendapat tindakan afirmasi agar dapat mencapai kesetaraan. Beberapa contoh tindakan afirmatif yakni pemberian cuti haid dan adanya area khusus perempuan di transportasi umum. 

Adanya gerbong khusus perempuan bisa dianggap sebagai bentuk tindakan afirmatif sementara. Sebab, tujuannya memberikan rasa aman dan kenyamanan khusus bagi perempuan. Terutama dalam konteks pelecehan seksual atau ketidakamanan yang mungkin dialami di transportasi umum.

Perlindungan Sementara, Perubahan Sistemik Diperlukan

Penyediaan gerbong khusus perempuan sejauh ini, bukanlah solusi yang mengatasi akar masalah. Upaya itu bisa dikatakan, hanya memberikan perlindungan sementara. Keterbatasan penyediaan ‘perlindungan’ itu justru ketika para perempuan pengguna KRL mencarinya.

Maka, perlu upaya untuk mengubah budaya dan perilaku yang berpotensi memberi celah pelecehan seksual. Jadi perempuan bisa merasa lebih aman dan nyaman tanpa harus saling sikut demi mendapatkan haknya itu di gerbong perempuan.

Para penumpang perempuan yang saling berebut kursi dan enggan memberikan kursi kepada yang lebih membutuhkan, mungkin sekilas tampak egois. Namun jangan-jangan kita juga harus mempertimbangkan kondisi mereka.

Para perempuan ini datang dari berbagai latar belakang: ada buruh pabrik dengan beban kerja overload, pegawai kantoran di pusat Jakarta yang pergi subuh dan pulang larut dari daerah penyangga, ibu hamil muda, dan sebagainya.

Dengan hanya dua gerbong perempuan yang tersedia di satu rangkaian kereta, dan gerbong lainnya yang campuran rawan pelecehan seksual; apa opsi yang dimiliki perempuan?

Paling tidak menurut beberapa pengguna KRL yang Konde.co wawancarai, mereka lebih baik berjubel di gerbong perempuan ketimbang mengalami pelecehan di gerbong campuran. Ada juga yang memilih sebaliknya—sebab setidaknya, masih ada orang yang mau berdiri dan memberikan tempat di gerbong campuran, ketimbang di gerbong perempuan.

Baca Juga: Pelecehan Seksual di Kereta: Tak Cukup Hanya Blacklist Pelaku, Harus Ada SOP Transportasi Aman

Tetap saja, ada hal-hal yang bisa dilakukan berbagai pihak demi memenuhi hak perempuan atas ruang aman di transportasi umum secara permanen. Seperti, meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap pelaku pelecehan seksual, baik oleh petugas transportasi umum maupun oleh pihak kepolisian.

Kita juga perlu menyebarkan informasi dan edukasi tentang bahaya pelecehan seksual kepada masyarakat, terutama kepada anak-anak dan remaja. Selain itu, perlu dibangun budaya non-diskriminasi dan kesetaraan gender di masyarakat, melalui pendidikan, media, dan berbagai kegiatan lainnya.

Keamanan menggunakan angkutan umum adalah hak semua orang, termasuk perempuan. Maka tindakan afirmatif adalah suatu upaya untuk mencapai kesetaraan hak. Tapi secara sistemik, tidak boleh lagi ada pembiaran terhadap aksi pelecehan dan kekerasan seksual di transportasi umum.

Pemerintah juga harus mengevaluasi ulang kebutuhan warga terhadap transportasi umum sesuai kebutuhan.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!