Aster, Perempuan Pemberani Mencari Arga Cowok Terlarang

Aster kerap ditanya, mengapa Ia mau memegang janji untuk seseorang yang tak bisa diyakini, sosok laki-laki itu adalah sosok terlarang pula. Namanya Arga.

Lelaki bernama lengkap Arga Prakarsa tiba-tiba menghilang. Seperti ada yang menyuruh Aster untuk selalu mencari Arga, laki-laki yang selama ini dicintainya.

“Cari dia!”

Teriakan parau yang menggedor-gedor gendang telinganya, berpacu mengadu ketinggian nada dengan gemuruh rel kereta api dari kejauhan.

Tungkainya yang kurus dan panjang mengayun cepat, melontarkan kerikil sepanjang rel ke udara. Peluh mulai merembesi kulit kepala dan rambutnya yang tergerai sepinggang.

Aster tak cemas akan mampu terkejar, meski dia perempuan. Acapkali bermain, dan berlarian di ujung rel yang sudah tak terpakai sejak kecil, membuatnya sangat terlatih berlari di atas bebatuan. Kecepatannya bahkan tak pernah disangsikan siapapun di kota kelahirannya itu. Bila sampai telapak kakinya kapalan pun, tinggal menggosok area itu dengan batu apung punya Ibu, lantas tonjolan di kaki itu tinggal sejarah.

Dia ingin, suatu saat mampu melompat naik ke ujung gerbong terakhir. Titik temu yang akan merekatkan kepingan hatinya dengan Arga. Sayang, dia tak pernah sanggup menjangkaunya. Kecepatan larinya masih belum dilatih ekstra semelesat roda kereta.

Baca juga: Ada ‘Kupu-kupu’ di Perut, Tanda Kamu Sedang Jatuh Cinta?

Aster tak kenal menyerah. Dulu ketika mengejar kereta pukul tujuh tak menemui titik temu, dia segera melongok area peron, menelisik, menduga-duga adanya kemunculan sosok itu dari barisan gerbong terparkir.

Beberapa kali, lelaki berjarak sewindu beda usianya itu menyelinap di antara ‘kuburan’ gerbong. Langsung berlari menghampiri, memeluk, dan menggendongnya dengan rindu membuncah, hingga hilang kemuraman ruang-ruang kosong yang entah dihuni siapa atau malah apa.  

Arga tak segan menarik tangannya untuk menghabiskan waktu berdua mulai senja hingga fajar tiba. Cerita, percakapan, pertukaran ide, berbagi rasa, yang ditimpakan sensasi memacu adrenalin, yang pasti tak dialami gadis sebayanya.

Namun, semua berubah di tanggal dua bulan dua di hari ulang tahunnya yang kedelapanbelas. Lelaki bernama lengkap Arga Prakarsa itu tetiba menghilang.

Yang tampak sesudahnya, hanyalah wagon kereta  paling belakang, getaran relnya dan suara seretan angin. Tak ada juga kemunculan sosoknya di balik deretan kuburan gerbong yang membisu. Semua akur mengunci rapat kehadiran dan bayangan Arga.

Aster mulai cemas. Senyuman lelaki yang biasa mampu mengguncangkan akal sehatnya mulai memudar, pelan-pelan. Ditelan deru angin malam yang melatari stasiun saat jadwal kedatangan dan keberangkatan telah berangkat pergi tinggalkan hari. Lalu lalang orang nun perlahan menghilang, serupa debu tersapu rinai hujan.

“Percintaan kalian itu TERLARANG! Salah satu dari kalian harus  ….”

Kalimat bagai tusukan belati itu terus terngiang bersamaan lintasan memorinya bersama Arga. 

Bahkan ketika kini dia terduduk berkalang ubin stasiun, kalimat itu serupa bisingnya pita kaset rusak yang berputar pada posisi lagu yang sama. Menghantui dan membuat dadanya berdegup lebih cepat dari detak jam dinding.

Sesekali dia melongok sekitar. Masihkah sosok pengejar suruhan  kamitua* mencoba menjangkaunya di area stasiun yang bisa menyembunyikan dan mengelabuhi keberadaan dirinya yang senantiasa berniat menyusul lelaki pujaan. 

Syukurlah, tapi keramaian pembeli dan petani sayur dan buah di tempat itu yang serupa pasar terbuka, mampu menamenginya sewaktu menunggu kedatangan Arga.  

Baca juga: Sinetron ‘Suara Hati Istri’ Langgengkan Stereotip Perempuan

Bila Aster pun sampai diketemukan, dia telah mafhum rentetan pertanyaan dan pernyataan yang akan meluncur bak air terjun menghujaninya.

“Seleramu lelaki dari kota lain rupanya? Apa kurangnya lelaki kota ini?.”

Dia tak pernah menelanjangiku secara jalang dengan matanya.

“Dia musuh bersama kota kita, kau tahu kan, Aster?.”

