Adakah dari kalian yang merupakan seorang Swifties?
Pasti kalian setuju kalau lirik-lirik dalam lagu-lagu Taylor Swift sangat reflektif dan kompleks. Mendengar lagunya, tak jarang Ia punya daya ‘magis’ yang selalu relevan.
Tak heran, lirik-lirik lagu ciptaan Tay Tay (panggilan Taylor Swift), memang menarik untuk jadi kajian sastra di beberapa universitas.
Sepanjang kariernya, Taylor Swift setidaknya telah merilis banyak karya. Mulai dari 10 album studio, 2 album rerecording (musik album), satu album live, dua album video, sampai dua album mini (EP). Dari karyanya tersebut, Swift termasuk penyanyi dan pencipta lagu terlaris sepanjang masa, dengan kekayaan bersih tahun 2023 sebesar $740 juta. Ia juga telah memenangkan 12 penghargaan Grammy Award dari 46 nominasi.
Universitas Ghent di Belgia memperkenalkan kursus sastra inovatif yang memfokuskan pada nilai sastra dalam musik Taylor Swift. Kursus berjudul ” Literature :Taylor’s Version” (Sastra: Versi Taylor) diinisiasi oleh asisten profesor Elly McCausland, yang dikenal juga sebagai penulis blog “Swifterature”
Soal itu, Elly menggunakan lagu-lagu Swift untuk mempelajari dan membandingkan sastra dari berbagai periode. Termasuk sastra Abad Pertengahan hingga Victorian.
Baca Juga: Lagunya Bikin Empowering: Senang Berhasil War Tiket Taylor Swift
Berdasarkan informasi dari website resmi Universitas Ghent, karya yang akan dijadikan rujukan, di antaranya:The Great Gatsby, Robert Frost, Jane Eyre, Emily Dickinson, Peter Pan, Alice in Wonderland, Romeo and Juliet, Rebecca, Nathaniel Hawthorne, dan Charles Dickens.
Tujuan dari kursus ini adalah untuk merinci lagu-lagu Swift secara mendalam. Juga menghubungkannya dengan teks-teks penting dalam sastra Inggris, serta bagaimana ia menggunakan musiknya untuk membentuk persona publik.
Perspektif yang akan digunakan adalah feminisme sastra, ekokritik, studi penggemar, dan membahas kiasan yang digunakan dalam lagu Swift seperti “Anti Hero”.
Swift dan Keunikan Metaforanya
Dalam podcast antara Elly dengan cbc.ca, Elly mengatakan “Saat mendengarkan lagunya yang berjudul “The Great War,” saya memikirkan bagaimana Swift menggunakan ungkapan Perang Dunia I sebagai metafora untuk hubungan asmara yang bermasalah.”
Hal ini membuat Elly, merasa agak aneh. Ia lantas berpikir tentang pertanyaan moral di sini: apakah wajar untuk menggunakan penderitaan para tentara Perang Dunia I sebagai cara untuk mengungkapkan masalah hubungan pribadi?
Kemudian, Ia teringat waktu terakhir dirinya merasakan perasaan seperti itu. Yaitu saat membaca puisi “Daddy” karya Sylvia Plath. Plath menggunakan Holocaust sebagai metafora untuk rasa sakit yang dialaminya terkait hubungan sulit dengan ayahnya yang meninggal saat dia masih muda.
“Dan karena itu, saya ingin memiliki platform yang lebih besar untuk membicarakannya, dan itulah saat saya berpikir, mari kita bawa ini ke dalam ruang kelas dan mulai diskusi,” terangnya.
Berikut penggalan lirik lagu “The Great War”:
Baca Juga: Taylor Swift Raih Gelar Doktor untuk Kampanye Stop Kekerasan Seksual di Dunia Musik
All that bloodshed, crimson clover
Uh-huh, the bombs were close and
My hand was the one you reached for
All throughout the Great War
Always remember
Uh-huh, the burning embers
I vowed not to fight anymore
If we survived the Great War
Tidak hanya di Belgia, Institut Clive Davis di Universitas New York (NYU) juga membuka kelas yang berfokus pada Taylor Swift.
