Luviana- www.Konde.co
Tahukah kamu, setiap 2 jam, 3 perempuan dan anak Indonesia mengalami kekerasan seksual? Sedihnya para korban seringkali dikucilkan, tidak diberi dukungan, dan bahkan malah disalahkan.
Ini yang membuat mereka kebanyakan menutup diri, tidak berani berbicara dan itu membuat angka kekerasan seksual perempuan dan anak-anak menjadi semakin tinggi:
Kisah 1:
“Kamu kenapa mau digituin?” tanya mereka, seolah-olah aku mau.
“Salah sendiri pakaiannya seksi.”
Seolah-olah bajuku tidak sama dengan semua pegawai di sini.
“Sengaja tuh godain bos biar naik jabatan, makanya kena.”
Seolah-olah aku bukan manusia juga.
Teman-teman kerjaku, ibuku, suamiku sendiri. Mereka semua menyudutkanku ketika tahu bosku meraba pahaku, menaikkan tangannya ke atas rokku. Aku bekerja untuk menafkahi keluargaku. Aku tidak pernah meminta diperlakukan seperti ini!
Ketika aku melaporkan bosku, hakim berkata bahwa bukti untuk kasusku itu belum cukup, harus ada setidaknya 2 saksi yang melihat secara langsung. Dan hukum? Hukum hanya bisa diam dan menjadi buta akan keadilan. Aku bahkan tidak dapat menuntutnya karena ia tidak pernah berhubungan kelamin denganku.
Aku hanya bisa pasrah dan menurut ketika suamiku menyalahkanku dan membuatku berhenti bekerja. Aku hanya bisa pasrah.
Kisah 2:
Betapa kagetnya ketika aku menemukan bercak sperma di celana dalam anak lelakiku yang baru berusia 10 tahun.
Kata polisi dia harus segera divisum, tapi polisi juga bilang visum itu mahal, berjuta-juta rupiah. Aku ingin memberikan semua yang kumiliki untuk anakku, tapi apa boleh buat, aku tidak punya uang sebanyak itu! Aku hanya bisa memikirkan bagaimana ia masih butuh sekolah, masih butuh makan dan lainnya.
Dua minggu berlalu, anakku seperti bukan dirinya lagi. Aku marah, dendam, aku ingin dia kembali, aku ingin menghukum yang membuatnya seperti ini! Kemudian baru kuketahui bahwa sebenarnya polisi dapat mengeluarkan surat rujukan untuk mendapatkan visum gratis di RS Polri. Kenapa ini tidak dilakukan dulu?
Visum gratis setelah dua minggu tidak ada artinya, bukti-bukti sudah hilang. Akankah aku mendapatkan keadilan untuk anakku? Tidak lagi kudengar gelak tawanya, ia hanya duduk dalam diam, dalam lamunan.
Kisah 3
Terlalu bagus untuk jadi nyata memang. Mungkin bagi pendamping lain ini bukan kasus yang luar biasa, karena segi hukumnya berjalan dengan lancar. Laporan kasus diterima dengan baik oleh polisi, dan kemudian kami dampingi sebelum kasus berjalan.
Tetapi, sebelum kami tangani, aspek pemulihan anak sama sekali tidak diperhatikan.
Anak berumur 11 tahun itu diperkosa oleh ayah tirinya yang baru dinikahi Ibunya; kini sorot matanya seperti bukan lagi manusia.
Seperti ada bagian jiwanya yang hilang, ia selalu melamun, menjawab hanya dengan sepatah dua patah kata, kemudian ia bisa mendadak menjerit-jerit histeris tanpa sebab. Teriakannya masih bisa kudengar sampai sekarang.
Polisi bisa saja langsung merujuk keluarganya kepada bantuan psikologis saat kasusnya pertama dilaporkan, namun entah kenapa mereka tidak melakukannya. Aku benar-benar tidak bisa tidur memikirkannya.
Aku menahan semua emosiku untuk tidak mencelakai orang itu, ketika di ruang sidang kami harus bertemu kembali dengannya.
Orang yang telah sedemikian rupa memporak-porandakan hidup kami beberapa bulan terakhir ini, terlebih lagi bagi anakku. Aku benar-benar kehabisan akal apa yang dulu dialaminya; melihat orang yang tak dikenal saja, anakku menjerit-jerit histeris.
Akan tetapi hakim mempertanyakan yang tidak dapat kucerna, “kita bisa melihat setrauma apa anak setelah dipertemukan dengan pemerkosanya, ya kan?”.
Padahal ini bukan pertunjukkan; ini anakku yang memang benar-benar terguncang, dirusak raga dan jiwanya!
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dapat mengubah cerita ini. Dapatkan keadilan, Ayo #GerakBersama untuk #HapusKekerasanSeksual
(Sumber bahan dan foto: https://www.campaign.com/gerakbersama)