Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co – Mengapa pemakaian cadar atau jilbab kemudian masuk dalam aturan kampus, dan menjadi polemik?
Jaringan Muda Melawan Kekerasan Seksual, sebuah jaringan anak-anak muda memetakan, hal ini terjadi karena selama ini cadar adalah salah satu atribut yang masih dianggap sebagai bagian yang mengatur perempuan. Padahal menggunakan cadar ataukah tidak, ini seharusnya tidak boleh mengekang perempuan, setiap perempuan boleh memakai baju apa saja dan tidak boleh ada yang mengatur soal ini.
Lathiefah Widuri Retyaningtyas, juru bicara Jaringan Muda Melawan Kekerasan Seksual yang ditemui dalam konferensi pers dan aksi Parade Juang Perempuan Indonesia di Jakarta pada hari perempuan internasional 8 Maret 2018 mencatat, hal lain yang juga sering terjadi yaitu bahwa cadar juga memberikan identitas pada perempuan di kampus. Jika menggunakan cadar, maka perempuan distereotypekan sebagai orang yang harus mengatur cara bicaranya. Label ini justru akan mengekang perempuan. Sedangkan perempuan yang tidak menggunakan jilbab, identik sebagai perempuan yang bebas dan tidak agamis. Ini artinya, pakaian masih dilekatkan pada identitas perempuan. Identitas atau stempel seperti ini menurut Lathiefah banyak membuat perempuan kemudian menjadi normatif dalam berpikir sesuatu.
“ Pikiran normatif ini seperti, banyak yang berpikir bahwa, untuk menjadi perempuan yang baik itu berarti harus seperti yang diinginkan orang lain, yaitu taat pada hal yang justru mengekang perempuan.”
Hal ini bisa dilihat dengan banyak perempuan yang kemudian jika diminta untuk mentaati permintaan orangtua yang tak masuk akal, maka ia harus menuruti.
Lathiefah mengerti, dalam banyak hal peraturan keluarga dilakukan untuk mendinamisasi relasi, namun jika aturan ini tidak masuk akal dan justru mengekang perempuan, maka hal ini yang harus dipertanyakan.
Ia mencontohkan, karena terbiasa hidup dalam aturan yang mengekang, maka sejumlah siswa dan mahasiswa kemudian harus menyatakan setuju jika mereka diminta untuk menikah muda. Untuk siswa yang masih berumur di bawah 18 tahun, tentu saja ini menjadi persoalan karena kesehatan reproduksi mereka belum cukup untuk melahirkan dan akan menimbulkan penyakit jika melahirkan di bawah usia 18 tahun.
Namun pameo ini kemudian beredar di sekolah dan di kampus. Jadi dalam banyak hal, aturan yang tak masuk akal ini kemudian menjebak perempuan. Perempuan harus cepat punya pacar karena diharapkan menikah cepat, mempunyai anak secara cepat sebagai tanda bakti pada keluarga. Lalu siapa yang bertanya: bagaimana dengan masa depan perempuan? Bagaimana masa depan siswa atau mahasiwa baru, berumur 17 tahun dan harus cepat menikah?
Dalam orasinya di aksi Parade Juang Perempuan Indonesia, Lathiefah mencontohkan bahwa pakaian ternyata tak hanya menjerat perempuan, namun juga cita-cita perempuan. Di ratusan daerah di Indonesia kita tahu ada Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif yang mengatur cara berpakaian perempuan, membatasi aktivitas perempuan.
Maka penting untuk melihat, bagi siapa saja, bahwa pakaian jangan sampai menimbulkan polemik bagi perempuan, karena perempuan sudah diatur hidupnya secara ketat sejak ia kecil, jika sampai dewasa, ia tak punya masa depan hanya karena aturan ketat yang membatasi pilihan hidupnya, atau ia kebingungan menentukan langkah hidupnya gara-gara pengaturan pakaian, ini artinya kita harus bertanggungjawab pada masa depannya yang tercerabut karena aturan ketat yang mengatur pakaian dan tubuh perempuan.
Parade Juang Perempuan Indonesia yang terdiri dari 69 organisasi perempuan dan Hak Asasi Manusia melakukan aksi di DPR dan istana negara di hari perempuan internasional 8 Maret 2018, aki ini dilakukan untuk mengkritik kebijakan yang tak berpihak pada perempuan, salah satunya adalah pengaturan cara berpakaian yang terdapat dalam ratusan Perda diskriminatif terhadap perempuan. Komnas Perempuan mencatat, sampai saat ini terdapat 401 Perda yang mendiskriminasi perempuan.
(Aksi Parade Juang Perempuan Indonesia di Jakarta, 8 Maret 2018/ Foto: Jakarta Feminist Discussion Group)