Poedjiati Tan- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co – Pada penghujung tahun 2017, DPR RI menyepakati 50 Rancangan Undang-undang dan 5 Rancangan Undang-undang Kumulatif Terbuka yang menjadi prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018.
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dalam pernyataan sikapnya menghargai kinerja anggota DPR sepanjang tahun 2017, dan telah mengeluarkan daftar prioritas sebelum memasuki masa persidangan pertama di tahun 2018. Walau Sekjend KPI, Dian Kartikasari juga menyayangkan adanya 3 Rancangan Undang-undang (RUU) yang memperjuangkan perempuan yang tidak menjadi Prolegnas di DPR.
RUU Perempuan yang Tidak Menjadi Prioritas
Sebanyak 3 RUU sangat disayangkan tidak menjadi prioritas, yaitu RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan RUU tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) yang tidak menjadi prioritas Prolegnas 2018. Padahal ketiganya merupakan RUU yang strategis untuk mewujudkan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan di Indonesia, dan telah terlalu lama tertunda.
“RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah diusulkan perubahan sejak tahun 2002, terutama untuk menghentikan praktek perkawinan anak. Batas usia minimal perkawinan bagi perempuan yang diatur dalam UU Perkawinan adalah 16 tahun. Batas usia perkawinan tersebut masih tergolong usia anak. Data BPS menunjukkan sekitar 11 % dari jumlah perkawinan setiap tahun adalah perkawinan yang salah satu pihaknya berusia di bawah 16 tahun karena adanya mekanisme dispensasi bagi perkawinan di bawah batas usia yang telah ditentukan. Perkawinan anak, berakibat pada kegagalan menuntaskan wajib belajar 12 tahun dan menyumbang tingginya angka Kematian Ibu dan Anak. Indonesia kini menduduki urutan ke 7 di dunia dan ke 2 di Asia Tenggara sebagai negara yang paling banyak memiliki jumlah perkawinan Anak,” ujar Dian Kartikasari.
Sedangkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) sudah dinanti pembahasannya sejak 13 tahun silam. Penundaan pembahasan RUU PRT menyebabkan Pekerja Rumah Tangga belum memiliki perlindungan hukum untuk mengatasi kerentanannya dari tindak kekerasan, eksploitasi kerja hingga perbudakan modern. Upah yang rendah, ketidakpastian hari libur dan cuti, serta pemutusan hubungan kerja secara sepihak masih dialami oleh pekerja rumah tangga.
Sementara RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender, sempat menjadi pembahasan di tingkat pemerintah dan DPR pada tahun 2015 – 2016, namun kembali terhenti. RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender sangat strategis untuk menghapuskan berbagai bentuk diskriminasi, stigmatisasi, labelisasi maupun kekerasan terhadap perempuan karena pembedaan perannya di dalam keluarga dan masyarakat. RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender juga merupakan komitmen pemerintah dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dimana target 5.1, Mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan, dapat dicapai jika terjadi peningkatan kebijakan yang responsif gender dan mendukung pemberdayaan perempuan (Indikator 5.1.1).
“Tidak masuknya ketiga RUU tersebut, menjauhkan pemerintah dari sasaran nasional untuk penambahan 16 kebijakan yang responsif gender di akhir tahun 2019. Sasaran kebijakan responsif gender merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2014 – 2019), dan dipertegas kembali dalam lampiran Peraturan Presiden Nomor 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan,” ujar Dian Kartikasari.
DPR RI dan Pemerintah dapat memenuhi target ini dengan memastikan pembahasan setiap RUU mengintegrasikan pengalaman perempuan. Dari seluruh daftar Prolegnas 2018, Koalisi Perempuan Indonesia menilai pembahasan RUU perlu memastikan suara perempuan, khususnya partisipasi kelompok yang terpinggirkan, antara lain Perempuan Lansia, Perempuan Penyandang Disabilitas berasal dari kelas bawah.
