Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air: Perempuan Saling Menguatkan

Melly Setyawati – www.konde.co

Tanah air ku tidak kulupakan

Kan terkenang selama hidupku

Biarpun saya pergi jauh

Tidakkan hilang dari kalbu

Tanah ku yang kucintai

Engkau kuhargai

Bait lagu “Tanah Air” yang diciptakan oleh Ibu Sud memang sudah jarang
disenandungkan oleh siswa-siswa di sekolah-sekolah formal. Masa sudah
berganti, lagu ini muncul lagi di saluran YouTube dengan berbagai genre. Rata–rata diantaranya seniman
muda. Seperti menyiratkan kalau anak–anak muda tidak semuanya melupakan
karena mereka masih ingat dimana Tanah airnya, yakni Indonesia.

Memang  Inisiatif seniman muda itu
melegakan namun tidak menyurutkan kekhawatiran. Iya, kekhawatiran ancaman–ancaman pengrusakan terhadap alam yang telah tampak bahkan telah menjadi
keseharian dalam kehidupan. Hingga menjadi pewajaran.

Iya wajar, sampai kita tidak pernah tahu yang baik itu seperti apa. Sebab
seringkali kita merasakan air kotor dan bau, udara yang berpolusi, panas terik
tidak terhingga, kesulitan mendapatkan ikan, frekuensi banjir yang meningkat
dan banyak lagi. Semua terasa wajar dan alamiah. Menjadikannya bukan masalah
lagi.

Ini terjadi di Samarinda, kota ini mendapatkan julukan kota lubang
tambang. Eksploitasi tambang batubara sudah merambah di tengah kota. Warga
sudah terbiasa dengan banjir lumpur, lubang tambang tengah kota, udara yang
berdebu, suara deru mesin tambang di samping rumah dan korban nyawa di lubang
tambang. Ini sudah biasa di Samarinda.

Namun semua menjadi tidak biasa bagi perempuan sebab keseharian itu
dekat dengan perempuan. Seperti ibu Rahmawati, seorang ibu yang kehilangan anak
laki–lakinya bernama Raihan (10 tahun) tenggelam di lubang tambang Sempaja pada
tahun 2014. Raihan menjadi anak korban lubang tambang yang ke 9 di Samarinda. Lubang
tersebut bekas galian batubara yang
diduga milik PT Graha Benua Etam (GBE).
Ibu Rahmawati berjuang meminta pertanggungjawaban PT agar dihukum hingga
Menteri Kehutanan dan Lingkungan, Komnas HAM, dan dukungan tokoh – tokoh. Dia
mendapatkan tawaran kompensasi untuk menghentikan kasusnya tetapi Ibu Rahmawati
menolak. Sebab bukan hanya untuk dirinya tetapi buat anak – anak lainnya yang
terancam keselamatannya.

Pejuang seperti ibu Rahmawati, ada juga di Sipituhuta. Opung Putra,
seorang nenek yang juga dukun bayi, harus berjuang untuk mempertahankan hutan kemenyan dari ancaman PT Toba Pulp Lestari, dulu bernama Indorayon. Opung bisa
berada di posisi barisan terdepan saat PT hendak menjadikan hutan adat menyan
menjadi hutan pinus penyedia bubur kertas. Pohon menyan adalah pohon yang
ditanam turun temurun, hasil dari pohon ini memang diperuntukkan untuk
keperluan upacara adat tidak hanya di desanya namun hampir di seluruh
Indonesia. “merawat pohon kemenyan itu seperti merawat manusia, pohon tidak
akan tumbuh baik kalau tidak diberikan kasih sayang” ujar Opung Putra.

Alam memang sangat dekat dengan perempuan. Hutan bisa menyediakan
berbagai bahan pangan dan apotik obat untuk keluarga.Di Papua, masyarakat
menganggap bumi seperti ibu yang bisa menopang kehidupan. Alam itu hidup dan
bernyawa. Gunarti, pejuang perempuan Kendeng, mengatakan “itu tidak ada
nyawanya”. Ini ungkapan keresahan Gunarti saat melihat sebuah desa di Aceh yang
rusak akibat penambangan emas.

Kedekatan perempuan dengan alam itu sangat intim. Meskipun
kebijakan negara berkali-kali berupaya memisahkan perempuan dengan alam,
seperti kebijakan revolusi hijau dan perempuan tidak dilibatkan dalam proses keputusan
pelepasan lahan.

Ancaman kerusakan tanah air (alam) itu begitu nyata, ekspansi perkebunan sawit
sudah meluas hingga Papua. Serta ancaman pertambangan di wilayah-wilayah terpencil Indonesia.

Problem kerusakan alam dan inisiatif pejuang perempuan tersebutlah yang telah berhasil di dokumentasikan oleh Sajogyo Institute, melalui  program Beasiswa Studi Agraria dan Pemberdayaan Perempuan (SAPP) sejak tahun 2016. SAPP menginisiasi kegiatan lingkar belajar perempuan (LBP), difasilitasi oleh 13 perempuan yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan Sunda Kecil. Selama 1,5 tahun mereka mendorong perempuan agar menjadi pemimpin perjuangan di kampung-kampung yang mengalami krisis sosial-ekologis.

Program ini akan ditutup dengan digelarnya Jambore Perempuan Pejuang Tanah
Air di Pesantren At Thariq, Garut, Jawa Barat. Acara ini
merupakan ruang saling menguatkan dan pertukaran pengetahuan antara perempuan-perempuan dari berbagai
latar belakang yang sedang menghadapi krisis sosial ekologis di daerahnya. Pembukaan Jambore berlangsung hari ini, 14 Juli 2017. Acara akan disemarakkan dengan tour pesantren, pameran produk pangan, kuliner, pameran foto, baca puisi, dan panggung budaya lainnya yang berlangsung hingga 16 Juli 2017. 

Selamat berjambore para perempuan pejuang. Hotu. 

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!