Benevolent Sexism di Sekitarmu: Perlindungan atau Kontrol Tersembunyi?

Laki-laki dikonstruksikan sebagai sosok yang bertanggung jawab menjaga perempuan dari bahaya. Namun, ketika aturan-aturan yang dipaksakan tidak disertai dengan alasan yang masuk akal, apakah ini masih tentang kepedulian? Atau justru cara halus untuk mengekang perempuan dan mempertahankan dominasi mereka?

Bagaimana rasanya memiliki saudara laki-laki atau seorang ayah yang selalu melindungimu? Sebagian akan menganggap sebagai bentuk kasih sayang dan kepedulian. Namun, bagaimana jika perlindungan ini berubah menjadi bentuk pengekangan?

“Jangan pulang malam-malam, ini demi kebaikanmu.”

“Tolak saja tugas luar kota, kamu nggak aman pergi sendirian.”

“Jangan nongkrong sama teman-teman yang nggak bener, nanti kamu terpengaruh.”

Kalimat di atas adalah contoh yang terkesan sebagai bentuk perlindungan yang baik, namun pada tahapan tertentu hal itu justru menjadi bentuk pengekangan yang membuat hidup perempuan harus diatur oleh laki-laki dalam keluarga.

Larangan-larangan tersebut sebenarnya masuk akal dalam konteks tertentu, misal jika seorang ayah bisa memberi penjelasan logis atau risiko apa yang dihadapi jika anak perempuannya pulang malam.

Wajar jika seorang ayah melarang anaknya pulang terlalu malam jika rumahnya berada di tengah hutan dan harus melewati kawanan harimau. Namun menjadi aneh jika seorang ayah melarang anaknya pulang malam hanya dengan dalih demi kebaikan tanpa disertai alasan yang logis.

Jika memang lelaki secara naturalnya adalah sebagai pelindung, maka harusnya sudah tidak ada kasus kekerasan seksual dan bentuk penindasan terhadap perempuan. Faktanya, masih banyak laki-laki yang menjadi predator meskipun misalnya dia juga memiliki anak atau saudara perempuan. Toh laki-laki melindungi perempuan kan sebenarnya juga sebagai langkah mitigasi dari bahaya yang diciptakan oleh sesama laki-laki lainnya. 

Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Stereotipe Gender? Perempuan Digeneralisir dan Dibatasi Kebebasannya

Jika kita tarik lebih jauh, untuk apa sebenarnya seorang laki-laki menempatkan diri sebagai pelindung?

Di Eropa Abad Pertengahan. Kesatria berasal dari kata Latin Abad Pertengahan cabbalerius yang berarti penunggang kuda. Kata ini kemudian masuk dalam bahasa Inggris chivalry. Oxford English Dictionary mendefinisikannya dengan: “Sistem kesatria abad pertengahan dengan kode agama, moral, dan sosialnya”. Tersirat dalam kode ini adalah perilaku sopan yang diharapkan dari seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dan atribut lainnya seperti “keberanian, kehormatan, keadilan, dan kesiapan untuk membantu yang lemah”.

Oleh karenanya laki-laki diharapkan berperilaku seperti kesatria. Dicontohkan dalam film-film, bahkan dalam dongeng dan kartun untuk anak-anak, dikisahkan bahwa laki-laki adalah penyelamat. 

Ketika laki-laki merasa perlu melindungi perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat, mereka tidak hanya menegaskan kontrol atas perempuan tetapi juga mempertahankan posisi yang memberikan mereka keuntungan. Dalam keluarga, laki-laki yang bertindak sebagai “pelindung” sering kali mendominasi keputusan-keputusan penting, mulai dari siapa yang boleh perempuan temui hingga apa yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, peran pelindung ini memberi laki-laki kuasa atas ruang gerak perempuan, sekaligus memperkuat gagasan bahwa laki-laki adalah pemimpin natural yang bertanggung jawab atas kehidupan orang lain, terutama perempuan.

