Ratu-Ratu Nusantara, Buktikan Kiprah Perempuan di Ruang Publik Bukan Mitos

Catatan sejarah menunjukkan banyak raja perempuan (ratu) yang kepemimpinannya berpengaruh. Sebuah kemunduran, jika saat ini masih ada anggapan bahkan pembatasan kesempatan: perempuan semestinya sebatas di ranah domestik dan tak layak terjun ke ranah publik.

Apa yang terlintas di benakmu saat bicara soal perempuan dan kedudukannya dalam budaya Jawa? 

Adakah dari kamu ada yang langsung terpikir pepatah dalam budaya Jawa bahwa perempuan itu perannya untuk macak, manak dan masak? Pepatah ini menegaskan tugas perempuan itu sebatas di ranah domestik meliputi berhias diri, melahirkan dan memasak. 

Jika iya, kamu perlu melihat lagi sejarah kepemimpinan perempuan di masa kerajaan jawa kuno. Banyak raja-raja perempuan (ratu) yang punya peran kepemimpinan di ruang publik dan membangun kerajaan. Termasuk kerajaan pada masa Jawa Kuno. Era ini terhitung sejak abad ke-7 hingga ke-15 Masehi. 

Catatan sejarah yang bersumber pada berita dari negeri Cina (Dinasti Tang) mengungkapkan, jauh pada periode Indonesia kuno, kerajaan jawa kuno ‘Holing (Kalingga)’ sudah diperintah oleh seorang raja perempuan bernama Ratu Shima. Pada masanya, Ia bisa membuat kerajaan Kalingga jadi kerajaan terkuat di tanah Jawa yang menjunjung tinggi hukum. 

Muncul kemudian sosok-sosok perempuan seperti Pramodawardhani, Gayatri Rajapatni, Tribuwanatunggadewi, hingga Ratu Suhita. Selain mereka yang menduduki puncak kepemimpinan di kerajaan, banyak pula para perempuan yang melakukan aktivitas di ruang publik lainnya seperti berniaga, bertani, hingga berkegiatan di dunia seni dan budaya.

Baca Juga: Catatan Sejarah Tentang Kiprah Perempuan Minim, Feminisme Dobrak Situasi Itu

Tidak adanya perbedaan hak waris, turut membuat laki-laki maupun perempuan dapat mengisi jabatan publik asalkan mengikuti ketentuan. Memang ada aturan tertentu yang harus diikuti dalam hal ini, misalnya untuk menduduki posisi putra atau putri mahkota harus anak pertama dari permaisuri. Di satu sisi, permaisuri bisa menjadi pemimpin menggantikan suaminya yang meninggal. Namun, relatif tidak ada keraguan pada masa itu untuk menerima seorang perempuan sebagai pemimpin.

Merujuk data prasasti yang ditemukan, baik laki-laki maupun perempuan banyak menduduki jabatan pemerintahan sebagaimana dijumpai dalam prasasti Wulig (935 M), Rakryan Mangibil, istri Mpu Sindok, meresmikan bendungan. Hal ini menunjukkan peran istri dalam kerajaan ternyata juga diberi tugas untuk mengurus proyek-proyek kerajaan yang penting. 

Selain prasasti, bukti sejarah lainnya seperti dokumen, candi, dan peninggalan sejarah lainnya menunjukkan bahwa Ratu-Ratu Nusantara pada jaman kerajaan bukanlah tokoh fiksi atau dongeng belaka. Beberapa di antaranya seperti: 

Ratu Shima

Ratu Shima yang setelah naik tahta menjadi Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara tidak langsung terlahir menjadi Ratu Kerajaan Kalingga. Ia mewarisi tahta kerajaan dari suaminya Raja Kartikeyasingha setelah suaminya meninggal. Dalam masa kepemimpinannya ia dikenal sebagai Ratu yang tegas, jujur, dan adil. 

Bukti majunya kerajaan Kalingga, pada saat itu Kalingga memiliki pelabuhan yang besar di Pekalongan, dan memiliki relasi perdagangan yang baik dengan Kekaisaran Cina, dan Turki. 

