Luviana- www.Konde.co
Solo, Konde.co – Dewi Chandraningrum, seorang aktivis
perempuan, pelukis dan Dosen Kajian Gender yang tinggal di Solo,
dalam wall facebooknya mengunggah foto-fotonya bersama para perempuan
Jugun Ianfu. Foto-foto ini merupakan hasil lukisannya yang ia pamerkan
bersama pementasan teater Jugun Ianfu di Teater Arena Taman Budaya
Surakarta, Solo, Jawa Tengah, 14 Agustus 2017 lalu.
Pameran lukisan dan pementasan teater ini dilakukan untuk memperingati hari Jugun Ianfu yang diperingati seluruh dunia tanggal 14 Agustus setiap tahunnya.
Dalam pernyataan sikap yang diedarkan dalam peringatan hari Ianfu internasional di Solo, 14 Agustus 2017 lalu disebutkan bahwa awal keterbukaan informasi dari praktek perbudakan seksual terjadi, ketika seorang perempuan bernama Tuminah dari Solo adalah korban IANFU pertama dari Indonesia yang berani berbicara kepada publik.
Tuminah bersaksi atas semua kebrutalan seksual yang dia alami selama masa pemerintahan Jepang di Solo 1942-1945. Keberanian Tuminah muncul berkat dukungan Dr. Koichi Kimura, seorang aktivis dan teolog Jepang. Kesaksian Tuminah tersebut dimuat di Koran Suara Merdeka yang ditulis oleh Joko Santoso, yang juga dikenal sebagai penyair Solo bernama Gojak.
Kesaksian Tuminah membuat Mardiyem dari Yogyakarta mengucapkan suaranya sehingga mendorong lebih banyak lagi “ianfu” yang selamat dari Indonesia untuk mengambil sikap dan bersaksi atas kebrutalan praktik IANFU yang mereka alami selama perang.
Dalam Konferensi Solidaritas Asia ke-21 2013 di Taipei, Taiwan, telah disetujui oleh konsorsium bahwa Hari Ianfu Internasional akan diperingati setiap tanggal 14 Agustus untuk mengingat keberanian Kim Hak Soon mengungkap kejahatan perang Jepang kepada publik internasional.
Hari Ianfu Internasional pertama di Indonesia dirayakan di Solo dimana perjuangan Ianfu dimulai di Indonesia. Untuk merayakan keberanian Tuminah sebagai sosok Ianfu di Indonesia, sebuah monumen perdamaian dibangun di makamnya di kuburan umum Untoroloyo (Solo) dan sebuah film dokumenter berjudul TUM dibuat oleh para pembuat film independen dari Solo.
Hingga kini banyak organisasi non pemerintah terus memperjuangkan nasib Jugun Ianfu dan terus melakukan melobi ke tingkat internasional untuk menekan pemerintah Jepang agar menyelesaikan kasus perbudakan seksual ini. Upaya penelitian juga terus dilakukan untuk memperjelas sejarah buram Jugun Ianfu Indonesia, berpacu dengan waktu karena para korban yang sudah lanjut usia.
Banyak masyarakat yang merendahkan, serta menyisihkan para korban dari pergaulan sosial. Kasus Jugun Ianfu dianggap sekedar “kecelakaan” perang dengan memakai istilah “ransum Jepang”. Mencap para korban sebagai pelacur komersial.
Mengapa Dewi Chandraningrum melukis para perempuan Jugun Ianfu? Dewi Chandraningrum menyatakan, bahwa pameran lukisan ini sebagai penanda terjadinya kekerasan seksual yang pernah terjadi dalam sejarah politik di Indonesia. Dan kekerasan seksual tersebut tak juga selesai hingga kini, karena hingga sekarang kekerasan seksual masih terus terjadi pada perempuan-perempuaan di Indonesia.
Wajah jugun ianfu adalah sebuah tanda, bahwa perjuangan mereka untuk mendapatkan pengakuan belum usai. Juga perjuangan melawan kekerasan seksual di Indonesia.
Praktek Perbudakan Seksual
Dalam website ianfuindonesia.webs.com misalnya disebutkan bahwa Jepang adalah negara yang pernah melakukan praktek perbudakan seksual ketika menjajah Indonesia di tahun 1942. Kala itu banyak perempuan Indonesia yang kemudian dijadikan Ianfu, obyek perbudakan seksual para tentara Jepang. Dan pemerintah Indonesia tak mengakui ini.
Untuk mendapatkan pengakuan soal kekejaman yang pernah dilakukan pemerintah Jepang, bukanlah hal yang mudah. Mendapatkan pengakuan dari pemerintah Indonesia saja sulit, melampaui jalan yang berliku. Pada kenyataannya “Ianfu” bukan merupakan perempuan penghibur tetapi merupakan praktek perbudakan seksual yang brutal, terencana, serta dianggap masyarakat internasional sebagai kejahatan perang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun.