Baca Juga: Beyonce dan Taylor Swift Torehkan Sejarah di Penghargaan Grammy Award
Mengutip variety.com, , kelas ini akan membahas perkembangan Swift sebagai pegiat musik kreatif. Ia juga penulis lagu pop & country, sekaligus bisa daya tarik diskursus mengenai perempuan muda, serta politik ras dalam musik pop kontemporer.
Menurut perwakilan program perkuliahan sastra Taylor Swift itu, kursus ini memiliki daftar tunggu yang panjang. Bahkan, Swift telah diundang untuk berbicara di kelas tersebut. Meskipun, status permintaan tersebut masih belum pasti.
Selain dua universitas tadi, Universitas Texas di Austin, Universitas Stanford, serta Universitas Negeri Arizona juga turut membuka kelas yang membahas Swift dan lagu-lagunya.
Swift dalam wawancaranya dengan people.com mengungkapkan, salah satu tokoh yang paling memengaruhinya adalah Paul McCartney, mantan anggota The Beatles. Dia mengagumi bagaimana McCartney telah menciptakan karier yang luar biasa dan seni yang tak tertandingi, sambil tetap menjadi sosok yang ramah, humble, dan tulus terhadap para penggemarnya.
Swift juga mengungkapkan, dia sangat menyukai ketika seorang penampil memahami keinginan para penggemar untuk mendengar lagu-lagu yang mereka cintai. Selain itu, Swift juga mengungkapkan obsesinya terhadap kucing, yang ia anggap sebagai sumber kebahagiaan dalam hidupnya.
Menuai Pro dan Kontra
Digelarnya kelas-kelas ‘Swifterature’ yang membahas lagu Swift ini tidak lepas dari pro dan kontra. Sebagian menganggap ini bukan hal baru, pembahasan lirik lagu oleh jurusan sastra telah diajarkan sejak kemunculan The Beatles. Sebagian lagi menganggap hal ini berlebihan dan buang-buang uang.
Ada juga yang menganggap kelas ini hanyalah bagian dari marketing “I think if the business school wanted to learn about the marketing behind TS and the business model, that would be interesting. but pop culture in English class?” ujar salah seorang yang tidak setuju budaya pop masuk ke kelas Sastra Inggris.
Penilaian akan suatu karya sastra adalah hal yang subyektif. Menurut Maman S. Mahayana, yang menulis untuk sastra-indonesia.com, menurutnya kriteria yang dapat digunakan untuk membuat penilaian terhadap keberhasilan atau kegagalan sebuah karya sastra, dapat dilakukan dengan mencermati sedikitnya enam kriteria.
Beberapa kriteria di antaranya soal kebaruan (inovasi), kepaduan (koherensi), kompleksitas (kerumitan), orisinalitas (keaslian), kematangan (berwawasan atau intelektualitas), dan kedalaman (eksploratif).
Karya-karya agung biasanya mengandung keenam kriteria tersebut di atas. Lalu bagaimana jika ada karya sastra yang hanya mengandung beberapa dari kriteria tersebut? Apakah kemudian karya tersebut dapat dikatakan berhasil atau tidak?
Keenam kriteria penilaian ini sebenarnya hanyalah sekadar alat. Sebagai alat, ia dapat dimanfaatkan untuk menilai karya sastra secara objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Mungkin saja ada karya yang hanya mengandung dua atau tiga kriteria. Tetapi lalu tidak berarti, karya itu gagal.
Masuknya budaya pop sebagai bahan literasi di lingkungan akademis memanglah bukanlah hal baru. Namun, memasukkan lirik lagu Swift sebagai ‘Swifterature’, bahan literasi sastra, tampaknya bisa jadi cara efektif untuk menarik minat anak muda belajar tentang sastra.
Swifterature juga bisa jadi ‘jembatan’ bagaimana sastra dan budaya bisa tetap terasa dekat melalui lagu-lagu yang kita sering dengarkan.
Jadi, apakah kamu tertarik mengikuti kelas ‘swifterature’?
(Sumber foto: akun Instagram @taylorswift)