Drakor ‘Where Stars Land’, Cerita Kesetaraan Gender dan Romansa Pekerja di Bandara 

Drama Korea Where Stars Land (2018) mengisahkan kehidupan para pekerja bandara Incheon, di Korea Selatan. Meski drama ini berfokus pada kisah cinta dua pekerjanya, namun banyak pengetahuan menarik seputar aktivitas bandara kelas dunia yang bisa dinikmati. Plus, isu ego antar divisi dan kesetaraan gender di tempat kerja.

Saat saya pertama kali menonton drama ini pada 2021, sudah banyak review ditulis. Ada review positif, ada juga yang enggak suka: menganggap cerita terlalu bertele-tele, dan sebagainya. 

Saya sendiri cukup surprise, karena bisa menikmati drama ini untuk beberapa alasan selain faktor Lee Je Hoon, juga setting cerita di bandara yang cukup mendetail, serta kemampuan tim produksi menjadikan drama ini sebagai content marketing bagus buat bandara Incheon. 

Where Stars Land, Romansa Pekerja 

Dua karakter utama, yang satu berjuang untuk sempurna dan istimewa, sementara satunya lagi berusaha senormal mungkin dan tak ingin mencolok. Mereka dipertemukan dalam kehidupan pekerja bandara Incheon yang sibuk. 

Aktris Chae Soobin memerankan pekerja muda yang selalu terburu-buru, sensitif pada pendapat orang, dan sembrono. Dia bercita-cita tampil sempurna, tapi apa yang ia lakukan kerap kali justru memalukan dan bikin kacau. Ia tulus dan hangat, namun empatinya yang tinggi kadang berujung jadi membahayakan dirinya. Ia punya masalah rendah diri dan cenderung memiliki mentalitas korban. Agak annoying, lah.  

Aktor Lee Je Hoon, memerankan laki-laki cerdas penyandang disabilitas. Ia ingin hidup sama seperti yang lainnya

Ia mengenakan alat bantu agar tampak seperti orang lain, namun alat ini berefek menjadi kekuatan super yang istimewa. Lengan yang awalnya lumpuh jadi punya kekuatan membengkokkan palang pembatas dari besi. Karena itu, ia setengah mati berusaha untuk tidak mencolok, demi bisa hidup senormal mungkin seperti layaknya orang lain. 

Dua karakter itu kemudian saling jatuh cinta, dan berusaha memahami satu sama lain. Kisah mereka menjadi fokus utama, dalam banyak kisah berkelindan pada drama 16 episode ini. 

“Takdir itu bekerja luar biasa. Ia mempertemukan orang-orang yang berbeda. Karena berbeda, jadi ada ketertarikan. Lucunya, saat sudah bersama, perbedaan itu justru yang akan menyulitkan. Tapi jangan karena itu, kamu malah sembunyikan perbedaan demi menjadi sama. Perbedaan itu mesti kamu tunjukkan agar bisa dipahami.” 

Sebuah pesan yang akan relevan buat semua orang yang lagi PDKT, atau punya pacar dan akan menikah. 

Selain romansa, ada sisi misterius, ada kehangatan keluarga, ada persaingan dalam dunia kerja, bos yang semata mengejar performa dan tak tau diri, hingga proses rekonsiliasi antara kakak dan adik yang bertemu lagi setelah 12 tahun terpisah. 

Plus, penggambaran kesibukan bandara terbesar di Korea Selatan yang cukup memberi wawasan. Isu kesetaraan gender dalam stigma perempuan pekerja di Korea juga tersampaikan tanpa kesan khotbah. Semuanya seperti mengalir diantara cerita-cerita lainnya

My Two Cent Comments

Kebetulan, saya nonton drama ini setelah menamatkan dua session Romantic Dr Kim.

Karena ditulis oleh penulis yang sama, gaya penuturan untuk drama ini pun mirip. Penuh wisdom yang tersurat dalam narasi. Banyak scene yang bisa langsung di-screenshoot karena quotable banget dan jadi postingan di medsos. 

