Film Masih Ada Asa dan Film Buang: Lingkaran Setan Kekerasan Seksual

Setiap tahun pada 25 November- 10 Desember, Indonesia memperingati
16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. Ini sebagai bagian dari
kampanye internasional menolak kekerasan terhadap perempuan di seluruh
dunia. 16 hari ini sebagai penanda masih banyak terjadinya kekerasan
yang menimpa perempuan. www.konde.co menjadi bagian dari kampanye
jaringan masyarakat sipil dan Komnas Perempuan #GerakBersama dan 16
FilmFestival. Dalam waktu 16 hari ini, kami akan menuliskan berbagai
persoalan, ide dan perlawanan perempuan terhadap kekerasan. Selamat
membaca.



*Kukuh Giaji- www.Konde.co

Pemutaran 16 film pendek dan panjang dalam agenda EnamBelas Film Festival akhirnya diputar pertama kali di Kineforum, kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (27/11) malam.

Untuk kali pertama agenda yang direncanakan tahunan ini menayangkan film pendek “Buang” (2013) karya Andri Cung dan William Chandra beserta film dokumenter “Masih Ada Asa” (2015) karya Yuda Kurniawan.

Lini Zurlia, selaku Festival Manajer menemani penonton berdiskusi setelah pemutaran film berakhir. Beberapa pertanyaan dan komentar terjawab sementara lainnya masih menjadi misteri dan pertanyaan bagi sutradara film. Antusiasme peserta menunjukkan seberapa penting isu kekerasan seksual berbasis gender ini mesti terus dibicarakan karena kondisinya yang berada dalam level gawat darurat.

Film “Buang”, Lingkaran Setan Perdagangan Perempuan dan Anak

Andri Cung dan William Chandra, sebagai sutradara Buang (2013) sah-sah saja membuat alur maju-mundur agar penonton dibuat penasaran apa yang tengah dinanti Mbak Mar (yang diperankan oleh Atiqah Hasiholan) bersama Rasyid dan Suster Marissa (diperankan oleh Ratna Sarumpaet) di pesisir laut dengan latar waktu bulan puasa, tepatnya 5 September 2011. Walau jelas, ketika adegan bergulir nyaris satu tahun silam, penonton mulai menerka-nerka:

Apakah Siti yang mereka tunggu kehadirannya?

Siti, bocah perempuan 14 tahun yang putus sekolah itu diiming-imingi oleh teman almarhum bapaknya untuk mengadu nasib menjadi tenaga kerja di luar negeri. Namun, harapan dan cita-citanya pupus sudah ketika Ia menjadi korban perdagangan manusia dan menjadi korban tindak kekerasan seksual. Di usia yang begitu belia, Ia dihadapi kenyataan pahit untuk menghadapi laki-laki pelaku kejahatan seksual bahkan akhirnya dibuang ke Jakarta ketika dianggap tak layak pakai lagi.

Buang (atau dalam bahasa inggris The Disposal) merupakan film pendek berdasarkan hasil riset karenanya apa yang disajikan begitu terasa personal dan mampu memanfaatkan ruang selama 25 menit begitu efektif. Film pendek ini berbicara mengenai fakta perdagangan manusia dapat dimulai dari orang terdekat kita, bahkan keluarga sekalipun.

Tokoh Sulton yang diperankan Surya Saputra kerap kali mengulang-ulang betapa dekat dirinya dengan almarhum ayah Siti bahkan kerelaaannya meminjamkan sejumlah uang kepada Uti (Ibu Siti). Tetapi Sulton tidak hanya bermain-main dengan kemanisan saja nyatanya dia memberikan gertakan kepada Uti, banyak utang yang ditanggung belum termasuk bunga yang harus dibayarkannya. Uti meragu sementara Siti terlena dengan janji-jani manis Sulton. Kemiskinan dan keterbatasan pilihan selalu menjadi faktor utama alasan seseorang percaya untuk memilih jalan hidup sebagai pekerja di luar negeri.

Buang tidak main-main dalam merepresentasikan isu perdagangan manusia serta tidak menyederhanakan logika bagaimana lingkaran setan ini tetap terus berlanjut hingga sekarang. Sutradara berani menyuguhkan adegan pemerkosaan yang dilakukan laki-laki dewasa kepada Siti secara dimana ini menjadi gambaran fakta yang ada. Dampaknya: Penonton dibuat gelisah dan geram, mengapa bisa hal ini terus terjadi dan seolah dibiarkan begitu saja oleh masyarakat kita?.

Memang akan sungguh rumit untuk mengupas kronologis bagaimana perdagangan manusia dapat terjadi apalagi dalam medium film pendek, alih-alih merumitkan atau sekedar memberikan pesan moral belaka, Buang justru terasa sebaliknya. Hal yang jelas adalah gagasan bahwasanya kasus ini dapat dimulai dan diakhiri oleh orang yang sama – dalam artian mereka yang kita anggap terpercaya bisa jadi tersangka utama.