Ratu Shima juga beraliansi dengan Kerajaan Sunda dan Galuh sebagai strategi politiknya. Tidak banyak bukti-bukti sejarah dari kepemimpinan Ratu Shima, namun kisahnya yang terkenal adalah tentang prinsip kejujurannya yang diketahui memeluk agama Hindu. 

Ada hukum bagi setiap orang di Kerajaan Kalingga untuk tidak menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Tidak main-main, hukumannya adalah hukuman mati. Hal itu sampai terdengar oleh raja Ta-che (Arab), ia penasaran lalu disuruhnya orang meletakkan pundi-pundi berisi dinar di suatu jalan Kalingga. Masyarakat yang berjalan di situ melalui saja kantong itu, sampai tiga tahun lamanya. 

Baca Juga: Mengenal Batari Hyang Janapati, Ratu dan Panglima Perang Kerajaan Galunggung

Pada suatu hari, putra mahkota anak Ratu Shima berjalan-jalan dan kakinya secara tidak sengaja menyentuh pundi-pundi itu. Ratu Shima yang mendengar laporan itu dengan berat hati memerintahkan agar anaknya itu dihukum mati. Akan tetapi atas permohonan ampun untuk putra mahkota dari para pembesar kerajaan, hukuman itu dibatalkan, Shima pun memutuskan hukuman kakinya tetap dipotong karena kaki itu telah bersalah. Hal itu sekaligus menjadi contoh bagi rakyat Kalingga. 

Setelah mendengar hal itu, raja Ta-che menjadi hormat kepada Ratu Shima. Sikap tegas itu sangat jauh dari anggapan yang dituduhkan masa kini bahwa perempuan diragukan menjadi pemimpin karena sisi emosionalnya. Shima yang seorang ibu bisa saja mengabaikan hukum yang dibuatnya sendiri karena putranya kandungnya yang melanggar, namun hukum tetap berjalan.

Prinsip tegas Ratu Shima ini menunjukkan bahwa kepemimpinan sebuah negara di bawah kendali seorang perempuan tidak berarti akan mendorong pada kemunduran dan kegagalan. Selain kesuksesan perekonomian akibat dari lalu lintas perdagangan negara-negara lain, Shima dengan hukumnya yang tidak pandang bulu, berhasil menunjukkan jaminan hukum di Kalingga sehingga mendapat kepercayaan dari rakyatnya. Bisa dikatakan tidak ada istilah koruptor pada masa itu karena pencurian akan langsung diganjar hukuman mati. 

Perolehan tahta Shima selama 21 tahun sebab dari menggantikan suaminya yang meninggal pun tidak mendapat protes dan keberatan dari rakyat pada masa itu. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa saat itu sebenarnya sudah memberikan ruang yang besar pada perempuan untuk urusan kenegaraan.

Tribhuwana Tunggadewi

Rani Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah pada tahun 1328-1351. Tribhuwana Wijayatunggadewi yang dinobatkan sebagai raja Majapahit (saat itu raja adalah panggilan untuk pemimpin apapun jenis kelaminnya) bergelar Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani (Prasasti Singasari dan Piagam Berumbung, 1351) atas perintah Gayatri ibunya yang seharusnya menggantikan Jayanegara, namun Gayatri menolak bertahta karena memutuskan menjadi biksuni dan menyerahkan tahta itu kepada putrinya. 

Gayatri sendiri adalah perempuan hebat yang mengusung gagasan menyatukan Nusantara jauh sebelum sumpah palapa oleh Patih Gajah Mada. Hal inilah yang diteruskan oleh Tribhuana. 3 tahun kemudian setelah menjadi raja, Tribhuana memimpin perang untuk menaklukkan Sadeng dan Keta, dan berita penaklukan itu menyebar dengan luas karena Keta adalah pelabuhan yang besar. 

12 tahun kemudian Tribhuana menaklukkan Bali dan Lombok yang dipimpin oleh Gajah Mada. Kejadian yang terkenal masa Tribhuwana Tunggadewi yaitu pelaksanaan Sumpah Palapa yang dilakukan oleh Gajah Mada.  Tribhuwana Tunggadewi diperkirakan turun tahta tahun 1351 yang kemudian diteruskan oleh putranya yaitu Hayam Wuruk. Dari pemerintahan Tribhuana Tunggadewi, seorang perempuan, Majapahit mencapai masa kegemilangannya dengan bukti daerah kekuasaan yang besar.