Baca Juga: Apa Salahnya Jika Laki-Laki Merawat Diri? Stereotipe Gender dalam Penampilan Sudah Basi

Bentuk perilaku seperti melindungi atau hal positif lainnya namun ada nuansa seksisme di baliknya inilah yang disebut dengan Benevolent sexism. Benevolent sexism, yang pertama kali diperkenalkan oleh Peter Glick dan Susan T. Fiske pada 1996. Disebut sebagai seksisme yang baik hati, adalah jenis seksisme yang tampak baik di permukaan, namun memperkuat ketidaksetaraan gender dengan cara yang halus. Bentuk seksisme ini sering muncul dalam interaksi sehari-hari, terutama dalam hubungan keluarga, di mana laki-laki merasa perlu melindungi perempuan dengan alasan cinta atau perhatian. Namun, apakah tindakan ini benar-benar tentang kasih sayang, atau lebih kepada kontrol?

Dengan memberikan perlindungan yang tidak diminta, laki-laki pada dasarnya mengambil hak perempuan untuk menentukan pilihannya sendiri, mengurung mereka dalam peran gender yang sempit. Laki-laki yang melakukan tindakan ini seringkali meyakini bahwa mereka sedang berbuat baik, padahal tanpa sadar mereka sedang membatasi kebebasan perempuan.

Bell hooks juga menyebutkan tentang hal ini dalam bukunya Communion: The Female Search For Love. Salah satu yang disebutkan adalah bahwa mereka ini adalah tipe laki-laki yang baik-baik saja melihat perempuan yang mendapatkan kesamaan upah, bekerja di luar rumah, dan berpihak ke feminisme ketika itu berarti kebebasan seksual. Namun di saat yang sama laki-laki ini terlibat dalam interaksi dominan-subordinat dengan orang-orang orang-orang terkasih di ranah pribadi. Ini juga termasuk laki-laki yang memutuskan untuk mengambil peran dominan atau submisif dalam interaksi tersebut. Apa pun itu, melestarikan gagasan bahwa seseorang harus menjadi bawahan bagi yang lain merupakan bentuk penerimaan yang kuat terhadap cita-cita dasar interaksi patriarki.

Keuntungan bagi Laki-Laki

Di ranah ekonomi, benevolent sexism sering kali berfungsi sebagai cara bagi laki-laki untuk memelihara hirarki yang menguntungkan mereka. Dengan menempatkan perempuan dalam peran yang dianggap lebih cocok dengan sifat “lemah lembut” atau “pengasuh,” laki-laki secara efektif menghilangkan pesaing dari dunia kerja. Ini adalah bentuk kontrol yang halus, di mana laki-laki mempertahankan dominasi tanpa perlu terlibat dalam bentuk seksisme yang lebih eksplisit dan jelas memusuhi perempuan atau disebut hostile sexism.

Seperti yang dikemukakan oleh Peter Glick dan Susan T. Fiske, benevolent sexism di tempat kerja dapat berupa tindakan yang terlihat seperti kebaikan tetapi secara implisit merugikan perempuan. Misalnya, keputusan untuk tidak mempromosikan perempuan karena dikhawatirkan mereka tidak dapat menangani beban pekerjaan atau mengabaikan peran keluarga adalah salah satu cara laki-laki untuk mempertahankan dominasi mereka di posisi manajerial dan kepemimpinan​. Keuntungan ini bersifat dua arah: di satu sisi, laki-laki terlihat seperti pelindung yang peduli, sementara di sisi lain, mereka menjaga posisi mereka dari potensi ancaman karir perempuan.

