Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co – Bagaimana lingkungan kerja anda selama ini? Apakah kita sudah mendapatkan lingkungan kerja yang ramah terhadap perempuan?
Penelitian yang dilakukan Perempuan Mahardhika terhadap para buruh perempuan di Kawasan pabrik Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta di tahun 2017 menemukan bahwa terdapat kekerasan yang menimpa para buruh perempuan di kawasan tersebut. Penelitian ini menemukan fakta bahwa 50% dari mereka menyatakan rasa takut atau rasa khawatir saat mengetahui dirinya hamil, karena lingkungan Kerja yang Tidak Ramah pada Buruh Hamil.
Kehamilan yang Berubah
Ketika hamil, tubuh perempuan berubah. Perubahan tersebut menuntut beragam kebutuhan-kebutuhan khusus yang diperlukan untuk menjaga kesehatan ibu dan bayinya. Dukungan untuk hal tersebut layak datang dari lingkungan terdekat termasuk lingkungan tempatnya bekerja. Alih-alih merasa aman dan nyaman, justru khawatir dan takut yang dirasakan oleh para perempuan hamil yang bekerja. Perasaan yang bisa dibilang “wajar” untuk dirasakan oleh mereka, mengingat perlindungan maternitas di tempat kerja memang belum sepenuhnya didapatkan oleh mayoritas perempuan pekerja.
Bagi buruh hamil, rasa tidak aman muncul tatkala pekerjaan yang menjadi sumber dan daya hidupnya berada dalam ruang ketidakpastian. Tidak pasti keberlangsungan menjalani pekerjaan, atau hasil dari kerja tersebut tidak mampu mencukupi dan menjamin kesejahteraan sang buruh ibu. Semakin tidak aman, tatkala pekerjaan ternyata meningkatkan ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan janin sang buruh.
Kekhawatiran dan ketakutan adalah wujud rasa tidak aman buruh hamil, terhadap hal yang dihadapinya saat ini, ataupun terhadap ketidakpastian akan masa depan sang buruh dan janin yang dikandungnya.
Buruh perempuan yang bekerja pada sektor garmen merupakan salah satu kelompok yang sangat rentan terabaikan hak maternitasnya. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa perempuan adalah ujung tombak atau penggerak utama dalam industri garmen hal ini didukung dengan data menunjukkan bahwa 80% tenaga kerja industri garmen adalah perempuan.
Peneliti dan Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika menyebutkan bahwa banyak faktor yang memunculkan rasa khawatir pada mereka, dan inilah yang mendorong Perempuan Mahardhika untuk melakukan sebuah studi tentang kondisi kerja buruh garmen perempuan terkait dengan masa kehamilannya.
“Penelitian ini melibatkan 118 buruh garmen perempuan (59 orang berstatus kerja tetap, 59 orang berstatus kerja kontrak) dengan spesifikasi 25 orang sedang hamil (13 orang bersatus kerja kontrak) dan 93 pernah hamil untuk periode 2015-2017 masih bekerja di KBN Cakung, Jakarta Utara. Penelitian ini menemukan fakta bahwa 50% dari mereka menyatakan rasa takut atau rasa khawatir saat mengetahui dirinya hamil,” kata Mutiara Ika.
1. Lingkungan Kerja yang Tidak Ramah pada Buruh Hamil
Sebanyak 59 (50%) buruh perempuan yang sedang maupun yang pernah hamil menyatakan takut mengalami keguguran saat bekerja. Buruh hamil selayaknya mendapatkan beberapa kemudahan dan keringanan dalam bekerja, terutama dari aktivitas atau situasi yang bisa berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Namun hasil kajian ini mendapati bahwa sebagian besar (60%) buruh yang sedang dan pernah hamil tidak mendapati adanya perubahan beban kerja sehari-hari, artinya beban dan target kerja adalah sama dengan buruh lain yang tidak hamil.
Kajian ini menemukan tiga (3) fenomena yang secara langsung menyebabkan tingginya tekanan fisik dan psikis buruh hamil, yaitu:
a) Kewajiban Lembur
Lembur idealnya tidak menjadi kewajiban bagi buruh, terlebih buruh hamil. Namun kenyataannya sebagian buruh hamil masih dihadapkan pada kewajiban kerja lembur (25.4%), setidaknya satu jam setelah jam kerja usai.
Dalam iklim kerja berorientasi target, seorang buruh diharuskan menyelesaikan target hariannya, apabila target belum tercapai, maka buruh bersangkutan diharuskan menambah waktu kerja untuk menyelesaikan targetnya, fenomena ini akrab disebut skor (lembur tanpa upah) oleh para buruh. Sistem skor ini tidak mengecualikan para buruh yang hamil.