Mbak Mar, Rasyid, dan Suster Marissa pada akhirnya menjadi tokoh yang tidak memahami bagaimana mengakhiri tragedi yang tak berkesudahan ini diakibatkan keterbatasan-keterbatasan yang mereka miliki, dapat dilihat ketiga tokoh ini sebagai perwakilan dari Lembaga Sosial Masyarakat, Mahasiswa dan Instansi Agama. Bisa jadi Buang sebenarnya sentilan kepada negara yang masih belum menunjukkan bukti nyata untuk memerangi masalah ini.

Film “Masih Ada Asa”, Kisah Hidup Perempuan Korban

Masih Ada Asa (2015) sebuah film dokumenter berdurasi 85 menit menceritakan kisah dari dua sudut pandang penyintas. Pertama, Ati, perempuan muslim yang tinggal di Kabupaten Sikka, Ngolo, Flores. Ati mengisahkan ketika dirinya menjadi korban pemerkosaan oleh anggota DPRD. Lalu, Ros, perempuan nasrani yang hijrah ke Ibu kota untuk mencari kehidupan lebih baik setelah menjadi korban pemerkosaan oleh 11 orang. Ati dan Ros hanyalah segelintir dari ribuan perempuan penyintas kekerasan seksual yang berasal dari Maumere, Flores.

Yuda Kurniawan, selaku sutradara berusaha mengungkapkan bagaimana realita keji ini dapat terjadi dari dua sudut pandang perempuan, berbeda agama dengan satu tujuan: berjuang melanjutkan hidupnya kembali tanpa melupakan gelombang masa lalu yang pernah menerkam mereka.

Tanpa disertai narasi karena tidak ingin mengintervensi kisah mereka berdua, Yuda menghadirkan secara jujur dan lugas agar penonton dapat mengambil kesimpulan sendiri setelah menonton.

Sungguh sulit untuk menceritakan pengalaman menonton Masih Ada Asa, selain karena ketegaran keseharian dari kedua penyintas, pelan-pelan film ini juga mampu menusuk batin dan menampar habis-habis penonton: Apa yang sudah saya lakukan saat ini? Pertanyaan ini terus bergeming sebagai bukti kita selaku masyarakat masih belum menyadari betapa mendesak kasus kekerasan terhadap perempuan untuk segera dihentikan.

Ada beberapa catatan penting yang dapat diambil dari Masih Ada Asa. Pertama, Tindak kekerasan seksual dapat terjadi tanpa peduli busana apa yang dikenakan. Ati berpakaian serba tertutup bahkan berhijab namun dirinya tidak lepas dari mangsa predator yang tak punya akal.

Kedua, penyintas menerima tindakan yang sama dari ibu mereka, yaitu ditampar ketika mendapati mereka telah diperkosa. Anaknya menjadi korban tapi anaknya juga yang disalahkan, dianggap memberikan aib pada keluarga.

Ketiga, akhir kasus yang berbeda dimana Ati tidak mendapatkan keadilan bagi dirinya, karena sang pelaku memiliki kuasa yang lebih tinggi yakni seorang anggota dewan perwakilan rakyat di kota Maumere dan memiliki kekebalan hukum sementara Ros menerima keadilan dengan pelaku dijerat hukuman 3 tahun penjara walau harus menerima ancaman serta iming-iming harta untuk menghentikan kasusnya.

Terakhir, keberadaan lembaga Tim Relawan Untuk Kemanusian-Flores (TRUK-F) sebagai pendamping penyintas dari perlindungan hingga penanganan kasus sejak 1997 menjadi rumah sekaligus bagian dari kehidupan Ati & Ros dalam melanjutkan kehidupan.

Peran keluarga dan lembaga sosial menjadi penting disini untuk membantu penyintas dalam menghadapi masa trauma serta mendapatkan keadilan. Tanpa dukungan, banyak kisah para penyintas yang berakhir tak lebih dari sekedar angin lalu.

Sudahkah Kita Bergerak Bersama?

Kesimpulan penting dapat diambil dari kedua film yang ditayangkan di Kineforum (27/11), bahwasanya Negara memang belum hadir sungguh-sungguh untuk menghentikan tindakan kekerasan seksual. Negara harus didorong oleh kita semua untuk secara serius menghapus kekerasan seksual. #EnamBelasFFest hadir dalam rangka #GerakBersama untuk mengkampanyekan penghapusan kekerasan seksual termasuk mendorong negara agar hadir di tengah-tengah masyarakat.

Masih ada pemutaran-pemutaran hingga tanggal 10 Desember, sila disaksikan pemutaran film dalam festival ini karena ini adalah salah satu bentuk kecil dari upaya kita mengkampanyekan penghapusan kekerasan seksual.

(Foto: film “Buang” karya Andri Cung dan William Chandra dan film “Masih Ada Asa” karya Yuda Kurniawan)

*Kukuh Giaji, Volunteer Penulis #enambelasffest

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!