Ratu Kalinyamat

Orang Portugis memiliki ungkapan yang tertulis dalam dokumen berjudul Decadas da Asia yang ditulis oleh Diogo do Couto “Rainha de Japara, senhora poderosa e rica” yang berarti Ratu Jepara, seorang perempuan kaya raya dan berkuasa. Siapakah Ratu Jepara yang dimaksud? Ia adalah Ratu Kalinyamat yang memerintah kesultanan Kalinyamat, Jepara antara tahun 1549-1579, seorang anak dari Sultan Trenggana, Raja Demak III, dengan nama asli Retno Kencono. 

Nama Kalinyamat tersebut diduga memiliki kaitan dengan nama tempat tinggalnya, yaitu Kalinyamat, suatu daerah di dekat Jepara, yang sampai sekarang masih ada. Dalam tradisi Jawa, nama seorang penguasa daerah sering diambil dari nama daerah yang dipimpinnya atau tempat tinggalnya. Retno Kencono kemudian menikah dengan Pangeran Hadiri seorang Sultan dari Aceh, namun kemudian Pangeran Hadiri dibunuh oleh Arya Penangsang akibat konflik kekuasaan. 

Setelah kematian suaminya, Ratu Kalinyamat memimpin sendiri Jepara. Ratu Kalinyamat popularitasnya jauh lebih menonjol jika dibandingkan dengan Pangeran Hadiri, suaminya. Di bawah pemerintahan Ratu Kalinyamat, strategi pengembangan Jepara lebih diarahkan pada penguatan sektor perdagangan dan angkatan laut. 

Pedagang-pedagang  dari  kota-kota  pelabuhan  di  Jawa  seperti  Banten, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, dan juga Jepara menjalin hubungan dengan pasar internasional  Malaka. Dari Jepara para pedagang mendatangi Bali, Maluku, Makassar, dan Banjarmasin dengan barang-barang hasil produksi daerahnya  masing- masing. Dari  pelabuhan-pelabuhan  di Jawa diekspor beras ke daerah  Maluku  dan  sebaliknya  dari  Maluku  diekspor  rempah- rempah untuk kemudian diperdagangkan lagi. Bersama dengan Demak,  Tegal,  dan Semarang, Jepara merupakan daerah ekspor beras (Armando Cortesao, 1967: 188).

Baca Juga: Ratu Kalinyamat, Perempuan yang Dinobatkan Jadi Pahlawan Nasional 2023

Perdagangan Jepara dengan seberang lautan semakin ramai. Bahkan Jepara memiliki industri galangan kapal atau pembuatan kapal dengan menyerap banyak tenaga kerja. Ratu Kalinyamat merupakan pemimpin yang paling menonjol di pantai utara Jawa. Selama tiga tahun di bawah kekuasaan Ratu Kalinyamat, armada jepara sangat kuat.

Pada tahun 1550, Ratu Kalinyamat menerima surat permohonan bantuan dari raja Johor yang sedang terancam oleh serangan Portugis di Malaka. Ratu Kalinyamat menyetujui permohonan tersebut dan mengirimkan armada laut yang tangguh. Ia mengirim 40 kapal perang yang mengangkut 4000 prajurit bersenjata. Namun pertempuran pertama ini Jepara kalah dan kehilangan 2000 prajuritnya. 

Ratu Kalinyamat tidak ciut nyalinya. Tahun 1573 Ratu Kalinyamat kembali mendapat permohonan dari Sultan Aceh Sultan Ali Riayat Syah untuk menggempur Malaka. Namun sayang pertempuran kali ini juga mengalami kekalahan, armada Jepara harus bergerak mundur dan menderita banyak korban.

