Representasi Yura Yunita dan Adelaide di Media Sosial Tolak Dikotomi ‘Cantik’ 

Sudah banyak perempuan Indonesia yang berani keluar dari doktrinasi “cantik”, misalnya penyanyi seperti Yura Yunita dan beauty influencer seperti Adelaide Wreta Gina.

Adelaide Wreta Gina memulai perjalanan menjadi beauty influencer karena masalah jerawat yang dialaminya. Harapannya, reviu yang ia publikasikan dapat membantu orang-orang yang mengalami kondisi kulit yang sama dengannya. 

Singkatnya, influencer adalah orang yang bekerja sama dengan perusahaan untuk mengunggah postingan ke media sosial. Kompensasi tersebut dapat berupa uang, produk, jasa, pengalaman, dan juga perjalanan. Dalam tiga tahun terakhir, Adelaide telah bekerja sama dengan puluhan beauty brand dan menerima berbagai produk skincare, makeup, atau bodycare.

Tren industri bekerja sama dengan influencer yang memiliki pengikut di bawah 10.000 (nanoinfluencer) merebak tidak lama ini. Alasannya, mereka dianggap lebih mampu menjaga autentisitas diri dan hubungan personal dengan pengikut daripada influencer dengan angka belasan ribu hingga jutaan pengikut. 

Nanoinfluencer juga ditemukan memiliki tingkat engagement yang lebih tinggi daripada tipe influencer lainnya. Akun Instagram Adelaide, @adelaidegina_, berkali-kali berhasil mencapai angka reach yang signifikan. Videonya mereviu produk pernah ditonton sebanyak 40 kali lipat dari jumlah pengikutnya.

Seiring waktu, Adelaide mencoba mengeksplorasi tren makeup. Walau melihat perkembangan industri makeup yang kian inklusif, Adelaide masih menghadapi kendala dalam mencari referensi. Salah satu pengalamannya adalah saat ia hendak mencari tutorial Douyin makeup yang trennya sempat ramai di TikTok akhir tahun lalu.

“Aku tuh sadar representasi beauty influencer di dunia makeup itu bener-bener dikit yang warna kulitnya sama kayak aku,” tuturnya, Minggu (5/3).

Memahami kesulitan itu, Adelaide kini berstrategi menambahkan kata “untuk kulit sawo matang” di dalam caption videonya sehingga orang-orang yang memiliki warna kulit sama dapat terbantu.

Menurut Adelaide, underrepresentation perempuan berkulit gelap ini terjadi karena mereka masih malu untuk menampakkan diri di depan publik. Terlebih di tengah budaya yang masih mengglorifikasi kulit terang sebagai standar kecantikan.

Ia mengaku konstruksi standar ini benar adanya. Bahkan, standar kecantikan ini sempat terinternalisasi pada dirinya. 

“Pas SMP itu pernah ada yang bilang ke aku, ‘Ih, Del, kamu sekarang putihan.’ dan waktu itu aku seneng.”

Walau terdengar positif, Adelaide juga sempat bingung dengan bagaimana sepatutnya ia merespons pernyataan itu. Menurutnya, lontaran pujian “putihan” semata mencerminkan bahwa teman sebayanya menganggap kulit yang lebih gelap tidak bagus.

Selain warna kulit, Adelaide juga sempat tidak percaya diri dengan tekstur rambut yang ia miliki. Berbagai ejekan dari orang yang ia kenal dan tidak kenal sempat melukainya saat remaja. Untuk menjauhkan diri dari kemungkinan kembali diejek, Adelaide remaja memutuskan untuk smoothing rambut secara rutin.

Konstruksi soal kecantikan ini hadir pada masa kolonial Belanda. Orang dengan ras yang berkulit terang (Kaukasia) pada kala itu identik dengan kelompok yang memiliki pendidikan tinggi dan privilese. Dominasi representasi “cantik” perempuan Kaukasia lalu semakin merebak lewat iklan produk kecantikan di surat kabar pada 1900-an

Sampai sekarang pun, industri kecantikan lokal, baik makeup maupun skincare, masih ada yang menggunakan idola Korea Selatan sebagai duta jenamanya. Langkah ini dianggap menyumbang peran dalam melanggengkan narasi terkait standar kecantikan. Namun, berbagai jenama juga sudah menghadirkan konsep inklusivitas dengan mendatangkan perempuan dengan keragaman fisik seperti warna kulit, bentuk wajah, atau ukuran badan sebagai modelnya.

