Jakarta, Konde,co – Karlina Supelli, aktivis perempuan, dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara dan seorang astronom perempuan pertama di Indonesia, pada 7 Agustus 2017 lalu memberikan pidato kebudayaan pada peringatan ulangtahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang ke-23 di Jakarta.
Berikut adalah pidato kebudayaan Karlina Suppeli secara lengkap. Dan ini merupakan tulisan kedua dari pidato Karlina Supelli yang kami sajikan pada 16-17 Agustus 2017 sebagai spirit kemerdekaan Indonesia:
“Pertama-tama, kita menyadari bahwa internet membawa perubahan besar pada hubungan antara produsen dan konsumen berita. Karena setiap orang yang punya akses ke internet dapat menjadi produsen dan penyebar informasi, pengertian sumber berita pun berubah.
Setiap orang dapat menjadi pewarta warga [BBC menerima lebih dari seribu foto, empat ribu pesan singkat dan duapuluh ribu surat elektronik hanya dalam rentang enam jam sesudah pengeboman London 7 Juli 2005].
Pewarta warga menjadi sangat populer karena masih banyak orang yang menjadi konsumen informasi berdasarkan kesaksian atau rekomendasi dari orang yang dikenal, dan bukan atastilikan objektif atas isinya. Rekomendasi itu sekarang dengan cepat beredar melalui terusan pesan grup terhubung.
Di tengah tantangan itu, media profesional bertarung keras dalam dinamika budaya digital yang ditandai dengan tegangan antara kecepatan dan kedalaman. Setiap detik informasi barumengalir. Berita kematian Michael Jackson pecah pertama kali melalui Twitter, mendahului jaringan pers terkemuka.
Kedua, dan ini adalah masalah yang serius. Sejak beberapa tahun lalu muncul perdebatanakan dampak penyaringan yang digunakan oleh mesin pencari dan media sosial tertentu di internet. Penyaringan ini mempersempit keragaman hasil pencarian sesuai sejarah kegiatan pengguna. Eli Pariser menyebutnya filter bubble; Alexander Zwissler menamakannya confirmation bias. Sistem penyaring ini bertindak sebagai kurator informasi berdasarkan dugaan tentang apa yang kita suka dan tidak suka, apa yang kita anggap relevan dan tidak relevan, menurut klik-klik kita sebelumnya.
Kendati efeknya masih terus dikaji, algoritma penyaringan membentuk selubung maya yang diam-diam mengisolasi pengguna dari pandangan-pandangan yang berbeda. Sistem itu sebetulnya sekadar memberi rekomendasi. Meski demikian, ada risiko orang yang fanatik menjadi semakin fanatik karena terus menerus terpapar pada informasi serumpun.
Lebih parah lagi, kabar kelakar, berita palsu, dan berita rekayasa beredar jauh lebih cepat dan luas ketimbang kabar burung pada zaman hanya ada media cetak.
Ketiga, konsekuensi teknologi digital terhadap cara pikir dan rasa-merasa jauh melampaui dampaknya terhadap perubahan cara kita berkomunikasi dan berinteraksi. Teknologi digital menghadirkan sebuah antropologi baru. Lugasnya, citra baru manusia. Para futurolog meramalkan hadirnya pascamanusia. Akan tetapi, siapakah sang pascamanusia? Imajinasi dan fantasi apa yang menggerakkan hasrat, emosi, dan motivasinya?
***
Menyimak efektivitas dunia digital dalam membangkitkan aneka hasrat dalam diri pengguna, betapa nyata kebutuhan masyarakat akan jurnalisme yang setia kepada asas-asas jurnalistik.
AJI dengan tegas menyatakan keyakinannya bahwa “pers profesional merupakan prasyarat mutlak untuk membangun kultur pers yang sehat”. Pada hemat saya, dengan budaya digital sekarang ini, pers profesional punya peran lebih mendasar. Pers profesional merupakan prasyarat yang tak dapat ditawar untuk membangun masyarakat melek informasi, melek berita dan melek pengetahuan.