Kedua ekspedisi perang tadi menunjukkan bahwa Ratu Kalinyamat adalah seorang pemimpin yang besar. Keberaniannya menentang kekuasaan Portugis serta kemampuan membentuk dan pengiriman armada perang merupakan wujud kebesaran dan kekayaan Ratu Kalinyamat, sekaligus simbol sikap patriotik dan nasionalismenya yang tinggi, sehingga pantaslah bila Ratu Kalinyamat dianugerahi gelar pahlawan nasional. 

Jiwa Kepemimpinan Perempuan Warisan Kerajaan Nusantara

Keberadaan Ratu-Ratu Nusantara tadi semestinya menjadi contoh bahwa perempuan Indonesia telah memiliki jiwa kepemimpinan dari bukti sejarah yang pertama ditemukan di Jawa yaitu Ratu Shima, bahkan mungkin jauh sebelum Ratu Shima, Indonesia telah dipimpin oleh perempuan lainnya. 

Tak hanya di Jawa, ada ratu-ratu nusantara lainnya yang membawa pengaruh besar dalam kepemimpinannya. Ia misalnya, Sultanah Nahrasiyah yang menjadi perempuan pertama yang menjadi raja di Aceh tepatnya di Samudra Pasai. Menggantikan ayahnya yang bernama Malikussaleh, Sultanah Nahrasiyah membawa banyak perkembangan di kerajaan Islam itu. Mulai dari meningkatkan laju perdagangan, kesejahteraan rakyat sampai memperjuangkan hak-hak perempuan. 

Selain itu, ada pula Sultanah Safiatuddin yang juga pemimpin kerajaan Aceh. Pada masanya, Ia berhasil membawa perkembangan pesat di Kerajaan Aceh yang disebut zaman keemasan Islam dan Melayu. Dia juga ahli dalam taktik diplomasi, alih-alih menggunakan perang dan militer untuk ekspansi kerajaan. Ia juga dikenal pandai dalam membangun aliansi-aliansi dengan wilayah lain hingga mampu melindungi kerajaannya dari gempuran penjajah Eropa.  

Meskipun para pemimpin perempuan ini memperoleh tahta dari ikatan keluarga, namun mereka dapat membuktikan kegemilangan wilayah yang dipimpinnya. Baik dari hukum, politik, hingga perekonomian.

Baca Juga: Mengkaji Ulang Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia

Di konteks hari ini, kepemimpinan perempuan perlu terus didorong. Ini bisa diupayakan dengan memberikan pemerataan akses pendidikan dan kesempatan berbasiskan kapasitas dan keterampilan (meritokrasi) kepada lebih banyak perempuan. Tak hanya secara kuota minimal, tapi juga kualitasnya. 

Domestikasi peran perempuan warisan orde baru sudah harus dikikis habis. Sehingga, tidak adanya gap kekuasaan antara laki-laki dan perempuan karena intervensi oleh negara dengan menguatkan peran perempuan untuk fungsi domestik saja. Itu bisa dilihat juga, saat itu banyak keluarga yang memilih menyekolahkan anak laki-laki daripada anak perempuan, sedangkan harapan keluarga untuk anak perempuan adalah menikah. 

Di satu sisi, perlu juga kita dalam bermasyarakat untuk memperkuat keadilan gender. Sebab peran gender yang tidak adil memberi banyak tekanan pada perempuan saat mereka tumbuh dan berfungsi sebagai pemimpin dalam masyarakat. 

Riantoputra (2013) melakukan penelitian terhadap 303 pemimpin perempuan di 3 provinsi Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan, pemimpin perempuan cenderung percaya diri dengan kepemimpinannya dan menganggap bahwa mereka mampu mengelola tantangan mereka jika dibesarkan dalam masyarakat yang memperlakukan perempuan dan laki-laki secara setara.

Referensi:

Departemen Pendidikan Nasional, 2000, Peranan Ratu Kalinyamat Di Jepara Abad XVI

Prof. Dr. Inajati Andrisijanti, 2014. Majapahit Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota

Yonjoo Cho, Rajashi Gosh, Judy Y. Sun, Gary Mc Lean, 2017, Current Perspective On Asian Women In Leadership: A Cross-Cultural Analysis

(Editor: Nurul Nur Azizah)

(Sumber Gambar: Bima Kota)

Ika Ariyani

Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!