Balawyn Jones, University of Melbourne
Di Bali pada 5 September 2017, seorang pria memotong kaki istrinya menggunakan golok. Sang korban, Ni Putu Kariani, selamat dari serangan mengerikan tersebut tapi akan menderita cacat seumur hidup.
Sekitar sebulan setelah Putu mengalami serangan, Rachael Anne di Sydney digorok, diduga pelakunya adalah pasangannya. Seperti Putu, Rachael akan mengalami cacat dalam jangka waktu yang lama. Kita masih belum tahu apakah dia akan menderita lumpuh seluruh badan akibat serangan tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menimpa perempuan baik di Australia maupun Indonesia. Menurut Badan Statistik Australia, satu dari empat perempuan di Australia pernah menderita kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan oleh pasangan. Di Indonesia, satu dari tiga perempuan telah mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam kehidupan mereka.
Baca juga: ‘Pengabdi Setan’ dan kisah hantu perempuan: simbol adanya kekerasan terhadap perempuan
Australia dan Indonesia perlu bekerja sama untuk mengatasi masalah universal ini. Dana bantuan dari Australia semakin sedikit dan mungkin menyulitkan adanya kerja sama di tingkat antarpemerintah. Namun, aktivis di lapangan sebaiknya mengeksplorasi kemungkinan kerja sama untuk belajar dari satu sama lain dalam hal melawan KDRT.
Menghitung pembunuhan perempuan
Pada 2016, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan ada 13.602 kasus kekerasan terhadap perempuan, kebanyakan KDRT (75%). Namun, angka ini hanya mewakili sebagian dari kekerasan yang terjadi pada 2016 karena pelaporan rendah dan pengumpulan data tidak begitu baik.
Kasus Putu adalah satu dari banyak kejadian KDRT di Indonesia yang dicatat oleh aktivis hak perempuan Kate Walton dalam inisiatif “Menghitung Pembunuhan Perempuan” (Counting Dead Women). Ia memantau pemberitaan mengenai KDRT untuk menciptakan basis data mengenai kejadian KDRT. Ia juga membagi informasi yang terkumpul ke pemerintah dan LSM untuk meningkatkan kesadaran mengenai isu ini.
Data statistik tepercaya penting untuk melawan kekerasan terhadap perempuan. Namun, menghitung jumlah perempuan yang telah diserang, dilukai, atau dibunuh oleh pasangan hanya satu bagian dari usaha melawan kekerasan.
Terlalu sedikit dan terlambat
Pada 2004, Indonesia menetapkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-Undang ini secara umum mendefinisikan KDRT sebagai kekerasan yang tidak hanya mencakup kekerasan fisik, tapi juga psikis, ekonomi, dan seksual.
Namun, 12 tahun sejak pengesahannya, berbagai halangan untuk menjalankan Undang-Undang tetap ada. Proses hukum yang berbelit, sulitnya mendapatkan bukti medis, dan biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pengadilan pidana dan agama dapat menjadi halangan bagi perempuan yang ingin bercerai untuk lari dari KDRT atau yang ingin melaporkan KDRT.
Tingkat pendidikan yang rendah atau kurangnya pemahaman soal hak, hambatan geografis dan ekonomi, dan perilaku atau budaya yang negatif terhadap hak perempuan dalam masyarakat juga membatasi akses terhadap keadilan. Lebih jauh lagi, perempuan yang mengalami KDRT mungkin takut adanya balasan atau stigma dari keluarga atau masyarakat.
Baca juga: Laki-laki harus dilibatkan dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan
Di Indonesia, kebanyakan laporan KDRT ditangani melalui cara-cara non-hukum. Di tingkat lokal, keluarga atau pemimpin masyarakat sering menengahi melalui resolusi konflik tradisional. Ada juga laporan bahwa polisi sering tidak mengindahkan pengaduan perempuan mengenai KDRT ketimbang menyelidiki terduga pelaku.
