Protes terhadap maskulinitas dan keberpihakan pada perempuan korban inilah yang mereka tuliskan dalam musik. Para musisi laki-laki ini antaralain:
Gabriel Mayo
Intimidasi, tuduhan-tuduhan balik yang menyalahkan dan cenderung menyudutkan korban serta keluarga korban sering dialami, sehingga tidak punya kuasa untuk membela diri. Inilah yang membuat sejumlah band Indie kemudian meluncurkan album, berkampanye atas situasi ini karena mereka tak bisa tinggal diam, memilih untuk bergerak
Yang paling baru, Gabriel Mayo, membuat single ‘Hampir Pagi’ yang dinyanyikannya bersama Dita Permatas. Peluncuran single ini dilakukan pada hari Hak Asasi Manusia/ HAM 10 Desember 2020
Lagu ini berbicara tentang Anti Kekerasan Seksual dan bercerita tentang bagaimana pentingnya pendampingan terhadap para penyintas/korban kekerasan seksual, namun secara umum bisa dimaknai tentang pentingnya kehadiran seorang teman, sahabat atau orang terdekat terutama pada saat-saat berduka atau sedang menghadapi masalah.
Gabriel menuturkan, lagu ini mulai dibuat pada pertengahan tahun ini, dan butuh 2 bulan untuk menyelesaikannya.
“Selanjutnya mulai proses rekaman pada akhir September di Estudio Jakarta, dibantu oleh Estu Pradhana Bramono pada piano yang juga sebagai pemilik Studio. Namun, setelah selesai rekaman, merasa ada yang kurang pada lagu ini. Inginnya simple, 1 alat musik dan vokal aja!.”
Gabriel menambahkan, pada awal November 2020, ide muncul dengan menambahkan vokal perempuan untuk memperkuat lagunya.
“Setelah mencari dan memilih, saya teringat karakter vokal temen lama. Dita Permatas adalah kibordis, akordeonis sekaligus vokalis dari band Tashoora, yang kebetulan bersama bandnya juga sedang menggaungkan kampanye Anti Kekerasan Seksual. Pas!”
Lagu ini motivasinya karena melihat banyak sekali kekerasan / pelecehan seksual yang terjadi di masyarakat, terutama saat era media sosial seperti sekarang ini. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus yang semakin meningkat tiap tahunnya. Terutama, banyak kasus terjadi yang tidak berpihak pada korban.
Yab Sarpote
Musisi Jogjakarta, Yab Sarpote menciptakan lagu “Perempuan Mati di Bawah Jembatan” bagi para korban kekerasan seksual. Lagu dan video yang dibuat mencoba merepresentasikan salah satu respons fisik dan mental perempuan setelah mengalami kekerasan seksual
Lagu ini diilhami oleh sebuah peristiwa perkosaan yang terjadi di sebuah jembatan di Jogja pada tahun 2015.Pada 28 April 2020, lagu berjudul “Perempuan Mati di Bawah Jembatan” yang diciptakannya kemudian dirilis ulang setelah dinyanyikan dalam panggung solidaritas terhadap korban pada 10 Mei 2015 di Jogja

“Lagu ini dinyanyikan pertama kali di panggung solidaritas untuk para perempuan korban dan penyintas kekerasan seksual pada 10 Mei 2015 di Titik Nol Jogja,” kata Yab Sarpote kepada www.konde.co, 28 April 2020
Paralel dengan kejadian perkosaan dan pembunuhan tersebut, video klip lagu “Perempuan Mati di Bawah Jembatan”yang dirilis ulang ini juga mencoba menvisualkan trauma, depresi, gangguan mental, keterasingan, dan tendensi bunuh diri yang dialami oleh perempuan yang jadi korban kekerasan.
“Video ini mencoba merepresentasikan salah satu respons fisik dan mental perempuan setelah mengalami kekerasan seksual,” kata Yab Sarpote.
Lagu “Perempuan Mati di Bawah Jembatan” juga menjadi latar film dokumenter More Than Work (2019) produksi Konde Production/ www.Konde.co bersama Ford Foundation dan Wikimedia Indonesia, sebuah film tentang eksploitasi tubuh perempuan di media
Sisters in Danger
Sisters In Danger merupakan group band Indie yang sudah banyak melakukan kampanye stop kekerasan seksual. Rappler.com menuliskan, Sisters in Danger pernah menyabet penghargaan lagu terpopuler dari UN Women Asia, lembaga persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang peduli pasa isu perempuan, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional yang diperingati pada 8 Maret.

Lagu 16 Oranges milik Sisters In Danger berhasil mencuri 2.500 pasang mata dan telinga di YouTube. Grup ini berisikan JP Millenix (Finalis Indonesia Mencari Bakat), Qoqo, Arnie (SHE), Gede Bagus (Finalis X-Factor Indonesia), Ahmad Landika (Finalis Indonesia’s Got Talent), dan M. Berkah Gamulya (Ketua Perkumpulan Simponi)
SIMPONI
Group Band SIMPONI di rentang waktu 2017- 2019 juga banyak melakukan kampanye melalui pementasan musik untuk menyerukan pada laki-laki agar stop melakukan kekerasan dan perkosaan pada perempuan, mendorong pemerintah dan sekolah untuk memberikan pendidikan seksualitas berkeadilan gender minimal satu jam perminggu di setiap sekolah serta agar cepat disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual/ RUU PKS.

Musik-musik seperti ini merupakan bentuk solidaritas, kepedulian bagi para perempuan, mengingat dulu banyak syair lagu yang diciptakan secara maskulin dalam atribut kulturalnya. Misalnya bagaimana konsep mengenai otonomi karya seni dan kecerdasan seni yang selalu dilihat secara maskulin.
Selain itu sintaksis musik yang juga distereotypekan secara gender, misalnya bagaimana musik kemudian banyak menampilkan tema-tema tentang laki-laki atau tema yang melecehkan perempuan.
(Foto: Koleksi Yab Sarpote, Facebook, Joox/ Magazine.googoo.fm)