RUU Prioritas Perempuan di Prolegnas
Dari ke-55 RUU yang menjadi prioritas, Koalisi Perempuan merasa perlu memberikan perhatian khusus pada enam RUU. Keenam RUU tersebut memiliki keterkaitan dengan perlindungan kehidupan perempuan, baik untuk menghindari kematian ibu saat melahirkan, terabaikan dalam pengambilan keputusan, maupun dari kerentanan perempuan sebagai korban kekerasan seksual, yaitu: RUU tentang Kepalangmerahan, RUU tentang Kebidanan, RUU tentang Masyarakat Adat, RUU tentang Praktek Pekerjaan Sosial, RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Koalisi Perempuan Indonesia berpendapat tentang sejumlah RUU yang saat ini berada di Prolegnas:
1.RUU tentang Kepalangmerahan
Fakta bahwa salah satu penyebab Kematian Ibu Melahirkan adalah karena Perdarahan (Kementrian Kesehatan 2013), yang menunjukkan sekitar 30% Kematian Ibu melahirkan terjadi karena perdarahan akibat Hipertensi Dalam Kehamilan (HDK). Untuk itu, DPR RI perlu memasukkan “Mengurangi Angka Kematian Ibu Melahirkan, memperkuat layanan kesehatan bagi masyarakat serta memupuk kesukarelawanan masyarakat, khususnya generasi muda” sebagai tujuan RUU Kepalangmerahan. DPR RI memastikan bahwa substansi RUU Kepalangmerahan /RUU PMI sesuai dengan Konvensi Jenewa dan Protokol tambahannya, serta The Seville Agreement (Perjanjian Seville) atau Perjanjian tentang organisasi kegiatan internasional dari komponen Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.
2. RUU tentang Kebidanan.
Pelayanan Kebidanan merupakan bagian integral dari Sistem Kesehatan Nasional, khususnya bagi perempuan, bayi dan balita. Bidan memegang peranan penting untuk meningkatkan akses masyarakat, khususnya perempuan, bayi dan anak terhadap layanan kesehatan. Kehadiran Bidan sangat dibutuhkan oleh masyarakat terutama yang tinggal di desa dan daerah terpencil. Meskipun dalam Pasal 3 RUU Kebidanan disebutkan bahwa salah satu tujuan UU Kebidanan adalah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi Bidan dan Kliennya, namun RUU Kebidanan tidak mengatur secara khusus tentang Bidan Desa dan tidak menjamin adanya pemerataan persebaran Bidan di seluruh desa di Indonesia yang kini berjumlah 74.910 desa dan di daerah terpencil. Pengaturan syarat administratif izin praktek Kebidanan juga belum mempertimbangkan daya jangkau Bidan Desa dan Bidan di daerah terpencil. RUU Kebidanan tidak mengatur dan memberikan kepastian hukum status kepegawaian Bidan, khususnya Bidan Desa PTT (Pegawai Tidak Tetap). Pengangkatan Bidan Desa PTT sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) serta masa Pensiunnya harus diatur dalam RUU Kebidanan, berbeda dari pengadaan PNS lainnya, mengingat peran dan pengabdiannya yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
3.RUU tentang Masyarakat Adat
Pengusul telah secara baik telah memasukan Kesetaraan Gender sebagai salah satu azas. Untuk menindaklanjutinya, DPR RI perlu memastikan substansi yang menjamin relasi yang setara antara perempuan dan laki-laki anggota masyarakat adat. Sehingga keduanya mendapat perlakuan dan manfaat yang sama dalam mengakses dan mengontrol sumber daya (termasuk tanah adat), serta berpartipasi dalam pengambilan keputusan adat dan pembangunan. Substansi RUU tentang Masyarakat Adat perlu mempertegas jaminan keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga adat, menjamin bahwa seluruh hak-hak konstitusional warga negara adalah Hak perempuan dan laki-laki masyarakat adat, serta mendorong penghapusan nilai-nilai dan praktek adat yang mendiskriminasikan perempuan.