Ya, aku tahu karena dia tak serupa kalian yang tak punya niatan memandang perempuan secara terhormat. Kalian melihat kami hanya pabrik penghasil anak.

“Biar bagaimana pun dirimu harus patuh kepada kita, tak boleh melawan.”

Tak heran aku ingin kabur. Aku ingin bisa dihargai, bukan cuma alat reproduksi.

Bibir Aster bergetar membentuk kata yang telah tertato di otaknya. Tuduhan telak sebagai kaki tangan orang yang membahayakan paham abadi di kotanya. Paham yang setua kota kelahirannya yang terbentuk dari dukuh-dukuh tanah pertanian.

Konon katanya tanah pertanian yang kini sukses menghasilkan, padi, aneka sayur dan buah yang menyebar ke berbagai kota lain itu, ikut andil di masa lampau membentuk kebiasaan yang menjadi mimpi buruk setiap perempuan.

Bermula dari kakek buyut para kamitua yang berpikir sungguh-sungguh  untuk beranak pinak agar makin banyak pekerja di lahan mereka. Kehadiran penerus lelaki sangat diharapkan, sementara kelahiran perempuan menjadi jalan ‘induk’ dari proses reproduksi generasi mereka sendiri.

Upacara memuja Dewi Kesuburan setiap enam purnama menjadi salah satu ritual penting, tak hanya mendoakan kesuburan tanah, melainkan juga berharap perempuan di kotanya akan giat dan banyak bereproduksi. 

Sejak itu, perempuan di kotanya diperintahkan kamitua sesepuh hanya boleh bersekolah sampai usia delapan belas, lalu bersiap untuk dibuahi. Betapa celaka ketika Aster beranjak remaja menatap mata-mata lelaki segala usia yang selalu menelanjangi kehadiran mereka.

Baca juga: ‘Anak Butuh Perhatian’ Potret Maraknya Pernikahan Anak di Blitar

Menantikan kelulusan bukan untuk mengirim mereka ke kota lain agar menjadi perempuan cerdas, tetapi malah agar segera bisa dijadikan alat reproduksi.

Aster tahu, dia punya beberapa adik perempuan dan lelaki seibu, tetapi tidak sebapak. Dia tak tahu sebenarnya dia anak kamitua yang mana dari sekian dukuh di kotanya.

Sepanjang kanak-kanaknya, memori tentang Ibu adalah perempuan yang tertatih-tatih membawa perut besar setiap saat, yang akhirnya tak terjadi lagi sejak Ibu jatuh sakit parah, meninggalkan banyak cucian penuh genangan darah akibat tak usai-usai menjalani masa nifas.

Gelombang kesedihan mengingat bagaimana takdirnya terlahir di tempat itu, kini menyebar ke seluruh pori-pori tubuhnya. Makin pedih karena disuntikkan harapan besar, untuk tak segera memberi titik pada kepergian Arga.

Baca juga: Move On Dari Mantan Itu Nggak Mudah, 8 Cara Ini Bisa Kamu Coba!

Baginya senantiasa, angan-angan agar suatu saat lelaki itu bisa membawanya keluar … ke peradaban dan kehidupan baru yang lebih menghargai perempuan 

Aster kerap ditanya. Mengapa mau memegang janji untuk seseorang yang tak bisa diyakini, sosok terlarang pula? Perempuan itu tidak menjawab seperti yang banyak diduga-duga teman-teman  sepergaulannya. Komentar semacam, ‘ada yang bertumbuh dalam diriku.’ Atau ‘pikiran Aster sudah dibikin tak waras sehingga tergila-gila dengan lelaki itu.”

Semua teman perempuannya keliru. Aster tidak pernah mengandung meski tak berarti tak pernah berciuman. Sosok Aster terlampau murni untuk bersedia menyatukan tubuh, tanpa mengucap janji suci. Arga pun tak pernah memaksakan kehendak purba itu.

Bagi gadis muda itu, berpelukan dengan Arga menyebarkan rasa hangat menyelimuti hatinya, berciuman menumbuhkan bunga-bunga harapan, cinta, bahkan kesetiaan.

Baca juga: Pentingnya Consent Sebagai Pagar Pelindung Perempuan Menolak Kekerasan Seksual

Aster juga tak merasa berubah gila atau tergila-gila. Tak ada yang berubah dari kesehariannya. Dia pun tetap rajin, cerdas dan selalu meraih nilai-nilai tinggi di seantero sekolah. Dia terus membantu Ibu di warung makannya, juga sering menemani adik-adiknya mengerjakan PR.

Namun, para peneror tak kehabisan akal. Mereka melontarkan tudingan suatu hari melalui sebuah surat kaleng yang dikirimkan ke sekolahnya.

Kata mereka, lelaki semacam Arga bermaksud buruk dan akan menodai kota kecil mereka, dengan cara menghamili perempuan-perempuan muda seperti Aster dan teman-temannya.

Bayi-bayi yang diproyeksikan bertumbuh, akan dilatih lebih berani membangkang, melanggar aturan, menabrak semua norma. Terutama untuk tidak menghormati kamitua dan semua lelaki.

