*Kustiah- www.Konde.co
Isah adalah satu anak perempuan yang menjadi korban poligami yang dilakukan ayahnya. Ibu Isah, hingga meninggal, tak pernah mendapat keadilan atas hidupnya, atas kelakuan suaminya yang menjadi pelaku poligami.
Dan ternyata, tak hanya Isah yang memendam sedih dan pedih tak berujung akibat ayahnya poligami. Ada lagi korban lainnya.
Put, 22 tahun juga mengalami hal serupa.
Ayahnya tiba-tiba membawa seorang perempuan pulang ke rumah dan mengatakan kepada Put jika itu ibu barunya.
Ibunya, yang kesehariannya menjadi ibu rumah tangga tak bisa berbuat banyak. Seingat Put, sejak ada perempuan yang disebut ibu baru dan oleh Put, dipanggel tante, ibunya sering terlihat menangis dan murung.
Tak lama kemudian ibunya mengajak Put, kakak, dan neneknya menyewa rumah kontrakan, keluar dari rumah yang ditinggali ayahnya.
“Ibu tak kuat,” kata Put mengingat awal mula hancurnya rumah tangga orang tuanya.
Saat itu Put berumur lima tahun. Sementara kakak perempuannya kelas lima SD (9 tahun) dan neneknya tak bisa melihat dan berjalan karena serangan diabetes melitus.
Untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari ibunya bekerja sebagai buruh cuci di perumahan di dekat rumahnya sambil berjualan makanan.
Suatu kali, saya pernah datang ke rumah Put dan menemui ibunya.
Di rumah petak ibu Put (Ibu En), sedang sibuk menyiapkan adonan peyek. Supaya dapurnya tetap mengepul bu En, membuat peyek untuk dijual dan dititipkan ke tetangganya.
Tak hanya untuk makan, biaya sekolah Put dan kakaknya (ketika mereka masih sekolah. sekarang Put sudah lulus SMA dan begitu juga kakaknya yang telah berumah tangga), bu En harus menghidupi ibunya yang buta dan lumpuh.
Pagi hingga petang bu En menjadi pekerja rumah tangga. Sepulangnya ia membuat peyek untuk dijual, dan kadang masih menerima jasa menyetrika dari tetangganya yang ia kerjakan di malam hari.
“Setiap hari ibu saya menggunakan diapers. Karena tak bisa jalan dan ke toilet. Jadi, saya harus bekerja ekstra keras,” ujarnya.
Suaminya yang bertahun-tahun ia tinggalkan masih hidup bersama istri barunya di rumah yang ia bangun dari keringat bersama.
Jadi, di mana letak kemanusian berpoligami bagi istri dan anak?
Heba Sharkas, seorang konselor dari Al Amal Centre untuk masalah keluarga di Abu Dhabi, seperti yang ditulis detik.com menemukan kegalauan yang dialami para istri dalam pernikahan poligami, terutama saat mereka tahu kalau suaminya akan atau telah memperistri perempuan lain. Ia mendapati beberapa kasus di mana perempuan mengalami depresi, marah, tantrum bahkan sakit karena suaminya menikah lagi.
“Tergantung dari tingkat toleransi dan kesabaran istri. Lingkungan di mana ia dibesarkan juga bisa memengaruhi sejauh mana ia mampu menerima dirinya jadi bagian dari sebuah pernikahan poligami,” tuturnya.
Dari kisah Isah dan Put, kita bisa melihat bahwa poligami berpotensi menelan korban. Anak-anak yang harus melihat orangtuanya berpisah, anak yang tak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya, hak anak yang dilanggar.
Hal lain, tentu ini adalah suatu masa yang paling sulit bagi ibu Isah dan ibu En. Mereka harus mengambil semua tanggungjawab ekonomi, keutuhan keluarga hingga tanggungjawab di depan publik. Tak mudah bukan jadi istri korban poligami?
Dan tak hanya itu. Status menjadi janda korban poligami akan dilekatkan oleh masyarakat seumur hidup mereka. Belum lagi cemooh, kelakar yang sering mereka dengar. Siapa yang mau jadi korban poligami? Anak-anak atau perempuan? Pasti tidak keduanya.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Kustiah, Mantan jurnalis Detik.com. Saat ini pengelola www.Konde.co dan pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.