Tentang Film G30S PKI

Poedjiati Tan – www.konde.co

Bulan September dan Oktober memang bulan yang selalu ramai dengan tulisan tentang Partai Komunis Indonesia (PKI), apalagi di sosial media.

Banyak yang menuliskan tentang Gerakan 30 September. Apalagi dalam Gerakan 30 September selalu dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Jadilah padanan katanya kemudian menjadi G30S, karena selalu ada tambahan kata: PKI. Jadilah G30S/PKI.

Mengapa G30S selalu identik dengan PKI? Padahal ada banyak literatur menyatakan ada banyak kelompok yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Yang kedua, setiap bulan September datang, selalu saja memunculkan pro dan kontra ini.

Dan pagi ini saya agak terkejut ketika membaca postingan Whats App group dengan judul Nobar Film G30S/PKI, Sehatkah untuk Otak dan Psikologi Anak?. Sudah bulan Oktober, namun isu ini selalu masih berhembus dimana-mana.

Padahal sudah lewat beberapa hari. Saya jadi bertanya-tanya Apa film G30S PKI bisa menyehatkan otak dan psikologis anak?  Apalagi penulisnya menyebutkan dirinya sebagai peneliti neuropsikologi, tentu tulisannya dari hasil penelitian yang mendalam!

Ternyata postingan tersebut pernah dimuat di media online dan di tulis oleh Ihshan Gumilar. Ihsan mengatakan bahwa kita harus mengajarkan sejarah kepada generasi muda agar mempunyai ikatan emosi dengan negaranya.

Tetapi yang membuat saya tidak mengerti adalah ketika dia mengatakan bahwa ada upaya untuk mengosongkan memori tentang fakta jahat PKI di Indonesia dari dalam otak anak Indonesia. Sehingga keberadaan PKI tidak bisa mempertahankan negara dan keagamaan di negeri ini.

Ihshan mengatakan:

“Jika KPAI dan Menteri Pendidikan melarang anak-anak untuk menonton film G30S/PKI karena ada konten kekerasan dan pornografi. Maka, sebelum orang-orang ramai untuk membuat nobar film G30S/PKI ini, sudah jauh lebih banyak dan parah konten kekerasan dan pornografi yang beredar di media dan internet hingga masuk ke dalam genggaman anak-anak.Lalu kenapa KPAI dan Menteri pendidikan tidak melarang itu dengan suara yang lantang, keras dan terus konsisten?  Mungkin bisa disensor pada bagian-bagian tertentu jika anak menonton. Apa jangan-jangan pemerintah sudah disusupi PKI secara tidak sadar?.”

Sepengetahuan saya Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) melarang untuk menonton film G30S PKI untuk anak SD dan SMP karena banyaknya adegan sadis dan kekerasan di dalam film tersebut.

Sedangkan Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti dalam keterangan tertulis pada Kamis, 28 September 2017, tindakan tersebut sangat penting untuk melindungi anak-anak dari berbagai tayangan yang mengandung unsur kekerasan, sadistis dan pornografi. Kekerasan dalam segala bentuk, baik di film, di games, di sekolah, di rumah, dan lain sebagainya, tentu saja harus dicegah dan ditangani.

Sudah jelas KPAI melarang semua tayangan  yang mengandung unsur kekerasan, sadistis dan pornografi tidak hanya pada film G30S PKI saja.

Yang dikatakan Ihsan kalau konten kekerasan dan pornografi yang beredar di media dan internet hingga masuk ke dalam genggaman anak-anak jauh lebih banyak dan parah. Lalu apakah kita sebagai orang dewasa akan membiarkan begitu saja dan menganggap sudah biasa?  Bukan hanya masalah kekerasan dan pornografi saja. Kita sebagai orang dewasa juga bertanggung jawab akan berita-berita yang menyesatkan, berita hoax dan berita pembodohan bagi generasi muda.

Anak-anak perlu hak bertumbuh kembang dalam lingkungan yang sehat dan aman untuk kebutuhan terbaik mereka. Mereka mempunyai masanya sendiri, Janganlah kita menularkan dan menambah-nambahi gelap dosa-dosa masa lalu negara ini dengan ikut menyebarkan berita sepihak dan bahkan hoax.