Dalam website tersebut juga menyebutkan pertanyaan tentang: untuk apa Jugun ianfu diciptakan? Invansi ke negara lain yang mengakibatkan peperangan membuat kelelahan mental tentara Jepang. Kondisi ini mengakibatkan tentara melakukan pelampiasan seksual secara brutal dengan perkosaan masal yang mengakibatkan mewabahnya penyakit kelamin yang menjangkiti tentara Jepang.
Hal ini tentunya melemahkan kekuatan angkatan perang kekaisaran Jepang. Situasi ini memunculkan gagasan untuk merekrut perempuan-perempuan lokal, menyeleksi kesehatan dan memasukan mereka ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah bordil militer Jepang
Mereka direkrut dengan cara halus seperti dijanjikan sekolah gratis, pekerjaan sebagai pemain sandiwara, pekerja rumah tangga, pelayan rumah makan dan juga dengan cara kasar dengan menteror disertai tindak kekerasan, menculik bahkan memperkosa di depan keluarga. Yang merekrut “Ianfu” di Indonesia adalah Militer Jepang, sipil Jepang, pejabat lokal sepeti bupati, camat, lurah dan RT.
“Ianfu” di Indonesia ditempatkan secara hirarkis menurut kelas, ras dan kebangsaan. Yang berkulit putih asal Manado, keturunan Cina dan keturunan Belanda melayani opsir yang berpangkat tinggi. Sedangkan yang berasal dari Jawa berkulit kecoklatan ditempatkan di ianjo bagi tentara berpangkat rendah.
Mereka dibawa ke wilayah medan pertempuran untuk melayani kebutuhan seksual sipil dan militer Jepang baik di garis depan pertempuran maupun di wilayah garis belakang pertempuran. Penempatan mereka sangat dipengaruhi lokasi barak militer.
Dalam website ianfuindonesia juga menyebutkan tentang sebagian besar berasal dari pulau Jawa yang dijadikan Jugun Ianfu dan nama asli mereka diganti dengan nama Jepang seperti Mardiyem menjadi Momoye (Yogyakarta, Jateng), Aminah menjadi Shinju (Sukabumi, Jawa Barat), Suharti menjadi Miki (Kediri, Jatim), Emah Kastimah menjadi Miyoko (Kuningan, Jabar), Kasinem menjadi Yako (Solo, Jateng), Sumirah menjadi Kimiko (Salatiga, Jateng), Sutarbini menjadi Miniko (Yogyakarta, Jawa Tengah), Siti Neng Itjuh menjadi Ruriko (Garut, Jateng), Omoh Salamah menjadi Midori (Cimahi, Jabar), Lantrah menjadi Toyoko (Pekalongan, Jateng) dan puluhan ribu orang lainnya.
Mereka diperkosa dan disiksa secara kejam. Dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang sebanyak 10 hingga 20 orang siang dan malam serta dibiarkan kelaparan. Kemudian diaborsi secara paksa apabila hamil. Banyak perempuan mati dalam Ianjo karena sakit, bunuh diri atau disiksa sampai mati.
Bagi yang selamat (penyintas) di masa tuanya penuh derita dengan kerusakan kandungan, pendarahan, sakit jiwa, hidup mengasingkan diri atau dikucilkan masyarakat.
15 tahun lalu, salah satu Jugun Ianfu di Yogyakarta yang didampingi LBH Yogyakarta menceritakan dalam sebuah wawancara yang saya lakukan, betapa sulitnya kehidupan para perempuan Jugun ianfu ini. Hingga akhirnya hidupnya, mereka banyak yang diasingkan karena dianggap sebagai pekerja seks dan hidupnya memburuk secara ekonomi.
Hal-hal inilah yang membuat peneliti jugun ianfu, Eka Hindra terus melakukan penelitian dan mengadvokasi kehidupan perempuan Jugun ianfu, termasuk melakukan pementasan dan pameran lukisan jugun ianfu bersama Dewi Chandraningrum dan Dance Soul and Calm di Solo, 14 Agustus 2017 lalu.
(Sumber bahan dan foto: http://ianfuindonesia.webs.com/ dan pernyataan sikap CELEBRATION OF THE FIFTH INTERNATIONAL IANFU DAY: Potret Gelap Perempuan Jawa)
(Foto: Pameran lukisan “Dokumen Rahim” karya Dewi Chandraningrum dan pementasan teater “Potret Gelap Perempuan Jawa” pada 14 Agustus 2017 di Taman Budaya, Solo, Jateng)