Poedjiati Tan – www.konde.co
Dengan berbekal ilmu kebal, seorang laki-laki kemudian melakukan kejahatan seksual terhadap puluhan anak di Tangerang, Banten. Kira-kira ini berita yang hilir mudik kita baca tentang kekerasan seksual yang dilakukan B (inisial) kepada puluhan anak dalam Minggu pertama, awal Januari 2018 ini.
Namun sejatinya kejahatan seksual yang melibatkan anak-anak sering mendapatkan tanggapan yang berbeda-beda dari nitizen di media sosial. Ada yang menuliskan bahwa laki-laki pelaku merupakan seorang gay dan ada yang mempertanyakan: kemana ibunya, kog tidak menjaga anak-anaknya? Ini adalah sumbu pendek yang selalu ada di setiap kejahatan seksual yang menimpa anak.
Anggapan yang Keliru
Pola pikir yang keliru ini: pertama, meskpun banyak media yang mengatakan bahwa pelaku merupakan seorang pedofil, namun orang tetap punya anggapan bahwa pelaku merupakan bagian dari kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT). Ada banyak komentar dan akhirnya berakhir dengan hujatan terhadap LGBT.
Dari sini saya melihat, ternyata banyak orang yang tidak bisa membedakan soal kejahatan seksual terhadap anak. Mereka hanya melihat sebatas jenis kelamin saja, padahal cara pandang ini kemudian melahirkan stereotype terhadap LGBT.
Pespektif ini sama seperti ketika ada berita penangkapan pada anak yang dilacurkan di tahun 2016 di kawasan Puncak, Jabar. Banyak yang kemudian ramai-ramai menghujatnya sebagai LGBT, meskipun itu jelas-jelas prostitusi anak yang dilakukan oleh pedofil.
Bentuk Eksploitasi Seksual Anak bermacam-macam kejadiannya. Menurut ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking Of Children For Sexual Purposes) Internasional, eksploitase anak bisa terjadi dalam perdagangan anak untuk eksploitasi seksual, ekspolitas seksual anak untuk tourism dan travel, eksploitasi anak lewat online, eksploitasi seksual anak untuk prostitusi, dan juga termasuk eksploitasi seksual anak dalam pernikahan anak.
Problem anak yang dilacurkan bisa dilihat dari dua isu yang berbeda, isu jarak-umur antara korban dan pelaku. Dalam kaitan ini, dan dalam konteks isu hak anak, kadang fokus isu yang digunakan oleh aktivis hak anak agak berbeda dengan yang biasa dipakai oleh aktivis hak perempuan.
Mereka yang mengadvokasikan isu anti kekerasan (atau eksploitasi) seksual terhadap perempuan lebih memfokuskan perhatiannya pada isu perbedaan jenis kelamin antara korban dan pelaku, dengan perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku. Sedang mereka yang mengadvokasikan isu eksploitasi (atau kekerasan) seksual terhadap anak lebih memfokuskan perhatian pada isu perbedaan usia antara korban dan pelaku.
Namun dari sini kita bisa melihat, bahwa untuk melihat perkara seperti ini, kita harus selalu fokus untuk melihat pelaku, bukan justru menyalahkan korban. Selalu lihatlah apa yang telah pelaku.
Praktek Menyalahkan Ibu
Anggapan keliru yang kedua, yaitu ketika ada yang menganggap bahwa setiap ada kekerasan yang menimpa anak, ibulah yang selalu salah. Ibu yang tidak bisa menjaga anaknya, ibu yang tidak perhatian terhadap anaknya. Praktek ini banyak terjadi. Jika ada yang sakit, ibu yang disalahkan. Jika ada anak yang menjadi korban kekerasan, ibu yang juga disalahkan. Stempel ini melekat di dada ibu.
Padahal, tugas menjaga anak bukan saja tugas ibu. Ayah, suami, laki-laki dalam keluarga harus ikut bertanggungjawab untuk menjaga anak-anaknya. Jadi jika terjadi sesuatu pada anak, jangan cepat menyalahkan. Jangan juga timpakan semua kesalahan pada ibu.
Tetap fokus saja dan memandang pelaku sebagai orang yang memainkan ini semua. Fokus pada pelaku, jangan menyalahkan korban, apalagi menyalahkan ibu.
(Foto/Ilustrasi: Pixabay)
Sumber :
The Global Study Report on Sexual Exploitation of Children in Travel and Tourism was written by Angela Hawke and Alison Raphael.
Situasi dan Kondisi Anak yang Dilacurkan di Indonesia Oleh: Mohammad Farid
Konsultasi Nasional tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak
http://jabar.metrotvnews.com/peristiwa/xkEGg55N-dua-ibu-ditangkap-karena-paksa-anaknya-syuting-adegan-porno