Fenomena skor ini memuat dua permasalahan sekaligus, pertama, pemaksaan bekerja di luar batas waktu kerja (8 jam) tanpa perhitungan nilai tambah (lembur), kedua, memaksa buruh hamil untuk bekerja berlebihan yang bisa meningkatkan resiko bagi kesehatan dan keselamatan buruh dan janin yang dikandungnya.
b) Keterbatasan Fasilitas
Seorang buruh hamil perlu mendapat perlakuan atau fasilitas khusus yang bisa membantu menjaga kondisi kesehatannya, sekaligus mengatasi kendala-kendala dalam bekerja akibat status kehamilannya. Kenyataannya, buruh garmen yang hamil belum tentu mendapatkan perhatian, apalagi fasilitas yang memudahkan di tempatnya bekerja.
c) Sikap Pengawas
Kebijakan perusahaan dalam memperlakukan buruh hamil, seringkali berbenturan dengan urgensi target yang dibebankan kepada buruh. Dalam konteks buruh garmen KBN Cakung, peran pengawas/chief/supervisor seringkali berbenturan dengan operator yang menjadi mayoritas.
Kajian ini menemukan beberapa operator yang hamil, mengalami hambatan dalam mengakses waktu istirahat ataupun fasilitas (seperti kursi) karena ditolak atau diabaikan oleh pengawasnya. Bahkan keharusan untuk melakukan kerja lembur ataupun skor ditekankan kepada operator melalui mekanisme pengawas/chief/supervisor. Istilah pengawas/chief/supervisor yang “galak, bawel, susah…” jamak digunakan untuk menggambarkan pengawas/chief/supervisor yang abai terhadap kepentingan dan kebutuhan buruh.
Sikap keras dan abai dari beberapa pengawas/chief berdampak pada meningkatnya resiko-resiko seperti; kelelahan fisik, gangguan badan (sendi sakit), bahkan dalam beberapa kasus sampai menyebabkan gangguan yang (mengakibatkan) keguguran.
2. Takut Kehilangan Pekerjaan
Kenyataan bahwa sebagian besar buruh garmen di KBN Cakung berstatus buruh kontrak, berdampak pada tingginya ketidakpastian (dan masa depan) kerja buruh. Bagi para buruh kontrak ini, menjawab pertanyaan tentang masa depan kerjanya di perusahaan (sekarang) adalah hal yang sangat sulit atau bisa dibilang hampir mustahil. Tercatat ada 177 (22.9%) buruh perempuan yang sudah lebih dari 10 tahun bekerja di KBN Cakung, namun tetap saja berstatus kontrak.
Dalam belenggu ketidakjelasan status (kontrak), para buruh ini tentu berupaya segala cara untuk tetap bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan. Kajian ini menemukan adanya fenomena menyembunyikan kehamilan pada sebagian buruh perempuan.
3. Rentan Keguguran
Tingginya beban kerja dan sikap pengawas yang kurang kooperatif ternyata meningkatkan kerawanan pada buruh hamil, sampai bisa menyebabkan keguguran. Hasil kajian mendapati tujuh (7) buruh yang mengalami keguguran saat bekerja dan tiga (3) dari tujuh (7) buruh yang keguguran tidak mendapatkan cuti. Ketiga buruh tersebut berstatus kontrak.
Sesuai ketentuan perundangan, seorang buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan lamanya sesuai dengan surat keterangan kesehatan yang diterbitkan . Kabar baiknya, beberapa perusahaan di KBN Cakung bahkan bersedia memberikan cuti keguguran setara dengan melahirkan, yakni selama tiga (3) bulan. Namun beberapa perusahaan yang lain, memilih untuk mengabaikan hak cuti tersebut.
4. Melahirkan dan Sehat, Bukan Berarti Aman
Hasil kajian ini mendapati adanya 93 buruh perempuan yang pernah melahirkan antara tahun 2015 – 2017 ketika bekerja di wilayah KBN Cakung, dan perusahaan bersangkutan saat ini masih beroperasi.
Dari 86 responden yang melahirkan selamat, sebagian besar (70 orang atau 79.6%) mendapatkan cuti melahirkan dari perusahaan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Sisanya sebanyak sejumlah 20,4% (16 orang) tidak mendapatkan cuti melahirkan.
Walaupun mendapatkan cuti melahirkan sesuai dengan ketentuan undang-undang tetapi belum sepenuhnya menjamin keamanan untuk tetap bekerja jika dikaitkan dengan status kerja karena 86 dari responden 44 orang berstatus kontrak, yang sewaktu-waktu habis dan tidak dilanjutkan.
5. Susahnya Menyusui
Pentingnya ASI eksklusif bagi seorang bayi tentu tidak dapat disangkal lagi, bahkan pemerintah dengan berbagai peraturan menyatakan pentingnya menjamin kesempatan seorang bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif, serta pentingnya melindungi ibu yang menyusui. Dalam penelitian ini kami menemukan fakta:
a. Tidak adanya ijin menyusui. Sebagian besar responden menyatakan tiadanya ijin menyusui dari perusahaan (86%), yang artinya mereka hanya bisa menyusui dengan memanfaatkan waktu istirahat siang.
b. Terbatasnya akses terhadap ruang laktasi. Sebanyak 52,3% buruh perempuan mengetahui keberadaan ruang laktasi di pabriknya dan 47,7% tidak mengetahui keberadaan ruang laktasi di pabriknya. Dari 52,3% yang mengetahui ada sebanyak 23,3% yang menggunakannya.
