Poedjiati Tan- www.Konde.co
Beberapa hari lalu saya mendapat video tentang laki-laki dan perempuan yang diarak dan ditelanjangi dan dipaksa mengaku kalau mereka sudah berbuat mesum di sebuah rumah kost. Peristiwa ini terjadi di Cikupa, Tangerang, Banten.
Terus terang saya tidak tega, marah melihat sang perempuan yang memohon-mohon ampun dengan air mata berucucuran dan mengatakan bahwa mereka berdua tidak melakukan perbuatan mesun. Tetapi sepertinya pengurus kampung dan sejumlah warga di tempat mereka tinggal, tidak peduli dan tetap menelanjangi keduanya.
Video tersebut kemudian viral hampir di semua group whatsapp bahkan sudah diunggah ke youtube dan media sosial lain.
Dan ironinya, ternyata pasangan tersebut tidak melakukan perbuatan mesum seperti yang banyak dituduhkan.
Seperti yang dikatakan Kepala Polres Kabupaten Tangerang AKBP Sabilul dalam kompas.com, kronologi peristiwa yang terjadi pada Sabtu (11/11/2017) malam itu, awalnya, perempuan berinisial MA minta dibawakan makanan oleh R, pacarnya. Sekitar pukul 22.00 WIB, R tiba di kontrakan MA untuk mengantarkan makanan. Keduanya masuk ke dalam kontrakan untuk menyantap makan malam bersama.
“Ketua RT berinisial T menggedor pintu (kontrakan MA), pintunya tidak tertutup rapat,” ujar Sabilul dalam akun instagramnya, @m.sabilul_alif, Selasa (14/11/2017).
Menurut Sabilul, saat itu T datang bersama dua orang lainnya berinisial G dan NA. Usai menggedor pintu dan masuk ke dalam kontrakan, ketiga orang itu memaksa R dan MA mengakui mereka telah berbuat mesum.
Tidak hanya memaksa mengaku tetapi mereka sudah melakukan kekerasan mencekik, menempeleng dan menganiaya sampai akhirnya melucuti pakaian keduanya. Meskipun ketika mereka menggedor pintu dan masuk, keduanya sedang tidak berbuat mesum tetapi tetap dianggap berbuat mesum. Kata Sabilul, warga salah paham lantaran mendapati pasangan itu berada dalam satu kontrakan pada malam hari.
Bukan Peristiwa Pertama
Peristiwa seperti ini sebetulnya bukan yang pertama kali. Masyarakat seperti menjadi polisi moral ketika ada perempuan dan laki-laki dalam satu rumah. Mereka menjadi kepo, merasa berhak menghakimi dan ingin tahu. Mereka cenderung berpikiran mesum dan berimaginasi adanya ‘seks liar’ di dalamnya. Selalu bersemangat menelanjangi tanpa memberikan kesempatan untuk membela diri.
Alasan yang selalu diungkapkan adalah agar mereka jera, dan untuk menjaga ketertiban kampung. Apa benar mereka ingin menjaga ketertiban kampung? Atau sebenarnya mereka ingin mencocokkan imaginasi liar mereka tentang tubuh perempuan dan ingin melihat serta menelanjangi?
Dalam kasus seperti ini, perempuan adalah pihak yang paling dirugikan. Apalagi di era teknologi seperti sekarang ini kejadian itu langsung menyebar ke jaringan seluruh dunia tanpa ada penjelasan dan pembelaan. Sayangnya klarifikasi oleh pihak kepolisian bahwa mereka tidak berbuat mesum, tidak ikut viral di whatsapp group. Orang tetap akan menganggap bahwa mereka berbuat mesum. Wajah perempuan yang ditelanjangi dan memohon ampun masih lekat dalam ingatan.
Perempuan selalu yang memiliki dampak ganda dalam setiap peristiwa penggerebekan. Tidak hanya fisik yang mengalami dan menanggung kekerasan tetapi juga psikologisnya. Saya tidak tahu bagaimana traumanya perempuan tersebut, dituduh, dipermalukan dan dianiaya harga dirinya tanpa ada pembelaan. Identitas dirinya hancur karena ada beberapa laki-laki mesum yang berpikran bahwa perempuan yang datang malam-malam ke rumah laki-laki pasti untuk menyerahkan dirinya dan melakukan hubungan seksual.
Hal lain, apakah pemuatan video yang tersebar meluas ini bisa distop dari sekarang? Jika bisa, apakah ada jaminan bahwa orang lain tidak menyimpannya dan mengunggahnya lagi suatu saat nanti? Hal inilah yang tidak pernah dipikirkan orang yang menghakimi tubuh perempuan.
Peristiwa yang terjadi di Cikupa, Tangerang ini sungguh merupakan perbuatan bodoh yang mengorbankan tubuh perempuan. Buat saya, ini adalah kriminalisasi tubuh perempuan.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay.com)