Setiap tahun pada 25 November- 10 Desember, Indonesia memperingati
16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. Ini sebagai bagian dari
kampanye internasional menolak kekerasan terhadap perempuan di seluruh
dunia. 16 hari ini sebagai penanda masih banyak terjadinya kekerasan
yang menimpa perempuan. www.konde.co menjadi bagian dari kampanye
jaringan masyarakat sipil dan Komnas Perempuan #GerakBersama dan 16
FilmFestival. Dalam waktu 16 hari ini, kami akan menuliskan berbagai
persoalan, ide dan perlawanan perempuan terhadap kekerasan. Selamat
membaca.
*Kukuh Giaji – www.Konde.co
Kekerasan tidak melulu menyoal fisik saja, namun juga psikis yang sulit dideteksi karena korban seringkali tidak menyadari hak-hak yang dimilikinya telah direnggut secara paksa atas dalil romantisme belaka.
Manipulasi ini dilakukan manusia melalui sistem yang erat dengan relasi kekuasaan yang dapat memenjarakan pikiran dan tubuh kita dalam bertindak demi tuntutan norma dan budaya.
Hal ini dapat kita temukan dalam film pendek “Maryam” (2014) karya Sidi Saleh beserta film dokumenter “hUSh” (2016) karya Djenar Maesa Ayu dan Kan Lume yang diputar dalam agenda Enam Belas Film Festival di Art Society, kawasan Kemang Raya, Jakarta Selatan, Selasa (28/11) malam.
Maryam dan hUSh memiliki perbedaan dalam bernarasi walau jelas keduanya sama-sama berbicara dalam konteks relasi kekuasaan.
Ketika Harkat Bertarif Iman Pun Mampu Diusik
Maryam atau biasa dipanggil Yam adalah seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT). Pada hari natal, ia mesti menjaga Tuan, yaitu pria dengan down syndrom yang memaksanya ke gereja untuk menghadiri perayaan Misa bersama. Ia tak kuasa menolak keinginan sang Tuan walau batin meronta karena diusik keimanannya.
Ditambah Nyonya meminta untuk tidak menghubunginya selama pergi liburan. Dari sini kita mulai menyelami bagaimana Maryam sebagai sosok yang mesti tunduk pada orang yang menempati kelas di atasnya, yakni Tuan dan Nyonya.
Posisi Yam sebagai PRT mempertunjukkan kelas ekonomi bawah menengah yang mau tak mau demi menghidupi kebutuhan sehari-hari harus mampu untuk menemani Tuan ke gereja. Detail-detail penting dihadirkan, seperti bagaimana sudut pandang kamera Point of View (POV), seakan-akan Yam tengah menyelundup atau bisa jadi merupakan mata dari pandangan orang-orang yang melihat keanehan perempuan muslim masuk ke gereja. Maka adegan selanjutnya lebih sulit untuk dimaknai ketimbang mempersoalkan perubahan model jilbab Yam.
Karena itu bila hanya membincangkan eksistensi strata sosial dalam Maryam tentu mustahil mengingat narasi yang disampaikan Sidi Saleh sangat pelik untuk disederhanakan. Bisa jadi, relasi kekuasaan yang ada malah berasal dari agama yang seolah-olah menyudutkan Maryam si empunya nama yang erat dengan tokoh di agama-agama samawi, seperti Islam dan Kristen.
Maka gagasan yang paling dekat adalah: Apakah Maryam berbicara bagaimana personalitas orang seringkali dilihat berdasar pada agama? Pertanyaan ini hadir tatkala Yam tidak hanya mengubah model jilbabnya saja namun juga menangis di hadapan Bunda Maria. Apakah ini representasi Yam sebagai hasil konstruksi dalam Islam maupun Kristen?
Bukti lain hadir saat Tuan mempertanyakan mengapa Yam masih saja bekerja padahal sedang mengandung. Keterhimpitan ekonomi selalu menjadi faktor utama, bahkan Yam mengakui janin yang dikandungnya tidak memiliki ayah. Seakan menjadi pernyataan bahwa bisa jadi ia adalah Maryam, wanita yang hamil tanpa laki-laki karena tengah mengandung anak yang suci dari pemberian Tuhan – yang lagi-lagi kisah ini dapat kita temukan, baik di Al Quran maupun Al Kitab.
Maryam sama halnya dengan film-film lainnya bebas untuk direpresentasikan sesuka hati oleh sang penonton. Sidi Saleh pun tampaknya memang ingin mempersilahkan kita selaku penonton untuk memaknai film pendeknya secara bebas berdasarkan pengalaman masing-masing. Sepertinya tidak pas juga bila melihat Maryam dari sudut pandang teologis saja, karena film pendek ini lebih berbicara soal antara yang berkuasa dan tidak berkuasa, entah itu diakibatkan sistem sosial ataupun konstruksi agama.