Kita berterima kasih kepada pewarta warga. Kita menghormati jerih payah mereka. Karena itu, tanpa bermaksud mengecilkan peran pewarta warga, kita perlu mengakui dengan rendah hati perbedaannya dengan jurnalis profesional. Jurnalis profesional secara etis terikat untuk menghormati kebenaran dan independensinya. Jurnalis profesional diikat oleh kode etik untuk menimbang secara hati-hati konsekuensi dari apa yang diberitakan dan caranya memberitakan.
5. Godaan populisme dan kejar-kejaran informasi berdasarkan klik per detik kerap meloloskan sebagian besar elemen klasik jurnalistik, 5W + 1H. Persis karena itu, menulis berita bukan perkara mudah. Elemen-elemen itulah yang menjadikan jurnalis bukan sekadar penerus informasi dan pelapor kejadian. Ia meliput, mengolah dan menyajikan informasi dalam bentuk berita. Dengan elemen-elemen itu jurnalis menjelaskan mengapa peristiwa tertentu penting dan relevan, serta apa implikasi pemberitaannya bagi kehidupan orang banyak. Dengan elemen itu membedakan fakta dari opini.
Kematangan pertimbangan semacam itulah yang membuat media pernah menunda publikasi pemberitaan suatu rencana operasi militer di Etiopia (1989) demi keselamatan belasan ribu warga, padahal para wartawan sudah mengetahui akan ada operasi militer tersebut.
Dengan elemen-elemen itu pula pers menggenggam kekuatan untuk ikut membangun masyarakat yang kritis daya pikirnya dan sehat tilikan-tilikannya. Dalam budaya digital, pers ditantang kekuatan persuasifnya agar pembaca tidak sekadar bergerombol mengikuti apa yang sedang viral, tetapi menimbang-nimbang mana yang layak dan tidak layak untuk dikonsumsi; mana yang merupakan informasi, mana yang misinformasi karena isinya tidak tepat, dan mana yang disinformasi alias kebohongan sengaja.
Dengan misi jusrnalistiknya, pers tidak dapat acuh tak acuh dan bersikap toleran terhadap intoleransi. Toleransi memang paradoks, dan karena itu sering disalahpahami sehingga menjadi sasaran kritik kelompok intoleran. Toleransi tidak berarti kita harus menyetujui atau bersimpati kepada nilai-nilai, gagasan, dan praktik yang tidak kita setujui atau kita nilai salah.
Maka, selain paradoks, toleransi juga memunculkan dilema. Bagaimana mungkin kit meminta seseorang menerima suatu argumen yang dalam pendapatnya tidak sahih, atau menerima nilai-nilai yang dalam keyakinannya tidak benar?
Persis di sinilah terletak makna toleransi. Kita tidak diminta menerima atau menyetujui. Kita diminta mengakui dan menghormati hak seseorang atau kelompok untuk menganut dan mengemukakan nilai-nilai yang tidak kita setujui. Toleransi tidak menghalangi kritik dan konflik, tetapi ada batas sejauh mana konflik dapat berlanjut. Kita tidak dapat mentoleransiyang tidak toleran.
Toleransi adalah kesanggupan menahan diri karena kita mengakui bahwa orang tidak kehilangan martabatnya hanya karena ia meyakini dan mengemukakan sesuatu yang kita anggap salah. Sikap toleran juga dibangun dari kesadaran bahwa kita bisa salah. Cukup pasti, mereka yang intoleran adalah kaum pongah yang memutlakkan kebenaran keyakinannya. Ia menyetarakan dirinya dengan Tuhan karena mengklaim ia tahu persis apa yang Tuhan mau. Mereka adalah orang-orang pengecut yang takut menghadapi kemungkinan bahwa pihak yang berbeda boleh jadi benar.
***
Perkenankan saya menutup paparan ini dengan sebuah harapan dan tantangan. Harapan kepada pers, sebatas yang saya kemukakan di atas, bergerak di tataran simbolik.Itulah lapisan tempat teman-teman jurnalis bekerja dengan fakta, data, simbol dan persuasi.
