*Kustiah- www.Konde.co
Suatu kali saya marah di sosial media. Saya marah di grup Whats App (WA) alumni sekolah menengah atas dimana disana saya menjadi salah satu anggotanya.
Saat itu saya merasakan bahwa kesabaran saya sudah mulai habis. Untuk kesekian kali saya membuka kiriman seorang teman di grup, ada kiriman sebuah foto seorang perempuan dengan payudara menyembul dari balik baju dengan meme yang intinya mengajak lelaki untuk menidurinya.
Setelah itu saya menyampaikan keberatan atas foto tersebut dan saya beberkan beserta alasannya. Bahwa, siapa pun di dalam grup harus menghargai sesama anggota, tak peduli perempuan atau laki-laki atau berjenis kelamin yang lain. Asas saling menghargai ini, menghormati saya yakini akan membuat hubungan persekawanan akan menjadi harmonis. Membagikan gambar/foto atau meme yang bernada melecehkan ke dalam grup saya anggap sebagai bentuk melecehkan. Atas nama apa pun. Bagi saya tak ada pemakluman dan pemaafan.
Tetapi, rupanya teguran sekali, kedua, ketiga kali tak cukup mempan. Hingga akhirnya saya merasa bahwa memberikan alasan ketidaksetujuan, pemahaman, dan teguran itu tak pernah cukup bagi mereka.
Awalnya, saya merasa seperti memiliki beban untuk menjadi ‘penjelas’ atas segala sesuatu yang tidak jelas. Atau, di tengah perasaan hendak memilih lebih baik ‘mundur’ dari group dan tak bergabung dengan komunitas yang saya anggap uncivilize, karena setiap saya buka grup ini, mendadak saya merasa memiliki tanggung jawab untuk ‘menerangkan’ yang gelap. Jika memutuskan untuk mundur, maka saya mengibaratkan seperti seorang tentara yang telah kalah perang.
“Bagaimana Kartini yang berjuang melawan patriarkhi di masanya, jika di lingkungan kecil saja kamu menyerah?” pertanyaan itu selalu muncul seperti menghardik saya setiap saat.
Segala cara, daya upaya telah saya tempuh. Tetapi saya merasa tak memberikan pengaruh apa pun termasuk menjadikan yang tidak paham menjadi paham, yang buruk menjadi baik. Teguran saya tidak menjadikan perubahan apa pun.
Akhirnya saya memilih keluar grup dengan pamit baik-baik sambi berpikir, “Siapa saya yang tiba-tiba berlagak bak paling kritis diantara mereka?”
Wait…di grup whatsapp sekolah menengah pertama yang saya ikuti, kondisinya lebih parah lagi. Hampir setiap hari saya bak seorang orator. Mengutip budayawan Kuntowijoyo, saya seperti berdakwah di atas bukit. Suara saya seperti hanya menggema sebentar lantas dihempas angin kencang yang menyebabkan suara tak terdengar oleh siapa pun.
Bisa-bisa oleh manusia lain saya digolongkan “feminis pemarah” yang mengaku-aku feminis dan seolah menjadi aktivis perempuan yang membela kaumnya dengan melabrak siapa saja yang melecehkan kaumnya. So what?
Di grup Whats App (WA) komunitas alumni SMP ini, saya sering menerima kiriman gambar seorang perempuan sedang duduk dengan paha terbuka mengingatkan suaminya untuk ‘malam jumatan’.
Di lain waktu, saya menerima kiriman rekaman video seorang perempuan berjoged. Yang di ‘zoom’ dari rekaman itu adalah bagian belahan dada perempuan, payudara yang bergoyang-goyang.
Grup WA tersebut segera dipenuhi komentar para anggota grup laki-laki. Yang perempuan lebih banyak diam karena merasa tidak enak, beberapa merasakan takut jika ingin protes karena takut akan dijadikan bahan olokan di group. Kecuali saya yang lagi-lagi merasa seperti sipir penjara. Dan lagi-lagi saya merasa lelah dan kalah.