Baca Juga: Tren Fesyen Coquette, Saatnya Mendobrak Batasan Ekspresi Ragam Gender dan Seksualitas 

Selain keuntungan sosial dan ekonomi, benevolent sexism juga memberikan keuntungan emosional dan psikologis bagi laki-laki. Tindakan perlindungan memberikan mereka perasaan superioritas moral dan kekuasaan. Dalam banyak kasus, laki-laki merasa bahwa peran mereka sebagai pelindung membuat mereka lebih mulia, bahkan ketika tindakan mereka membatasi kebebasan perempuan. Mereka memperoleh kepuasan emosional dari gagasan bahwa mereka melindungi orang yang lebih “lemah”, yang pada akhirnya memperkuat ego mereka sebagai pelindung dan pemimpin.

Laki-laki yang terlibat dalam benevolent sexism juga merasa lebih diterima secara sosial karena mereka memenuhi harapan gender tradisional. Di masyarakat yang memuji laki-laki yang melindungi perempuan, tindakan benevolent sexism memperkuat keuntungan psikologis yang mereka peroleh.

Bentuk Seksisme yang Sulit Diidentifikasi

Perempuan yang terbiasa menerima “perlindungan” seperti ini bisa jadi merasa nyaman pada awalnya, tapi lama-kelamaan mereka akan menyadari bahwa mereka terperangkap dalam sebuah hubungan yang tidak sehat. Ketergantungan pada perlindungan laki-laki bisa mengikis rasa percaya diri dan kemandirian. Perempuan yang merasa selalu perlu dilindungi akan semakin sulit untuk mandiri, dan laki-laki pun akan semakin merasa berhak untuk mengontrol.

Seksisme yang baik hati sulit diidentifikasi, tetapi setelah dikenali, akan lebih sulit lagi untuk dihilangkan. Inilah paradoksnya: para peneliti mengungkapkan bahwa perempuan lebih menyukai laki-laki yang menunjukkan tanda-tanda seksisme yang baik hati daripada yang tidak.

Dalam penelitian tersebut, 700 perempuan diberi profil laki-laki yang mengekspresikan sikap yang dapat digambarkan sebagai benevolent sexism, seperti menawarkan bantuan untuk membawa kotak-kotak berat, memberikan mantel mereka kepada perempuan yang kedinginan, membayar bill pada kencan pertama, dll. Para peserta kemudian diminta untuk menilai daya tarik laki-laki tersebut. Temuan tersebut menunjukkan bahwa perempuan percaya laki-laki yang menunjukkan benevolent sexism lebih menggurui. Tetapi, secara tidak konsisten, para perempuan juga menganggap laki-laki-laki-laki ini lebih menarik. Menurut mereka, perilaku-perilaku ini menandakan bahwa seorang laki-laki “bersedia berinvestasi dengan bersikap protektif, menyediakan, dan berkomitmen.”

Baca Juga: Feminine Energy dan Masculine Energy Bikin Kita Terpenjara dalam Nilai Gender Toksik

Preferensi ini menunjukkan bagaimana perempuan dikondisikan untuk mengharapkan hal-hal tertentu dari laki-laki, sementara laki-laki diajarkan untuk menyediakan hal-hal tersebut. 

Akibatnya, baik laki-laki maupun perempuan terbiasa memandang tindakan benevolent sexism bukan sebagai prasangka, tetapi sebagai tanda kepedulian. Perempuan merasa lebih mudah membenarkan perilaku benevolent sexism karena perilaku tersebut dianggap menarik dan adil. Kemudian hal tersebut sesuai dengan gagasan masyarakat tentang seperti apa seharusnya laki-laki ideal. Namun, hal ini semakin mengurangi upaya untuk mengubah sistem patriarki yang tidak adil. Dengan melakukan hal ini, para perempuan “menyesuaikan diri” dengan masyarakat, dan dengan demikian mengurangi tekanan emosional pribadi karena ditindas.

Seksisme ini juga menyebarkan narasi bahwa perempuan perlu mengikuti peran gender tertentu agar diperlakukan dengan baik. Beberapa tipe perempuan yang terlihat bebas atau tidak sesuai aturan dari laki-laki pantas mendapatkan perlakuan yang tidak bersahabat, sedangkan tipe perempuan yang penurut berhak diperlakukan dengan baik. Perempuan yang menolak “perlindungan” ini sering kali dicap sebagai pembangkang atau “kurang ajar”, yang pada akhirnya membuat mereka takut menolak peran gender tradisional tersebut.

