Umbi yang Menyatukan Perempuan

*Kustiah- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co – Bak seorang chef,  Tuti Suparti, tangannya terlihat lihai mengaduk bahan kue yang terbuat dari umbi-umbian di dalam loyang.

Di hadapannya ada beberapa  loyang bahan-bahan kue. Antara lain kuning, ungu, hijau, merah, orange. Semuanya terbuat dari bahan ubi-ubian yang berasal dari bahan alami seperti warna hijau dari daun suji, kuning dari labu kuning, ungu dari ubi ungu, dan merah dari buah bit.

Dan tak satu pun kue yang dibuat Tuti bersama seorang temannya Elly ini berbahan kimia.

“Dijamin kue yang kami buat berbahan aman dan sehat,” ujar Tuti kepada penulis beberapa waktu lalu.

Tak sampai tiga puluh menit semua bahan dalam loyang yang dikukus dipanci rebus telah tersaji cantik dengan hiasan buah strowbery, jeruk, kiwi menjadi rainbow casava cake.

Tuti dan Elly adalah warga binaan Ambarwati Hernawan, pendiri CV Arum Ayu, sebuah CV yang khusus mengolah penganan berbahan umbi-umbian. Mereka adalah dua dari ribuan ibu-ibu yang belajar membuat kue berbahan umbi-umbian dari Ambarwati.

Berkat keahliannya, kini bersama Ambar, Tuti dan Elly menjadi partner sebuah perusahaan minuman ringan di Tangerang. Setiap perusahaan tersebut membuat acara, semua kue dipesan dari  Tuti dan Elly.

Tak hanya melayani pemesanan dalam jumlah besar, sehari-hari keduanya membuat kue untuk dijual di rumah. Dan semenjak bergabung dan belajar ke Ambarwati mereka mengaku memperoleh pendapatan yang bisa digunakan untuk membiayai anak-anaknya kuliah dan sisanya ditabung.

Di sekitar kompleks Ambar, ada ratusan perempuan seperti Tuti dan Elly yang belajar membuat penganan dari bahan umbi-umbian.

Ambarwati adalah seorang perempuan yang mempunyai kegelisahan untuk membuat makanan sehat bagi anaknya. Awalnya ia mengganti bahan kue berbahan tepung dengan ubi, kemudian ia membuat pewarna dari bahan umbi-umbian.

Kue-kue ini sangat berguna bagi anak-anak penyandang autis hingga ia bisa mendirikan CV Arum Sari.

Menularkan Ilmunya pada Banyak Perempuan Lain

Di tahun ketiga, 2007, setelah merasa cukup memiliki pengalaman dan resep buatan sendiri membuat penganan berbahan umbi-umbian Ambar berniat menularkan ilmunya kepada ibu-ibu di sekitar kompleksnya. Ia membentuk Bintaro Enterpreneur Community (Komunitas Wirausaha Bintaro).

Mayoritas anggotanya adalah ibu-ibu yang suka memasak. Sampai sekarang anggotanya berjumlah ribuan lebih yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Sementara di sekitar rumahnya anggotanya mencapai ratusan orang. Perempuan kelahiran Yogyakarta ini bersyukur ilmu yang ia tularkan bermanfaat bagi ibu-ibu.

Yang awalnya ibu-ibu secara ekonomi bergantung kepada suami sekarang bisa berkarya dan mandiri. Bahkan tak sedikit penghasilannya digunakan untuk membiayai kuliah anak-anak mereka. Ambar berharap yang ia lakukan bisa mempengaruhi sebanyak mungkin ibu-ibu untuk memikirkan makanan yang dikonsumsi anak-anak dan keluarganya.

“Karena kami menjadi pionir bukan karena kami kaya dan pintar. Tetapi karena kami konsisten untuk tetap menggunakan bahan umbi-umbian sebagai bentuk rasa syukur kami terhadap kearifan lokal dan kekayaan alam,” ujarnya.

Keluar dari Masa-Masa Sulit

Tetapi kesuksesan Ambarwati tak semulus jalan tol.

Sekarang mungkin dia patut berbangga karena telah menerima puluhan penghargaan bergengsi, mulai dari penghargaan Presiden hingga Museum Rekor Indonesia (MURI) hingga yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) di tahun 2015.

Namun di balik kesuksesannya Ambar pernah mengalami masa-masa sulit. Mulai ‘digaruk’ satuan petugas pamong praja (Satpol PP) hingga dicibir sebagai pengolah makanan kampungan.

Dilahirkan dalam keluarga yang memiliki darah wirausaha,  Ambar yang pada 1997 hingga  2004 berkarier di kantor law firm dan di sebuah media ternama di bagian bisnis dan marketing, selalu diliputi perasaan bersalah karena sering meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil.

“Saya merasa yang saya kerjakan bukan passion saya. Meskipun saya punya karier bagus tetap saja saya tak menikmati,” katanya.

Selain perasaan bersalah sering meninggalkan anaknya karena alasan pekerjaan Ambar merasa bersedih karena tak bisa mengawasi makanan yang dikonsumsi anaknya.

Ambarwati menjual penganannya di pinggiran  Jakarta Convention Center (JCC) bersama penjual lain yang juga memasarkan produknya. Bersama anaknya yang masih berumur satu tahun, Ambar menunggu pembeli datang.

Tak disangka, puluhan satuan polisi pamong praja datang dan tiba-tiba mengangkut dagangannya. Ia dan anaknya ikut serta ‘digaruk’, diangkut ke atas mobil bak terbuka. Ambar berusaha tabah. Apalagi ia merasa tak melakukan kesalahan.

Bersama puluhan penjual Ambar telah membayar biaya bazar makanan. Dan setelah proses interogasi di kantor dinas sosial Ambar baru mengerti bahwa yang selama ini menarik pungutan untuk biaya pameran adalah seorang preman.

Ia tak kapok. Cerita pahit menjadi penjual yang digaruk satpol PP ia anggap sebagai sebuah pengalaman berharga.

“Saya menghibur diri supaya tak patah semangat,” katanya.

Pengalaman tak enak lainnya adalah dicibir menjual penganan kampungan. Ambar mahfum bahwa umbi-umbian di mata masyarakat dianggap makanan berwarna hitam, buruk, dan makanan orang kampung. Apalagi masyarakat hanya tahu umbi-umbian pengolahannya direbus dan digoreng.

Tetapi, bukan Ambar jika tak bisa mengubah makanan kampungan menjadi makanan modern nan ciamik. Setelah ratusan kali bereksperimentasi ia bisa menciptakan makanan umbi-umbian menjadi makanan yang meskipun harganya lebih mahal tetap diburu orang.

Dari kreasinya ia kini sering diundang menjadi pembicara di berbagai instansi yang ada di Sabang hingga Merauke untuk berbagi pengalaman. Dan sukses mendapatkan berbagai penghargaan (Selesai)

Kustiah, Mantan jurnalis Detik.com, saat ini pengelola www.Konde.co dan pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!