Lalu saya pun kembali memutuskan untuk keluar dari grup kembali.
Saya kira, bukan bermaksud merendahkan latar belakang pendidikan teman-teman yang sebagian besar tak mengenyam pendidikan tinggi. Apalagi punya pengalaman dan antusiasme membaca buku. Saya memaklumi mereka karena alasan itu.
Tetapi, anggapan saya salah. Karena di grup WA komunitas alumni teman-teman organisasi ekstra kampus yang ketika menjadi mahasiswa menjadikan diskusi ‘gender’ sebagai makanan sehari-hari, menjunjung sikap kritis, kesetaraan, ternyata memiliki kesamaan dengan kondisi sekarang.
Mereka menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek, obyek olokan, bahan tertawaan, dan obyek pelecehan. Gambar, foto, dan meme perempuan yang menghiasi grup WA seperti diibaratkan orang bodoh, tidak memiliki otoritas atas tubuhnya dan bak ternak betina yang pasif.
Lain waktu gambar seorang perempuan mengenakan sarung dengan meme ‘kapan saya dicangkul’ mas? Meme perempuan mengenakan sarung yang diibaratkan seperti sedang menunggu suaminya ini biasa muncul tiap malam Jumat.
Meme lainnya yang membuat dada saya bergetar adalah gambar tangan seperti tangan seorang laki-laki menekan dan menindih kuat tangan perempuan yang tak berdaya. Tulisan memenya “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”.
Saya mungkin terlalu sensitif dengan gambar, foto, meme atau apa pun yang berhubungan dengan segala hal yang saya anggap tak memanusiakan dan melecehkan. Saya bahkan tak menoleransi alasan yang selalu disampaikan para pengirim maupun pengomentar gambar, foto, dan meme yang menganggap unggahan tersebut hanyalah guyonan, candaan yang menurut mereka seharusnya tak perlu ditanggapi serius. Entah lucunya di mana?
Atau apakah bagi mereka gambar, foto, dan meme yang melecehkan itu membuat urat syarafnya mengendur atau menjadikan mereka lebih relaks?
Jadi, jika kalian para laki-laki menganggap candaan yang berbau eksploitatif dan melecehkan perempuan itu biasa saja kiranya, maka anda perlu introspeksi diri. Dan bertanyalah kepada diri sendiri, sudah seberapa besarkah Anda menghargai ibu, adik, kakak, tante perempuan Anda? Karena, penghormatan dan penghargaan terhadap perempuan tak perlu jauh-jauh mencari subyeknya, tengok saja perempuan yang paling dekat dengan Anda.
Mengutip kembali yang disampaikan Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Irawati Harsono dalam sebuah pertemuan konsolidasi jaringan perempuan di Jakarta akhir tahun lalu, kasus perkosaan, kekerasan seksual, pornografi terhadap perempuan tidak tiba-tiba terjadi. Seseorang tidak akan tiba-tiba memperkosa jika sejak lahir diajari menghormati tubuh.
“Jokes, guyonan tentang pornografi yang paling banyak dilontarkan itu joke tentang tubuh perempuan. Jadi dia (pelaku kekerasan seksual) menganggap tubuh perempuan itu layak dileluconkan. Dijadikan guyonan dan menganggap tubuh perempuan sebagai obyek seks,” ujarnya.
Menurut Irawati Harsono, jika seseorang sejak lahir diajari menghormati tubuh maka peristiwa kekerasan seksual, pemerkosaan, pornografi tak akan terjadi.
Jadi, berhentilah menjadikan tubuh perempuan sebagai bahan guyonan, menyalahkan perempuan sebagai penyebab pemerkosaan terjadi. Berhentilah menuding perempuan tak bisa menjaga diri dengan tidak menutup aurat sehingga perkosaan terjadi.
Tanyakan kepada diri sendiri, sejauh mana Anda menghormati tubuh perempuan, tubuh manusia.
*Kustiah, perempuan dan ibu dua anak perempuan yang selalu berusaha mencintai dan mengasihi sesamanya.
(Foto/Ilustrasi: Pixabay)