Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co – Sejak dicanangkan pada tahun 2006 lalu, ekonomi kreatif menjadi primadona perekonomian baru Indonesia. Inisiatif institutional dari pemerintahan terus bertambah. Rasa optimistis terhadap ekonomi kreatif kerap disampaikan Presiden Joko Widodo dengan memproyeksikannya sebagai “tulang punggung” perekonomian Indonesia.
Namun dalam gegap gempitanya ekonomi kreatif, dan belakangan diikuti dengan sebuah perkembangan bernama ekonomi digital, kerentanan bagi para pekerja perempuan terus berlipat.
“Kecenderungan patriarki untuk melihat perempuan hanya sebagai obyek telah menemukan ‘ruang bermainnya’ sendiri dalam industri kreatif, terutama ranah kesenian,” ungkap Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Ellena Ekarahendy. Hal ini ia ungkapkan dalam diskusi “Di Belakang Meja: Mengurai Kerentanan Pekerja Perempuan dalam Industri Media dan Kreatif”, Kamis 21 Desember 2017 lalu di Jakarta.
Misalnya, dalam sebuah wawancara dengan seorang musisi perempuan muda yang tengah merintis karier, kompetensi nya sebagai musisi belum sah jika belum “distempel” (ditiduri) oleh musisi laki-laki senior yang berpengaruh dalam sektor ini.
Kondisi serupa juga dialami seorang penulis perempuan muda yang sedang mengerjakan sebuah buku dan mengharuskannya mewawancarai penulis laki-laki senior. Dia kerap menghadapi pertanyaan dari penulis laki-laki senior seperti ,”Kapan kita bisa berhubungan seks?”
Meskipun terus terjadi, namun kondisi ini kerap dianggap normal dalam ekosistem industri kreatif. “Kesaksian-kesaksian semacam itu sering terbentur hanya jadi sekadar gosip karena pembuktiannya membutuhkan ongkos sosial, kultural, dan finansial yang terlampau mahal. Belum lagi resiko victim blaming dari para pendukung seniman/budayawan/pekerja kreatif laki-laki senior,” terang Ellena.
Di luar kasus kekerasan seksual, masalah normatif pekerja perempuan dalam industri media dan kreatif juga masih berlangsung. Peraturan ketenagakerjaan semacam hak untuk cuti haid, hak cuti melahirkan dan mengasuh anak dianggap sebagai hal remeh oleh perusahaan yang pengabaian terhadapnya dianggap tidak memiliki dampak signifikan pada kerja produktifnya.
Hal itu yang membuat Divisi Advokasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Serikat SINDIKASI) menggulirkan kampanye serta pendampingan terbentuknya ruang laktasi pada sebanyak-banyaknya kantor media dan perusahaan kreatif. Hal lain yaitu melakukan pendampingan terhadap para perempuan pekerja yang mengalami pelecehan dan kekerasan seksual.
SINDIKASI mengajak semua pekerja media dan industri kreatif agar secara kolektif berhimpun membangun jejaring pengaman dengan kesadaran penuh akan kondisi kerentanan berganda bagi para pekerja perempuan. Salah satu yang bisa dilakukan adalah bergabung dalam serikat pekerja agar dapat saling kuat-menguatkan.
“Pewajaran eksploitasi kapitalisme yang lihai menyamar dalam kerja industri kreatif ini tidak bisa lagi kita ampuni,” pungkas Ellena.
(Foto/Ilustrasi:Pixabay)