*Nico Pongmasangka- www.Konde.co
Ada apa dengan purnama yang datang di pantai? “Purnama di Pesisir” karya Chaiun Nissa adalah sebuah film yang banyak merekam pergulatan batin anak perempuan. Film ini diputar di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 16 Film Festival dalam rangka Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Purnama berarti keindahan bagi sebagian orang. Purnama merupakan salah satu fenomena alam menarik yang memikat hati dan kehadirannya sering kali dinanti-nantikan oleh beragam lapisan masyarakat, terkecuali untuk warga di pesisir pantai.
Bagi masyarakat di pesisir pantai, purnama berarti ancaman. Bulan purnama memberikan kontribusi besar terhadap pasangnya air laut yang menciptakan gelombang ombak besar, kondisi ini mengancam keberadaan masyarakat yang bermukim di sekitar pantai. Keadaan tersebut menyebabkan masyarakat di pesisir pantai bukan termasuk ke dalam golongan penyambut datangnya purnama.
Kisah unik seputar dampak bulan purnama terhadap kondisi masyarakat di sekitar pesisir pantai ini direpresentasikan oleh Chairun Nissa ke dalam film pendek berjudul “Purnama di Pesisir”.
Masyarakat di Kampung Bandar terusik dengan keberadaan rumah Nirma (diperankan oleh Desca Intan Camila), seorang anak perempuan berusia 8 tahun, yang berada di tepi laut. ketika warga sedang bersiap-siap membangun sebuah tanggul penahan ombak untuk mengatasi datangnya air pasang saat purnama dating. Masyarakat menganggap bahwa rumah milik Nirma sebagai penghambat.
Seorang preman (Ence Bagus) yang terlibat dalam pembangunan tanggul tersebut berusaha mencari cara untuk menggusur rumah Nirma. Sang preman menunggu kedatangan ayah Nirma sebelum melaksanakan rencananya tersebut. Ayah Nirma merupakan seorang nelayan dan telah lama tidak terlihat. Nirma menyadari posisinya semakin terhimpit, dia berusaha mati-matian mempertahankan keberadaan rumahnya tersebut sekaligus menutupi informasi tentang ayahnya.
Kisah “Purnama di Pesisir” merupakan bentuk kritik sosial terhadap penggusuran lahan yang terjadi di pesisir pantai. Film ini juga ingin menyampaikan persoalan “kehilangan” yang dialami oleh Nirma. Nirma tidak hanya kehilangan sebuah rumah tempatnya berlindung, tetapi juga seorang anak perempuan yang kehilangan sosok orang tua, serta cinta kasih, dan sang preman bersama warga sekitar yang telah kehilangan rasa kemanusiaannya hingga tega menggusur rumah anak kecil polos tanpa adanya solusi agar Nirma tak luntang-lantung tanpa kejelasan.
Nirma berdiri sendirian ditemani bonekanya, menggambarkan tak seorang pun yang peduli dengan kehilangan yang dialaminya. Hal yang lebih ironis saat satu-satunya orang yang bersedia mengulurkan tangan untuk memberi bantuan kepada Nirma adalah orang yang diffable jiwa, sementara masyarakat justru menutup mata dan telinga demi tercapainya kepentingan masing-masing.
Kehilangan ruang hidup bagi anak, bagi perempuan, adalah kehilangan masa depan. Kehilangan yang diciptakan dan dipaksakan ini merupakan bentuk kekerasan yang lapisannya jarang sekali diperhatikan oleh banyak orang.
*Nico Pongmasangka, volunteer 16 Film Festival