“Di Pawon Pesisir, ibu-ibu dan para perempuan yang tinggal di sekitar pesisir pantai yang menjadi korban pembangunan pembangunan bandara Jogjakarta, bisa berkumpul, berjualan secara mandiri. Inilah perlawanan, lengkap dengan memikirkan kemandirian ekonomi yang dijalankan para perempuan di pesisir pantai.”
*Abdus Somadh- www.Konde.co
Jogjakarta, Konde.co- Adalah Pawon Pesisir. Sekitar bulan Februari 2018, Pawon Pesisir terbentuk. Pawon berarti dapur. Dalam Pawon Pesisir, sebuah dapur dan warung yang dibuat para perempuan ini lalu menjual makanan pesisir pantai seperti: makanan spesial dari keong.
Proses terbentuknya Pawon Pesisir tidak terlepas dari semangat kaum perempuan memperjuangkan hak hidup dan hak ekonomi mereka di tanah kelahiran mereka sendiri.
Kerja mereka lebih banyak dilakukan dengan mengolah bahan alam. Mereka mengemasnya dengan sajian yang layak dikonsumsi dan diperjual belikan. Salah satu tujuan besar mereka adalah untuk mewujudkan kemandirian ekonomi warga.
“Pawon Pesisir itu sesuai dengan asal kami, pesisir pantai selatan,” Kata Dariyah menyajikan masakannya kepada pembeli saat mengikuti acara Jagongan Media Rakyat (JMR) di Yogyakarta, awal Maret 2018.
Sebelum terbentuknya Pawon Pesisir ini, di kampung halaman mereka, para perempuan ini selalu berkumpul untuk sekedar membicarakan hiruk-pikuk ketidakadilan dan nasib rumah tinggal mereka. Di sela obrolan inilah, mereka sering didatangi pihak Angkasa Pura dan pihak Pengadilan Negeri Wates yang dikawal aparat TNI beserta Kepolisian. Tujuan mereka untuk meminta tanda tangan warga yang menolak pembangunan bandara Jogja. Proses itu dilakukan karena Pihak Angkasa Pura I menilai semua ganti rugi yang dibayarkan sudah dititipkan di pengadilan melalui skema konsinyasi. Untuk menjadikan konsinyasi itu berjalan, pihak pemrakarsa membutuhkan tanda tangan warga. Pemakasaanpun menjadi jalan keluar.
Warga yang tak mau membubuhi tanda tangannya mencoba melawan. Mereka membentak sampai mengusir Angkasa Pura I, merasa didesak pergi, pihak Angkasa Pura I pun mundur.
Tidak hanya pada persoalan gerakan penolakan pembangunan bandara, para perempuan ini juga banyak membicarakan olahan pangan. Menu masakan yang mereka olah berasal dari hasil pertanian mereka sendiri.
Pawon Pesisir menjadi tempat mereka mengkreasikan apa yang ada dalam imajinasi mereka. Karena dinilai efektif, Pawon Pesisir makin bergeliat. Kini mereka mau mengembangkannya. Dariyah mengungkapkan aktivitas mereka sejauh ini untuk membantu menghidupi ekonomi keluarga mereka. Keberadaan Pawon Pesisir menurutnya sangat dibutuhkan.
“Kita berusaha biar tidak mengandalkan bapak-bapak, ini kerja ibu-ibu di rumah. Ini kerjasama ibu pesisir semua,” katanya.
Sistem kerja yang diterapkan lebih mengedepankan asas gotong royong. Menurutnya, ini modal utama membangun gerakan kolektif perempuan pesisir. Mereka beranggapan satu hal yang dapat menjadi kunci perjuangan ibu-ibu adalah dengan saling membantu, termasuk dalam urusan pangan.
“Hasilnya bisa dikembangkan, agar bisa hidup mandiri,” kata Dariyah dengan senyum tipisnya.
Pawon pesisir menjadi dimensi untuk dapat terus memproduksi pangan. Ada banyak hal yang mereka jual. Salah satunya keong sawah yang diolah menjadi makanan, seperti membuat bakso keong, kerupuk keong, sate keong dan baladao keong. Tidak hanya itu, mereka juga membuat olahan daun ketela dan bayam yang dicampur dengan adonan tepung kemudian dibuat kripik sebagai pelengkap bakso. Satu porsi makanan mereka jual dengan tarif yang bervariasi mulai dari Rp. 2000 sampai Rp. 15.000.