Kebanyakan kasus tidak sampai ke pengadilan. Kasus KDRT yang masuk ke meja hijau, kebanyakan diselesaikan di persidangan perceraian, ketimbang pengadilan pidana.
Di tingkat kelembagaan, penanganan KDRT di Indonesia bisa digambarkan sebagai terlalu sedikit dan terlambat. Saat ini, lubang-lubang di kebijakan dan program pemerintah diisi oleh LSM sesuai kemampuan terbaik mereka.
Pelayanan garda depan
Program-program untuk korban yang diberikan oleh Yayasan Pulih di Jakarta dan Rifka Anisa di Yogyakarta menyediakan pelayanan garda depan untuk perempuan Indonesia. Namun, kegiatan berbasis masyarakat untuk korban KDRT sebagian besar mengalami keterbatasan pendanaan. Skala dan kapasitas program-program seperti ini harus diperluas sesegera mungkin.
Pelayanan garda depan di Australia juga terus menerus mengalami pemotongan pendanaan dan kapasitas yang ada seringkali kewalahan menangani banyaknya perempuan yang membutuhkan bantuan.
Namun, seperti disorot dalam penemuan Royal Commission into Family Violence (2016), respons terhadap KDRT di Australia telah meningkat secara signifikan sepanjang dekade terakhir. Meski masih ada kegagalan dan keterbatasan, sistemnya membaik. Saat ini laporan ke polisi mengenai KDRT telah meningkat dan ada kesadaran masyarakat dan lembaga yang lebih besar mengenai dinamika KDRT.
Ada banyak hal yang Indonesia bisa pelajar dari Australia dalam melawan KDRT. Sayangnya, dengan terus menurunnya dana bantuan Australia, kerja sama dalam hal penanganan KDRT kemungkinan besar tidak akan meningkat di tingkat antarpemerintah. Namun, ada peluang untuk LSM dan aktivis Australia untuk bekerja sama secara langsung dengan LSM Indonesia untuk membantu mengatasi KDRT di tingkat masyarakat.
“Kerja sama” tidak berarti ekspor pengetahuan dan pendekatan Australia terhadap KDRT. Namun, kerja sama bermakna integrasi pengetahuan dari Australia dan Indonesia serta adaptasi pendekatan Australia ke dalam konteks budaya Indonesia. Kate Walton, yang berasal dari Australia, menjelaskan ketika bekerja dalam isu gender di Indonesia, organisasinya harus menimbang beragam elemen, tidak hanya gender tapi isu yang bertautan seperti agama, budaya, geografi, etnis, dan kelas sosial.
Bagaimana sebaiknya respons kita?
Perempuan, terlepas dari kekayaan, status sosial, tingkat pendidikan, agama atau etnis, terus menghadapi risiko tinggi KDRT. KDRT tidak hanya berbahaya bagi perempuan secara individual tapi juga memiliki dampak buruk bagi masyarakat Australia dan Indonesia.
Respons kita terhadap kekerasan menentukan kita sebagai sebuah masyarakat. Mungkin lebih mudah untuk memperlakukan kasus-kasus seperti Putu dan Rachael sebagai kasus unik, atau mengecilkan kasus-kasus tersebut sebagai masalah psikologis pelaku kekerasan. Namun itu salah.
KDRT cerminan relasi hubungan yang tak setara antara laki-laki dan perempuan. Struktur sosial patriarkis dan norma-norma gender baik di Australia dan Indonesia melanggengkan kekerasan terhadap perempuan.
Sementara tidak ada jawaban mudah untuk mengatasi KDRT, kerja sama antara Australia dan Indonesia dapat mengisi kurangnya pengetahuan serta meningkatkan kualitas praktik penanganan KDRT di masing-masing negara.
Kolaborasi antara aktivis di tingkat masyarakat memiliki potensi untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mencegah dan merespons KDRT. Perempuan dan laki-laki Australia dan Indonesia harus bekerja sama untuk mengakhiri KDRT.
Balawyn Jones, PhD Candidate and Research Fellow, University of Melbourne
This article was originally published on The Conversation. Read the original article.