Film “hUsh,” Tentang Tubuh Perempuan
hUSh berusaha mendobrak sistem patriarki melalui perempuan bernama Cinta Ramlan (diperankan Cinta Ramlan) yang menyampaikan kegelisahannya mengenai kesenjangan antar gender, dimana korban selalu saja perempuan.
Cinta berusaha mengajak berdiskusi bagaimana perempuan kerap kali dipandang rendah bila menyukai hal-hal bersifat cabul padahal semua orang menyukai seks. Lelaki yang berhasil memperawani pacarnya dianggap sebagai simbol maskulinitas sementara perempuan yang tidak lagi perawan dianggap perempuan murahan.
Memang agak sulit bagi saya untuk tidak mengkaitkan bagaimana hubungan hUSh dengan kumpulan cerita pendek Djenar yang juga sutradara di film mokumenter ini. Saya sudah membaca semua buku-buku Djenar, maka tak bisa dipersalahkan bila sepanjang menonton hUSh saya langsung teringat oleh satu paragraf dalam kumpulan cerita pendek Djenar berjudul Jangan Main-Main dengan Kelaminmu di kisah Saya di Mata Sebagian Orang dari sudut pandang ‘saya’ berjenis kelamin perempuan:
“Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan!’
hUSh jelas tidak berdasarkan pada kisah pendek ini namun ada satu kesamaan yang pasti: narasi hanya dari satu sudut pandang perempuan yang berusaha berbicara terbuka mengenai gagasan-gagasan dalam pikirannya yang selama ini dibungkam masyarakat atas nama moralitas.
Gagasan ini tidak hanya menyoal terbelenggunya pikiran perempuan saja namun lebih jauh lagi ketika pembicaraan masa lalu Cinta yang dilecehkan oleh salah satu anggota keluarganya sejak belia. Terpapar dengan jelas bagaimana pelaku mengambil hati Cinta, sampai merasa nyaman dan tak merasa ada yang salah ketika mereka bermain asmara di ranjang: semua karena ketidaktahuan Cinta soal seks.
Dan dengan tegas pun ia bertutur: Ini bukan perkosaan tapi pelecehan. Sampai akhirnya Ia menyadari apa yang dilakukannya merupakan aktivitas seksual di bawah alam sadar yang semu, menuntunnya kepada perasaan bersalah berkepanjangan lantas menghakimi dirinya sendiri.
Bukan sekali Djenar bermain-main dengan kisah seperti ini, sebelumnya dalam cerita pendek Menyusu Ayah (karya yang menghantarkannya sebagai penulis fenomenal), Ia menceritakan tokoh fiksi Nayla yang rindu menyusu penis ayahnya, sebagai bukti dirinya telah diperdaya dan dilecehkan sang ayah bahkan sejak balita.
Kekayaan cerita hUSh tidak berhenti disini karena Cinta menyentil negara yang tunduk atas kepercayaan tertentu dimana perempuan Bali dilarang bertelanjang dada sehari-hari karena tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Masalahnya budaya Indonesia itu budaya milik siapa? hUSh pada akhirnya tidak berusaha mendikte atau membenarkan segala macam perilaku Cinta, dia hanya berusaha jujur dan mendengarkan tanpa perlu mengadili si pencerita – karena itu lah yang dibutuhkan oleh para penyintas kekerasan seksual. Didengarkan. Didengarkan. Didengarkan. Didengarkan.
Sampai Kapan Kita Kalah?
Ada catatan penting yang dapat saya simpulkan selepas menonton dua film ini, yaitu belum ada kehadiran instansi pendidikan mengenai pentingnya pendidikan seksual kepada Anak. Seks dianggap tabu bahkan begitu ditakutkan semacam momok yang mengancam moralitas anak. Padahal seks tidak selalu berkutat nafsu birahi saja. Selain itu kekerasan juga dapat hadir dalam beragam bentuk, seperti kasus Maryam.
Sampai kapan kita akan terus kalah oleh sistem? Sampai kapan kita terus membungkam kisah kita? Sampai kapan kita tunduk pada yang berkuasa? Kapan akhirnya kita benar-benar merdeka untuk menjadi diri sendiri?
Kapan?
#EnamBelasFFest hadir dalam rangka #GerakBersama untuk mengkampanyekan penghapusan kekerasan seksual termasuk mendorong negara agar hadir di tengah-tengah masyarakat.
Masih ada pemutaran-pemutaran hingga tanggal 10 Desember 2017, sila disaksikan pemutaran film dalam festival ini karena ini adalah salah satu bentuk kecil dari upaya kita mengkampanyekan penghapusan kekerasan seksual.
(film pendek “Maryam” (2014) karya Sidi Saleh beserta film dokumenter “hUSh” (2016) karya Djenar Maesa Ayu dan Kan Lume)
*Kukuh Giaji, Volunteer Penulis #enambelasffest