“Jualan bakso, keong, sate keong, peyek keong semua dari keong, keong yang di sawah itu lho. Kalau bakso spesial lima belas ribu,”ujar Dariyah.
Dariyah menceritakan, selama ini ibu-ibu biasa mencari keong di pagi atau sore hari, waktu itu menurutnya waktu keong banyak keluar dari persembunyianya. setiap akan pergi ke sawah, mereka menyempatkan untuk mencari keong, sembari merawat hasil bumi.
“Pagi itu lebih mudah, bisa taruh daun pepaya nanti juga kumpul keongnya, jadi bisa dapat banyak. Kalau siang-siang cari biasanya sulit,”kata Dariyah
Perempuan Penolak Pembangunan Bandara
Pembangunan Infrastruktur bandara udara New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang rencana akan dibangun di Temon Kulon Progo dengan luas 637 Hektar mencakup lima desa, hal tersebut diantaranya desa Palihan, Sindutan, Glagah, Kebon Rejo dan Jangkaran.
Ada sekitar 11.501 penduduk kehilangan ruang hidup. Pihak Angkasa Pura I (AP I) masih mengupayakan pembebasan lahan, mereka ingin mempercepat proses yang kini masih tersendat. Hal ini dilakukan mengingat proyek ini merupakan pembangunan strategis nasional yang ditarget selesai bulan April 2019.
Proses pembangunan bukan tanpa perlawanan, warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP) terus menyuarakan hak mereka. Ada sekitar 37 KK atau 300 Jiwa masih tak mau tanahnya diserahkan untuk kepentingan pembangunan. Tidak hanya kaum laki-laki yang terlibat, perempuan tidak kalah gigih. Mereka selalu berada di garis terdepan untuk menghadang alat berat yang hendak meratakan lahan warga yang masih berstatus hak milik.
Menyadari bentuk protes akan begitu panjang, kaum perempuan pesisir berinisitaif membentuk ruang kolektif untuk menopang kehidupan mereka selama menghadapi ancaman penggusuran paksa yang dilakukan oleh Angkasa Pura I.
Salah satu warga perempuan, Wagirah (56) saat ditemui di rumahnya menyampaikan bahwa sampai detik ini, ia tidak akan pernah menyerahkan lahannya. Ia tak mau menjualnya. Baginya tanah adalah ruang hidup yang abadi, tanpa tanah ia tidak bisa menghidupi keluarganya, termasuk dirinya.
“Saya tidak ingin menjual lahan saya, apapun yang terjadi, saya masih tetap tidak mau menjualnya,” tutur ibu yang terus berjuang selama 5 tahun ini.
Wagirah bahkan berjanji pada dirinya, sebagai warga yang lahir dan besar di Temon, ia tak akan menyerahkan sepeserpun lahan. walaupun ancaman begitu dekat sudah ia rasakan. Ia melihat dengan mata kepala sendiri, sekeliling rumah sudah rata dengan tanah, tak ada pepohonan, tak ada tempat bermain untuk anak, yang tersisa hanyalah puing-puing bangunan tergeletak di sembarang tempat.
Baginya, keberadaan perempuan tidak boleh diam, perjuangan perempuan perlu dirawat. Tak ada lahan bukan berarti tak ada pangan. mereka bisa hidup untuk masa depan, kebersamaan adalah kunci dari perlawanan.
“Marilah semua warga dan relawan yang mendukung perjuangan PWPP-KP marilah kita bersatu padu menegakkan keadilan,” tuturnya saat memberikan orasi dalam acara Festival Guyub Murub.
Di akhir pembicaraanya ia berkisah, bagaimana dulu kampung halamannya begitu asri dan subur, ia bisa melakukan apapun dari tanahnya. Menurutnya kesejahteraan sudah ia peroleh. Segudang hasil bumi yang melimpah ia dapatkan. Namun petaka datang saat ada proyek pembangunan bandara, kehidupan yang ia jalani berubah drastis.
“Apa yang sekarang terjadi? Semuanya hancur karena adanya bandara ini, kita tidak pernah menjual tanah ataupun rumah, tapi dipaksa untuk menyerahkan,” ujarnya sembari memikirkan apa yang tejadi di sekelilingnya.
(Dapur makanan dan warung penjualan Pawon Pesisir di Jogjakarta, Foto: Abdus Somadh)
*Abdus Somadh, Aktivis lingkungan di Jogjakarta. Pengelola situs selamatkanbumi.com