Demam PKI akhir-akhir ini memang lagi naik daun mengalahkan demam drama Korea atau Game of Throne yang sudah mulai habis seasonnya. Kesesatan berpikir soal PKI dan Komunis yang tidak beragama, PKI yang kejam, dll memang selalu di sekitar kita, apalagi ketika bulan September datang. Tanpa ada upaya dari pemerintah untuk memberikan kebenaran sejarah di masa lalu.

Sesungguhnya kalau memang ingin mengajarkan sejarah tentang kejadian di tahun 1965, kita tidak bisa menggunakan film G30S PKI karena banyak fakta yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Ada banyak korban-korban di sekitar peristiwa 1965 yang hingga sekarang masih berjuang dari stigma yang tiada henti. Banyak perempuan yang hidup di sekitar 1965 yang tak mendapatkan hak hidupnya hingga kini, sulit keluar dari stereotype yang melekat yang mengakibatkan para perempuan terjerat kekerasan dan diskriminasi berlapis.

Tak hanya menimpa para korban dan perempuan yang hidup di sekitar peristiwa 1965, kini sekarang menimpa anak-anak.

Agar memori anak tentang sejarah Indonesia bisa melekat, kita perlu mengajarkan sejarah pada anak-anak dengan benar dan cara yang lebih mendidik secara positif serta humanis. Tidak memaksakan anak hanya menonton dengan satu referensi film saja.

Pertanyaannya bukan apakah akan melakukan kekerasan atau tidak? Tetapi apa yang hendak kita ajarkan kepada generasi penerus bangsa ini? Sebuah kebohongan atau sebuah kebenaran sejarah? Apakah kita akan melakukan pembodohan atau mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia? Mungkin saya juga bisa mengatakan bahwa ada upaya pembodohan generasi penerus dengan menayangkan film G30S PKI.

Saya sangat setuju kalau kita harus mengajarkan sejarah masa lalu bangsa ini, sekelam apapun itu. Dan ajarkanlah yang benar bahwa bangsa ini pernah melakukan banyak kekerasan tidak hanya tahun 65 saja, pembantai di Dili pada tahun 83 dan insiden Santa Cruz tahun 91, kekerasan tahun 98. Pembantai warga papua sejak tahun 1969 hingga sekarang. Penghilangan paksa dan pembunuhan banyak orang di tahun 80-90an dengan operasi petrus. Pembantaian dukun di Banyuwangi tahun 98. Karena bangsa ini sering lupa dengan kejadian-kejadian di masa lalu. Apalagi banyak orang pintar dan mengaku dirinya ilmuwan yang juga menceritakan kesesatan dan menebarkan berita kebangkitan PKI, yang ‘seremnya’ melebihi film Joko Anwar Pengabdi Setan.

Referensi :

Memori-Memori Terlarang dan Kekerasan Yang Masih Dirahasiakan (Situs Genosida ’65 Nusa Tenggara Timur)

[90 Play List Video #Genosida65_66] Jagal, Senyap, Jembatan Bacem, Mass Grave hingga The Shadow Playing vis a vis G30S/PKI (*versi ORBA)

Mirra Noor Milla, (2016),  Pengaruh Terpaan Kekerasan Media Audio‐Visual Pada Kognisi Agresif dan Afeksi Agresif Studi Meta‐Analisis, Jurnal Psikologi – Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Volume 33, No. 2, 1 – 16 ISSN: 0215-8884

http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/09/29/ox15ow396-nobar-film-g30spki-sehatkah-untuk-otak-dan-psikologi-anak

https://nasional.tempo.co/read/1020493/kpai-apresiasi-mendikbud-larang-siswa-nobar-film-g30s-pki

Warga Papua bicara tentang ‘genosida’ di tanahnya sejak 1969 lewat laporan Brisbane

https://tirto.id/mengenang-25-tahun-kejahatan-indonesia-di-santa-cruz-b4FM

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!