4. RUU tentang Praktik Pekerjaan Sosial
Pengertian tentang Pekerjaan sosial dan Pekerja sosial dalam RUU Praktik Pekerjaan sosial sangat sempit, sehingga tidak akan mampu menjangkau berbagai bentuk Pekerjaan Sosial yang ada di Indonesia. Pengertian Pekerjaan Sosial dalam RUU tersebut juga jauh dari definisi Pekerjaan Sosial yang diakui secara global. The International Federation of Social Work (IFSW) atau Federasi Internasional Pekerjaan Sosial mendefinisikan Pekerjaan sosial adalah profesi berbasis praktik dan disiplin akademis yang mendorong perubahan dan pengembangan sosial, kohesi sosial, dan pemberdayaan dan pembebasan orang dengan menerapkan prinsip keadilan sosial, hak asasi manusia, tanggung jawab kolektif dan penghormatan terhadap keragaman, didukung oleh teori kerja sosial, ilmu sosial, humaniora dan pengetahuan asli melibatkan orang dan struktur untuk mengatasi tantangan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Pekerja sosial, adalah orang yang melakukan pekerjaan sosial secara professional maupun sukarela. Definisi tentang Pekerjaan sosial dan Pekerja sosial ini mengakui dan mengakomodasi peran pekerja sosial yang berasal dari masyarakat, dengan pendidikan yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi sosial secara swadaya. Terakhir, memastikan perimbangan gender dan jenis kelamin dalam kelembagaan Konsil Pekerjaan Sosial Indonesia.
5. RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Dengan memperhatikan pengalaman sehari-hari perempuan, dan risiko yang akan timbul, maka DPR RI perlu tetap mempertahankan pasal pidana perzinahan sebagai delik aduan, dan hanya diadukan oleh pasangan suami/isteri yang berkepentingan langsung, agar dapat menjaga ketahanan keluarga. Memberikan perlindungan komprehensif pada korban perkosaan, dengan memperluas frasa ‘bersetubuh’ lebih luas dan terperinci, memperluas cara-cara pelaku untuk mencapai tujuan), serta melakukan perubahan pada hukum formil, terutama dalam hal pembuktian, yang lebih ramah terhadap korban, dan mengatur pengecualian dengan menentukan satu saksi adalah saksi.
6. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Kejahatan seksual merupakan tindak pidana yang menyerang dan atau merendahkan kemanusiaan dan martabat seseorang bukan hanya perbuatan yang bersifat fisik dan/atau non fisik, mengarah kepada fungsi dan/atau alat reproduksi atau anggota tubuh lainnya. Oleh karenanya, korban kejahatan seksual tidak hanya mengalami kerusakan fisik, melainkan juga mengalami kehancuran secara mental. Pendefinisian kekerasan seksual dalam RUU Kekerasan Seksual setelah pembahasan di DPR, mengesampingkan fakta penderitaan yang dialami oleh korban secara fisik maupun psikis. Paska pembahasan di DPR, sejumlah bentuk kekerasan seksual dihilangkan, yaitu ancaman (intimidasi) secara seksual (seperti: ancaman perkosaan) dan penghukuman secara seksual (seperti kasus arak bugil), padahal kejahatan ini nyata terjadi di dalam masyarakat. Pencabulan, merupakan salah satu bentuk kejahatan yang nyata terjadi di dalam masyarakat. Oleh karenanya tindak kejahatan pencabulan, ancaman/intimidasi secara seksual dan penghukuman secara seksual perlu dimasukkan dalam RUU Kekerasan seksual.
“Koalisi Perempuan Indonesia berharap DPR membuka akses yang seluas-luasnya kepada publik untuk mengikuti setiap proses pembahasan RUU tersebut, selain terbuka terhadap berbagai masukan substantive yang diusulkan para pemangku kepentingan. Koalisi Perempuan Indonesia akan tetap konsisten melakukan pengawalan, agar proses perumusan dan substansi kebijakan telah inklusif gender dan sosial. Sehingga target Indonesia untuk mendapatkan 16 kebijakan yang responsif gender di akhir tahun 2019 dapat terpenuhi,” Kata Dian Kartikasari.