Dialog-dialognya juga cukup efektif. Tiap karakter memiliki sisi positif dan negatif yang manusiawi. Interaksi mereka juga natural. 

Kalau kamu nonton Romantic Dr Kim, maka gambaran besarnya terasa sama di drama ini , namun beda karakter dan setting cerita berpindah dari rumah sakit ke bandara.

Lepas dari alur cerita yang bisa dinikmati, pesan yang  quotable, serta akting Lee Je Hoon, drama ini punya pesona lain. Terutama dari sudut pandang bagaimana sebuah drama bisa menjadi content marketing. 

Sejujurnya, tim produksi kebanyakan drama Korea cukup cerdas dalam memadukan ide cerita, pesona visual para pemeran, kekuatan akting, dan iklan produk Korea dalam sebuah tayangan yang menghibur. Salut!

Nation’s Pride  

Entah sudah berapa kali saya nonton drama Korea dengan unsur Nation’s Pride  didalamnya. Dalam Where Stars Land, bandara Incheon menjadi setting lokasi cerita.  

Seperti diketahui, bandara Incheon merupakan salah satu bandara terbaik di dunia, bersaing dengan Changi Airport. Sejak 2005, bandara kebanggaan Korea Selatan ini selalu meraih predikat terbaik versi Airport Council. Pada deretan The Best Airport in The World versi Skytrax, Incheon berada di peringkat kedua setelah Changi. *btw, sudah nonton iklan pariwisata Korea Selatan yang versi Incheon belum? 

Nah, dalam drama ini, kita bisa melihat pemandangan bandara keren, modern, memiliki kesiapan prima untuk bencana darurat, serta para staf yang siap memberi pelayanan terbaik. Robot vacumm cleaner yang canggih pun diperkenalkan dalam drama ini. 

Deretan brand, menjadi tenant di bandara. Mulai dari iklan jahe sachetan, sampai Baskin Robbins pun tayang sangat smooth. 

Plus, edukasi publik. 

Ada adegan dengan argumentasi jelas kenapa sebotol air tak diloloskan di gerbang pemeriksaan, meski sebetulnya di pesawat pun air minum itu dijual. Prosedur itu ditetapkan karena bom bisa saja dibuat dari cairan. 

Ada gambaran tentang aturan peletakan banner promosi di toko-toko di bandara, semata-mata untuk menghindari kecelakaan pada calon penumpang selama di bandara. 

Namun, ada juga adegan yang menunjukkan banyak tunawisma di dalam bandara, yang kemudian ditertibkan dengan cara manusiawi. Ada juga adegan pembuat onar yang lolos membawa pisau masuk ke dalam bandara. 

Isu privatisasi bandara juga dibahas dalam drama ini. Pada salah satu adegan, disebutkan privatisasi bandara bukan jalan untuk meningkatkan kualitas bandara. Pada sejumlah kasus, bandara yang menjual saham justru berdampak kepada pengguna bandara dengan tingginya biaya.

Hingga saat ini, Incheon masih dimiliki dan dikelola Pemerintah Korea Selatan, dan membangun pengembangan bandara tanpa modal eksternal. Untuk diketahui, bandara-bandara favorit pelancong, seperti Changi di Singapura, juga dimiliki dan dikelola sepenuhnya oleh Pemerintah.

Dua sisi positif negatif membuat content marketing umumnya lebih diterima audiens. Ada sisi yang berusaha ditampilkan dengan jujur dalam content marketing sehingga menjadikannya berbeda dengan iklan. 

Buat saya, content marketing Incheon dalam drama ini cukup memuaskan dan tidak sekadar tempelan. 

Kesibukan bandara yang cukup detail

Namanya bandara, potensi chaos bisa terjadi kapan saja.

Masalah-masalah yang dihadirkan dalam drama ini juga realistis. Mulai dari calon penumpang yang emosional, arogansi penumpang VIP, kecelakaan pesawat, penyelundupan narkoba, hingga adegan humanis pertemuan antara ayah -yang tak lolos pemeriksaan imigrasi-dengan anaknya yang baru lahir di klinik bandara. 