“Bodoh dirimu, Aster. Kau hanya tempat singgah. Lihat saja, apa Arga pernah sungguh menemui dirimu di rumah, bukan di stasiun untuk kemudian pergi lagi.  Sungguh naif dirimu percaya utuh kepadanya.”

Aster tak menghiraukan. Dia bukan perempuan bodoh yang mudah ditakut-takuti, tidak juga tipe penurut khas teman sebayanya. Karenanya semua pernyataan orang-orang yang bersemangat menangkap Arga dan menyandera dirinya, bukanlah sebuah keniscayaan.

Menanam benih? Mereka hanya berpelukan dan berciuman! Tak lebih. Sungguh pikiran sesat dan tuduhan sembarang orang-orang panik. Apa yang sebenarnya ditakuti mereka akan sosok lelaki kekasihnya itu?

Baca juga: Debat Narasi Soal Sexual Consent: Bagaimana Kita Memandang Kekerasan Seksual

Dia tahu, Arga bukan malaikat, tetapi juga bukan iblis yang menyamar. Bersama Arga, pandangannya diperluas, perasaan dan pendapatnya diakui, kesehatannya diperhatikan, kehadirannya selalu diharapkan.

Bukankah hal manusiawi itu telah menyentuh hatinya dan membuatnya berharga sebagai perempuan di tanah kelahiran yang menganggap manusia berahim sepertinya tak lebih hanya media untuk memproduksi generasi.

Yang Aster tahu, sepanjang tarikan napasnya, dia hanya dicekoki, menjadi perempuan adalah posisi kedua, tak boleh berkeinginan dan tak’kan bisa meraih yang pertama.

Tiada perempuan yang menjadi pemimpin. Di sekolah, di desa, bahkan mengelola kota kecil mereka. Segenap penguasa tentu ekuivalen dengan lelaki. Bahkan posisi pendamping dalam struktur apapun tak kunjung ditawarkan dari waktu ke waktu. Perempuan hanya pelengkap, atau bahkan serupa penyerta saja.

Arga tak bisa menahan harunya ketika dilihatnya stasiun yang akan menjadi tujuan akhir perjalanan ini.  Jantungnya berdegup cepat, rindu membuncah menantikan bertemu Aster sejak delapan purnama lalu. Waktu yang dikumpulkannya untuk menyiapkan diri meminang gadis muda itu.

Baca juga: Dear Bapak Mertua, Rahim Aurel Hermansyah Bukan Mesin Pencetak Bayi

Gadis muda pemberani dan bersemangat yang kelak akan melahirkan generasi penerus mereka berdua, melanjutkan perjuangan akan kesetaraan, nanti. Ya … nanti. Tak harus sekarang. Arga manusia sabar yang takkan memaksakan kehendak, bila Aster masih perlu waktu untuk mematangkan tubuh, termasuk pikiran untuk sedewasa hatinya, meski baru lalui usia delapan belas.

Lengkingan peluit masinis menyudahi memori romansa manisnya bersama Aster. Sesegera kakinya menapak lantai stasiun, seketika dia dihampiri perempuan paruh baya yang menghadang jalannya.

Wajahnya sebelas duabelas dengan Aster, dalam versi lebih tua. Belum sempat Arga menerka siapa, bibir perempuan itu membentuk kata-kata tanpa suara, sembari tangannya mengangsurkan kertas terlipat yang tampak lusuh.

Dengan tatap keheranan dan mata dipicingkan, lelaki itu mencoba mencerna kalimat yang keluar dari bibirnya.

‘Cepat pergi, jangan kembali ke sini. Jangan sampai kau dibisukan, sepertiku.’

Tangan Arga ditarik menuju kereta lain yang bersiap pergi, badannya didorong masuk gerbong sebelum sosok itu lenyap di antara para pembeli sayur dan buah yang mulai memasukkan muatan mereka.

Kabut di mata Arga luruh berganti hujan. Tetesnya membentuk bintang membasahi kertas yang dipegang. Hanya melihat kata rudapaksa dan bunuh diri, kaki lelaki itu sukses melorot terjatuh di lutut.

Bersama lengking peluit dan guncangan gerbong kereta beranjak pergi, Arga merasa degup jantungnya hendak berhenti. Terlambat dia melindungi hidup gadis muda, dengan letupan api di setiapdenyut nadinya.

 *Kamitua = kepala dukuh/dusun kecil

Ivy Sudjana

Ibu dua anak kelahiran Jakarta. Saat ini berdomisili di Denpasar mendampingi anak bungsunya bersekolah jarak jauh di Yogyakarta. Suka membaca, menulis dan travelling. Cerita-ceritanya bisa dilihat di Blog pribadi ivyberbagi.wordpress.com, fb : Ivy Sudjana, ig : ivy_sudjana, Web : seide.id - Kolom Penulis Indonesia-Ivy Sudjana
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!