Stigma atas Hijab Perempuan di Sosial Media

*Fatimah Suganda- www.Konde.co

Tulisan ini masih seputar hijab dan cerita soal adanya pemaksaan terhadap penggunaan hijab. Jauh sebelum munculnya berbagai berita dan tanggapan para pengguna internet terkait publik figure yang memutuskan untuk melepaskan hijabnya, para perempuan di lingkungan saya banyak yang menjadi sasaran stigma dari masyarakat, yakni dengan masalah yang sama seputar otonomi perempuan atas tubuhnya, misalnya persoalan hijab.

Jika seorang perempuan mengalami stigma dan kekerasan verbal secara langsung karena keputusannya untuk menentukan ekspresi dan otonomi atas tubuhnya, misalnya persoalan hijab baik menggunakan, melepaskan atau tidak menggunakan hijab di lingkungan sosialnya, dengan munculnya media sosial yang digunakan untuk mengekspresikan penolakan dan stigma terhadap keputusan perempuan dalam menentukan ekspresi, simbol dan hal-hak yang berkaitan dengan otonomi tubuh namun bertentangan dengan pendapat dan ideologi umum, dampak tekanan psikologis yang dialami perempuan tersebut akan lebih besar.

Stigma dan tekanan sosial yang selama ini dianggap sebagai kontrol sosial misalnya belenggu terhadap hak-hak atau otonomi perempuan dalam mengatur tubuhnya semakin

besar dampak kekerasannya di era media sosial kini.

Media sosial kemudian menjadi sarana untuk melontarkan stigma dan penghakiman terhadap seorang survivor agar survivor tersebut patuh terhadap nilai dan ideologi yang sesungguhnya bertentangan dengan pilihannya, keinginannya, kebutuhannya, pengalamannya dan hak-haknya.

Pubik figure yang mengalami stigma dan penghakiman oleh pengguna jagad internet di akun media sosialnya karena melepas hijabnya, merupakan salah satu indikator bahwa kebebasan otonomi atas tubuh perempuan masih sulit diperoleh di Indonesia.

Dampak stigma, diskriminasi, prasangka dan ujaran kebencian, baik di dunia sosial keseharian maupun di jagad maya yang berjung pada persekusi langsung maupun persekusi di media sosial berdampak negatif bagi psikologis seseorang yang menjadi sasaran stigma, salah satunya dengan timbunan komentar negatif di akun media sosial pribadinya atau sosoknya menjadi viral karena diberitakan seakan-akan melakukan penyimpangan sosial yang fatal.

Jika kelompok-kelompok sosial ditengah masyarakat masih kerap memanfaatkan persoalan identitas sebagai alat kepentingan, alat pengendali dan alat politik, maka masalah identitas masih akan kerap terjadi. Baik identitas keagamaan berikut atribut dan simbolnya sebagai kontrol sosial misalnya hijab dalam lingkup kehidupan sosial dianggap sebagai simbol harga diri dan kualitas seorang perempuan sehingga perempuan yang tidak menggunakan hijab atau melepaskan hijabnya adalah sebentuk penyimpangan serta sebuah kesalahan besar lalu sah untuk dipersekusi misalnya di jagad maya karena ia seorang public figure atau mendapatkan stigma karena ia seorang perempuan di lingkungan sosialnya.

Begitu pula terkait kebebasan berekspresi menggunakan identitas keagamaan menjadi ternodai akibat sikap dan perilaku oknum yang mengatasnamakan agama untuk kekerasan. Sehingga, orang yang berasal dari penganut atau identitas non-keagamaan tersebut memaknai praktik kelompok kekerasan tersebut adalah praktik dan ideologi yang dimiliki secara general oleh seluruh penganut agama tersebut.

Mengenai persoalan identitas, perempuan sebagai kelompok rentan kerap mengalami kekerasan berlapis. Pertama adalah kekerasan muncul akibat perempuan tidak dilibatkan dalam perumusan definisi, pembentukan nilai dan distribusi norma-norma, baik yang berkaitan dengan identitas keagamaan atau identitas kebudayaan. Perempuan tidak memperoleh hak dan akses langsung terhadap pembentukan norma dan nilai padahal sangat berhubungan erat dengan kebutuhannya, mengakibatkan posisi perempuan terombang-ambing oleh tekanan-tekanan identitas sosial dan kontrol atas tubuhnya.

Hal ini sebagaimana yang dialami oleh perempuan-perempuan di sekitar saya yang berhijab karena tertekan secara psikologis akibat stigma lingkungan masyarakat. Tak terkecuali dampaknya yang secara tidak langsung dialami pula oleh public figure yang dipersekusi di jagad maya oleh masyarakat penguna media sosial karena persoalan otonomi tubuh. 

Kedua, karena akses pembentukan nilai-nilai yang sedari awal tidak melibatkan perempuan, terbukti dengan banyaknya nilai-nilai dan aturan keagamaan yang misoginis, kentalnya budaya patriarki hingga keputusan-keputusan politik yang maskulin, hak-hak perempuan untuk menetukan identitas individual serta otonomi atas pengaturan terhadap tubuhnya kerap di intervensi oleh individu hingga masyarakat yang merasa memiliki otoritas dalam menentukan dan mengontrol tubuh perempuan.

Kontrol tersebut muncul akibat diberikannya hak istimewa kepada individu atau kelompok tertentu yang merasa berwenang dalam menafsirkan, memaknai dan memerintahkan dengan dalih budaya atau keagamaan guna menentukan dan mengontrol kehidupan perempuan. Tentu saja dengan bias gender karena perempuan tidak dilibatkan dalam pembentukan dan penafsiran nilai serta norma. Hal ini rentan terjadi dalam kehidupan rumah tangga tradisional, yakni otoritas suami terhadap istri atau ayah kepada anak-anaknya.

Ketiga, perempuan yang mengenakan atribut keagamaannya rentan mengalami stigma akibat perilaku oknum kelompok atau individu yang melakukan kekerasan atas nama agama. Perempuan yang mengenakan atribut keagamaan tersebut meski tidak terlibat dalam tindakan-tindakan kekerasan, namun dianggap mewakili kelompok keagamaan yang menggunakan maskulinitas untuk kekerasan karena identitas perempuan tersebut dianggap mewakili secara general perilaku-perilaku kekerasan atas nama identitas keagamaan yang ia kenakan. Hal ini dialami oleh muslimah yang mengenakan hijab di negara-negara dimana muslim menjadi minoritas, di tengah meningkatnya kasus-kasus teror atas nama agama Islam.

Perempuan hanya menjadi objek dari interpretasi dan implementasi nilai-nilai serta keputusan-keputusan yang dibuat oleh pihak-pihak yang merasa otoritatif dalam mengendalikan dan mengontrol kehidupan perempuan. Otoritas tersebut eksis dalam pengendalian atas identitas dan tubuh perempuan. Pengendalian tersebut merupakan objektivikasi terhadap tubuh perempuan. 

Namun, kita punya banyak pilihan, yang diantaranya yakni diam dan menjadi bagian dari sikap-sikap yang melakukan objektifikasi terhadap perempuan atau mengambil peran dengan tidak melakukan objektivikasi terhadap perempuan serta membuat langkah-langkah penyadaran terhadap sikap-sikap yang mengobjektivikasi perempuan.

(Foto/Ilustrasi: Pixabay)



*Fatimah Suganda, Duta Community Empowerment for Raising Inclusivity and Trust Trough Technology Application, The Habibie Center. Fatimah dapat dikunjungi dan berdiskusi di website pribadinya di http://fatimahsuganda.web.id/ 

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!