Mengapa buruh menyususi tidak menggunakan fasilitas ruang laktasi meskipun mereka mengetahui keberadaannya? Ada beberapa alasan yang disampaikan, yaitu:
1. Bayi tidak boleh dibawa ke pabrik.
2. Kesulitan mengatur waktu untuk memerah ASI.
3. Tidak diberi ijin oleh pengawas untuk meninggalkan pekerjaan.
Koordinator peneliti Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati menyatakan bahwa berdasarkan temuan-temuan yang telah dipaparkan di atas telah memberikan gambaran yang cukup jelas bagaimana kondisi buruh perempuan yang bekerja di KBN Cakung, sebagai sebuah kawasan industri milik negara (BUMN).
“Pemenuhan hak maternitas buruh garmen perempuan yang bekerja di kompleks KBN Cakung ternyata belum sesuai dengan harapan. Hal ini terepresentasikan dalam beragamnya kendala atau problem maternitas yang dihadapi para buruh perempuan, serta keberadaan buruh perempuan yang tidak mendapatkan hak-hak maternitasnya, sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003. Perlindungan terhadap buruh perempuan dan pemenuhan hak maternitas merupakan kewajiban pemerintah, perusahaan dan serikat buruh untuk memastikan terpenuhinya hak-hak maternitas buruh perempuan.”
Dari hasil penelitian maka ada beberapa rekomendasi yang kami sodorkan sebagai upaya untuk mewujudkan ruang kerja yang aman bagi perempuan, yaitu untuk Pemerintah, supaya meningkatkan pengawasan terhadap implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003, serta menjalankan fungsi pengawasan bidang ketenagakerjaan dengan meningkatkan perhatian pada hak maternitas di tempat kerja, karena masih cukup banyak perusahaan yang belum patuh dan konsisten menjalankan hal-hal yang diatur dalam UUK terkait perlindungan maternitas buruh perempuan.
Kemudian menciptakan dasar hukum yang lebih komprehensif dalam melindungi hak maternitas buruh perempuan, maka Pemerintah didukung untuk meratifikasi Konvensi ILO nomor 183, tahun 2000. Ketentuan tentang waktu istirahat, layanan kesehatan dan tunjangan sangat diperlukan buruh perempuan dalam menjamin keberlanjutan dan kelayakan kehidupannya bersama sang anak.
“Yang juga penting yaitu membangun kerjasama lintas kementrian terkait, dalam memberikan perlindungan dan jaminan terhadap pemenuhan hak-hak maternitas buruh di tempat kerja. Wujud kerjasama ini diharapkan bisa menjadi panduan bagi perusahaan dalam menjalankan pemenuhan dan perlindungan hak maternitas buruh perempuan,” Kata Mutiara Ika.
Lalu untuk perusahaan yaitu bersama membangun dan menyatakan komitmen untuk mengakui, menghargai serta melindungi hak-hak maternitas buruh perempuan, dengan mengacu pada ketentuan perundangan yang berlaku. Sekaligus mewujudkan komitmen untuk melindungi hak maternitas buruh perempuan, yang dapat dinyatakan dalam sosialisasi informasi maternitas, membangun lingkungan kerja yang kondusif dengan ruang laktasi dan klinik kesehatan yang memadai, serta memberikan perlakuan khusus, utamanya bagi buruh hamil. Komitmen tersebut selain dari para pabrik yang ada di KBN Cakung, juga penting datang dari Buyer atau Perusahaan Pemilik Label (Brand) yang memiliki pasokan garmen dari Indonesia.
“Menyatakan kesediaan dan komitmen terbuka untuk mengimplementasikan perlindungan hak maternitas, serta bersama dengan Serikat Buruh membangun PKB yang ramah terhadap buruh hamil dan menyusui,” ujar Vivi Widyawati.
Dan untuk Serikat Buruh, selama ini para peneliti menyebutkan adanya keterbatasan pengetahuan para buruh perempuan masih menjadi sebuah problem besar. Ketidaktahuan akan hak-hak buruh adalah kendala yang perlu dipecahkan, supaya buruh bisa membangun keberdayaan. Maka Serikat Buruh perlu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran buruh perempuan, melalui sajian dan sosialisasi informasi yang detail dan akurat tentang hak-hak maternitas buruh perempuan di tempat kerja. Maka yang harus dilakukan yaitu serikat buru harus berperan aktif dalam pemenuhan hak maternitas di tempat kerja, dengan menjadikan serikat sebagai tempat pengaduan dan pembelaan terkait maternitas, serta menjadikan hak maternitas sebagai poin penting untuk masuk dalam Perjanjian Kerja Bersama.
“Temuan yang terpapar di atas adalah bentuk keberanian dari para buruh hamil dan buruh ibu untuk bersuara, mengungkap beragam bentuk pengabaian hak maternitas di tempat kerja. Keberanian ini perlu mendapat dukungan dari beragam pihak berupa jaminan kebebasan berserikat dan berorganisasi serta pelibatan aktif perempuan dalam pengambilan kebijakan,” ujar Vivi Widyawati.
(Foto/Ilustrasi:Pixabay.com)