Kontrol yang Bisa Berujung Kekerasan

Benevolent sexism berfungsi sebagai landasan ideologis untuk banyak bentuk kontrol ini, karena memberikan justifikasi bagi tindakan laki-laki yang merasa perlu melindungi atau memantau perempuan. Seorang ayah atau saudara laki-laki yang merasa bertanggung jawab untuk “melindungi” anak atau adik perempuannya dari bahaya, pada akhirnya bisa terlibat dalam tindakan yang menjurus pada kekerasan jika mereka merasa bahwa perempuan tersebut telah melanggar “aturan” yang tidak tertulis.

Perlakuan ini juga didukung oleh norma-norma masyarakat yang lebih luas, yang cenderung melihat perempuan sebagai perwakilan moralitas keluarga. Oleh karena itu, ketika seorang perempuan melakukan tindakan yang dianggap “tidak bermoral,” tanggung jawab sosial laki-laki untuk mengontrol atau menghukum perempuan tersebut dianggap sah. Laki-laki, yang seringkali dianggap sebagai pemimpin keluarga, merasa berhak untuk ‘melindungi’ martabat keluarga dengan cara mengendalikan atau bahkan menghukum perempuan. Inilah mengapa benevolent sexism sering menjadi pintu masuk bagi kekerasan berbasis gender. Dengan membenarkan tindakan kontrol atas nama ‘kehormatan’, kita menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya kekerasan.

Honor killing, atau pembunuhan demi kehormatan, merupakan salah satu bentuk ekstrem dari kontrol berbasis gender. Ketika seorang perempuan dianggap menyimpang dari peran tradisional, menimbulkan reaksi dari keluarga terutama laki-laki, dapat beralih dari “perlindungan” yang lembut menjadi kekerasan brutal yang dibenarkan dengan alasan menjaga kehormatan keluarga.

Baca Juga: Eksploitasi Perempuan dalam Iklan: Ungkap Dampak Negatif, Pentingnya Peran Komunikasi

Menurut Human Rights Watch, bahkan dalam kasus ekstrem seperti pembunuhan demi kehormatan, ideologi ini berakar pada keinginan untuk “melindungi” reputasi keluarga, tindakan kekerasan, biasanya pembunuhan, yang dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki terhadap anggota keluarga perempuan yang dianggap telah mencemarkan nama baik keluarga. Ketika perempuan melampaui batas-batas ini, misalnya dengan menikahi seseorang yang tidak disetujui keluarga, melanggar norma-norma sosial, atau hanya memilih jalur hidup yang berbeda, mereka dapat menjadi target pengekangan yang berujung kekerasan. Pada titik ini, bentuk benevolent sexism yang sebelumnya hadir dalam “perlindungan” dapat dengan cepat berubah menjadi ancaman.

Salah satu cara untuk melawan benevolent sexism adalah dengan meningkatkan kesadaran akan dampaknya. Benevolent sexism tampaknya penuh dengan kasih sayang dan niat baik, tetapi pada intinya, ia tetap merupakan mekanisme yang menguntungkan laki-laki dengan cara mempertahankan dominasi mereka atas perempuan. Perlindungan ini memungkinkan laki-laki untuk mengontrol ruang gerak perempuan, membatasi akses perempuan terhadap kesempatan, dan menjaga hierarki sosial yang memberikan mereka keuntungan. Baik melalui hubungan keluarga, lingkungan kerja, atau bahkan kasus-kasus ekstrem seperti honor killing, benevolent sexism akan digunakan dan menjadi bagian dari sistem yang menjaga kepentingan laki-laki di atas perempuan.

Ika Ariyani

Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!