Saat ditanya soal bagaimana mendefinisikan “cantik” sekarang, Adelaide terdengar percaya diri dalam merespons. Ia menjelaskan bahwa ia sudah sampai di tahap yang sangat “sayang” dan “cinta” warna kulitnya sendiri.

“Sampai pas teman aku rekomendasiin scrub yang manjur buat bikin kulit mulus. Aku sampai nanya ‘Bikin kulit jadi putihan, nggak? Aku maunya tetap warna kulit aku kayak sekarang,’” tambahnya.

Menurutnya, orang di sekeliling memiliki peran yang penting juga dalam menumbuhkan kepercayaan dirinya. Dorongan teman-teman Adelaide-lah yang menjadikannya yakin untuk memulai nanoinfluencing. Tidak berhenti di sana, Adelaide terus menunjukkan identitas dirinya untuk mendorong perempuan berkulit gelap lainnya agar mau tampil percaya diri di depan publik.

“Ada follower-ku yang suka bercerita. Dia bilang, ‘Seneng liat reviu Kak Adel. Selama ini, aku selalu nggak pede dengan warna kulitku.’”

Mengingat kejadian yang dialami, Adelaide berharap perempuan tidak merusak tubuhnya sendiri karena komentar negatif orang terhadapnya. Keputusannya melakukan smoothing saat remaja membuat rambutnya tidak sehat dan menyia-nyiakan uang serta tenaga untuk memenuhi ekspektasi orang lain.

Kini Adelaide lebih memprioritaskan perawatan dan kesehatan kulit serta rambutnya, ketimbang berlomba-lomba menjadi juara di tengah standar kecantikan yang ada di sekitarnya. 

Saat ditanya tentang harapannya kepada perempuan pada Hari Perempuan Sedunia, Adelaide menjawab, “Aku berharap kita sebagai perempuan dengan keunikan dan ciri khas masing-masing dapat semakin berani mengekspresikan diri, semakin menonjolkan diri, menunjukkan keunggulan yang kita punya.”

Perempuan sudah dipaksa menurut dan bertutur lemah lembut, diukur pake standar kecantikan yang tidak jelas pula. Jika dibiarkan, konstruksi ini dapat berdampak pada kepercayaan diri perempuan Indonesia yang identitasnya begitu beragam. 

Namun kabar baiknya, banyak perempuan berani keluar dari doktrinasi sesat itu. Salah satunya dilakukan seorang penyanyi, yaitu Yura Yunita. Yura baru-baru ini membuat kejutan dengan memutuskan untuk menghapus makeup di atas panggung. Aksi ini dilakukan untuk mengajak para perempuan menerima diri sendiri, ia sering diledek wajahnya kurang mulus, berjerawat.  

Sebelumnya, Yura juga melakukannya dalam peluncuran album “Tutur Batin” pada Oktober 2021. Ia menuliskan seperti ini di laman Facebook-nya:

Sampul Album ke 3, wajah tanpa riasan, jerawat, inilah aku apa adanya. Lewat album ini aku ingin menyampaikan cerita yang sejujur-jujurnya. Dulu, pernah ada rasa takut menunjukan ini. Ada ragu untuk bertemu banyak orang tanpa menutup noda jerawatku. Ada rasa malu posting foto di sosial media saat lenganku terlihat lebar. Tapi apakah nyaman didapat saat semuanya terasa sempurna? Belum tentu. Bahkan saat ada di kondisi terbaik di mata orang lain, kadang rasa insecure itu masih ada.”

Yura ingin mengajak penonton untuk bisa nyaman dan menerima diri seutuhnya. Kata-kata Yura ini disambut dengan tepuk tangan meriah dari penonton.  

Selain Yura Yunita, ada beberapa penyanyi yang pernah menghapus makeup di panggung untuk menunjukkan kepada penonton bahwa mereka tidak perlu menggunakan makeup tebal atau memalsukan penampilan mereka untuk tampil menarik, seperti Alessia Cara saat tampil di panggung MTV VMAs 2017 menyanyikan lagunya Scars To Your Beautiful

Dengan menghapus makeup di atas panggung, Yura Yunita telah memberikan contoh yang baik bagi para perempuan lainnya bahwa mereka tidak harus terpaku pada standar kecantikan yang ditetapkan oleh orang lain dan bahwa mereka bebas untuk mengekspresikan diri dengan cara yang mereka sukai. 

(Sumber Gambar: IG Yura Yunita/Foto Pribadi Adelaide)

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!