Sisi personal pekerja bandara juga dikisahkan cukup menarik. Perempuan pekerja yang diam atas perselingkuhan suami karena dipojokkan untuk menjaga image sebagai bos yang harus tampak stabil tanpa cela, hingga sosok ayah yang harus menghadapi sisi rebel anak remaja.

Insight dunia kerja  

Ada bos yang dingin, ada yang terlihat hangat dan mengayomi, tapi ada pula bos yang tegas namun perhatian. Kita pun bisa melihat para pimpinan yang mengejar performa, fokus pada pelanggan, namun jadi kurang menghargai karyawan di timnya.

Mulai dari ego antar divisi, kebiasaan meminta maaf yang enggak selalu sehat, hingga isu mentalitas korban dan kesetaraan gender, cukup mendapat tempat pada drama ini. 

Selain Misaeng, ataupun Kokondao Intern, saya rasa drama Korea Where Stars Land ini cukup memberi referensi dunia kerja. 

Pesan-pesannya lumayan praktis untuk dihubungkan dengan kenyataan sehari-hari di tempat kerja, terutama dalam organisasi perusahaan besar dengan struktur birokrasi yang cukup kaku. 

Bahwa penting untuk percaya diri mengutarakan pendapat, yang disampaikan dengan cara santun. Terutama untuk perempuan pekerja, jangan sungkan untuk berpendapat. 

Namun, jangan gegabah untuk berusaha menyelesaikan masalah sendiri, apalagi di luar kuasa dan wewenang, sehingga sebaiknya selalu melibatkan karyawan senior selevel manajer. 

Lee Je Hoon

Saya lupa sejak kapan saya ngefans sama aktor ini.  

Pertama ‘nemu’ dia di film My Paparotti (2013) gara-gara kepo sama jejak akting pemeran Dr Kim. Lalu liat aktingnya  lagi di Signal, sebagai detektif muda. Drama Signal menjadi salah satu drama terbaik produksi tahun 2016.  

Lee Je Hoon kemudian lebih sering muncul dalam adegan laga. Secara fisik, dia enggak tinggi-tinggi amat untuk level karakter utama. Tinggi 176 cm, dan tubuhnya cenderung enggak gede gitu lah, cenderung kecil dan kurus. Tapi bisep dan punggungnya jadi banget deh ah! 

Kekuatan akting Jehoon pun berkembang dari waktu ke waktu. Waktu main My Paparotti, aku cukup terkesan tapi gak wow amat. Tapi semakin banyak peran yang ia mainkan, dengan range karakter cukup beragam, menjadikan Jehoon sebagai salah satu aktor keren Korea Selatan.  

Jejak filmnya jauh lebih banyak ketimbang aksi di layar kaca.

Ia memang lebih dulu berakting dalam banyak film indie sebelum akhirnya dipercaya di sejumlah film komersial. Je Hoon tampil meyakinkan baik sebagai pegawai negeri dalam I Can Speak -yang mengadopsi kisah nyata perempuan jugun ianfu-, ataupun mantan narapidana yang ketakutan diteror pembunuh berdarah dingin dalam Time to Hunt. 

Gesture-nya detail, dengan pendalaman karakter yang bagus. Jadi, bisa dipastikan, kalau kamu baru nonton  drama ini setelah kesengsem dengan perannya di Move To Heaven ataupun Taxi Driver, kamu enggak akan merasakan karakter yang sama. 

Nikmati dengan santai

Cara terbaik menikmati drama Korea Where Stars Land ialah dengan menikmatinya secara santai, tanpa ekspektasi berlebih. 

Meskipun setelah tamat, saya jadi kepikiran, gimana ya kalau drama Korea Where Stars Land ini dijadikan drama slice of life, minus faktor fantasi-fiksi sains?

Di episode awal, karakter utama perempuan mungkin terasa berlebihan dan annoying, semoga tak menurunkan kesabaran untuk menikmati drama ini ya.  

(Sumber gambar: Soompi)

dwisep

Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!