Kerumitan realitas tentu bukan hanya di lapisan simbolik. Seperti sudah disebut di atas, kalangan intoleran memanfaatkan teknologi digital untuk dua lapis kepentingan lainnya, yaitu perekrutan dan pengorganisasian serta penggalangan kekuatan fisik/material.
Pada lapis pengorganisasian, kelompok intoleran merekrut pengikut di semua lini yang mungkin, baik publik maupun privat; baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Ihwal yang terang-terangan mudah dikenali. Lain halnya dengan penyusupan sembunyi-sembunyike pelbagai lembaga, mulai dari lembaga pendidikan, lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat sampai ke rumah tangga. Di lembaga publik, tujuannya jelas: mempengaruhi dan mengubah kebijakan. Penghimpunan kekuatan fisik/material juga bervariasi, mulai dari penggalangan dana dan senjata, sampai orang-orang yang siap merangsek jalanan dan bertempur di medan perang.
Sementara di lapisan simbolik mereka aktif dalam pertarungan gagasan, di lapisan kedua dan
ketiga mereka tidak peduli dengan apa yang dikatakan media.
Tampaknya, inilah saat kita menantang pers untuk berjuang lebih keras lagi di lapis keduadan ketiga tersebut. Selama ini pers telah menunjukkan sumbangannya yang besar dalam ikut membongkar kasus-kasus korupsi. Dapatkah teman-teman jurnalis membongkar sampai ke akar penyusupan elemen-elemen intoleran di lembaga-lembaga publik?
Pada hemat saya, semua itu penting dan perlu dilakukan. Mengapa? Intoleransi bukan saja mengancam kemajemukan agama dan aneka gejala hidup sehari-hari. Intoleransi mengancam perkembangan pemikiran, ide-ide baru, sains dan teknologi. Kita pernah dengar ada dosen di perguruan tinggi terkemuka yang menolak teori evolusi diajarkan atas dasar keyakinan agama; mahasiswa menolak konsep demokrasi, dan masih banyak contoh lagi.
Akankah kita biarkan mereka menggiring kita kembali ke Abad Pertengahan, ketika iman berdiri megah tanpa akalbudi dapat mengkritik kekeliruan tafsirnya?
***
Di sekitar kita bertebaran pedagang-pedagang mimpi. Mereka menawarkan mimpi akan kehidupan kekal dengan menghancurkan kehidupan fana di sini dan sekarang. Mimpi-mimpi
itu membuai dan karenanya mudah diperdagangkan. Makelarnya banyak, mulai dari tokoh agama, para konsultan politik, partai politik sampai akademisi yang bertualang ke mana angin membawa.
Tapi saya percaya, dan banyak di antara kita masih percaya. Kita menghendaki mimpi besar. Mimpi akan hidup bersama dalam kekayaan realitas yang bhineka. Mimpi ini tidak bisa diperjualbelikan. Mimpi ini tidak dapat mentoleransi intoleransi. Tidak ada hidup bersama yang tidak majemuk. Mustahil ada kemajemukan bila intoleransi meraja rela.
Jauh sebelum ada Indonesia, Siti Soendari menyampaikan mimpi besar itu ke hadirin dan hadirat Kongres Perempuan Pertama, 22 Desember 1928. Perkenan saya mengedepankannyakembali malam ini:
“Pantaslah kita lebih dahulu memperhatikan cita-cita kita bersama … yaitu hendak membangun Indonesia Raya. Marilah Tuan biarkan pikiran naik ke udara dan memandang ke bawah … tergambarlah Indonesia seperti taman bunga yang luas sekali, tiap pulau terbentang seperti petak tempat tumbuhnya bunga. Taman itu tidak akan selamat sempurna kalau yang tumbuh hanya kembang melati … Bukankah kita menghendaki membuat bunga rampai.”
Marilah kita memeluk, menghidupkan, merawat dan menjelmakan mimpi besar ini.” (Selesai)
(Foto: salihara.org)