“Kelahiran Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) seharusnya bisa menjadi angin segar dan bisa dimanfaatkan sebaik mungkin oleh perempuan-perempuan untuk menyuarakan hak-hak mereka, terutama untuk mendapatkan hak pendidikan, kesehatan dan jaminan perlindungan sosial. Namun apa yang terjadi jauh dari ekspekstasi, quota 30% keterwakilan perempuan dalam sejumlah Musrenbang di sepertinya baru sebatas formalitas.”
*Rinta Yusna- www.Konde.co
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembangunan dimaknai sebagai proses, cara, perbuatan membangun. Proses pembangunan yang dimulai dari negara maju melalui pemerintah negara berkembang, diturunkan kepada rakyat bertujuan untuk mengubah keadaan dunia masa lampau yang tidak sesuai dengan cita-cita kehidupan manusia lahir maupun batin dengan tujuan agar dapat mewariskan masa depan yang membahagiakan bagi generasi yang akan datang.
Pembangunan suatu negara atau wilayah terdiri dari beberapa aspek yaitu: pembangunan dalam bidang ekonomi, pembangunan prasarana, pembangunan dasar kehidupan politik, ekonomi, dan sosial untuk mendorong masyarakat agar berusaha mencapai modernisasi, meliputi perubahan institusional untuk mendukung usaha nasional dalam mengembangkan kemudahan, seperti jalan, komunikasi, pengairan, kesehatan, pendidikan dan sistem perhubungan.
Proses pembangunan di Indonesia terdiri dari beberapa tahapan yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/ evaluasi.
Selama ini dalam pengamatan saya, hampir dalam setiap tahapan pembangunan baik di tingkat desa, kabupaten, provinsi maupun nasional masih juga jarang melibatkan perempuan. Perempuan ternyata masih ditempatkan sebagai objek dalam sebuah pembangunan, artinya perempuan hanya dijadikan sebagai alasan atau faktor adanya suatu proyek pembangunan.
Meskipun saat ini sudah banyak pemimpin dan pejabat pemeritah dari kalangan perempuan, namun ternyata belum bisa menjamin akan meningkatkan keterlibatan perempuan dalam proses pembangunan. Ini karena para pemimpin perempuan juga masih menghadapi struktur yang patriarki.
Sementara itu perempuan yang duduk dalam pemerintahan juga masih mengalami beban ganda dalam kehidupannya, adanya ketimpangan relasi dalam kehidupan perempuan-perempuan yang menjabat di ruang publik membuat perempuan sulit untuk memaksimalkan perannya sebagai pejabat publik. Karena urusan domestik masih dibebankan kepada perempuan.
Dalam kehidupan sosial di negara kita, perempuan dianggap tidak penting untuk terlibat dalam urusan publik, perempuan sengaja disingkirkan, dibodohkan agar tidak memiliki kesadaran akan hak-hak dasar mereka, termasuk hak dalam berpolitik dan berpartisipasi dalam setiap tahapan pembangunan.
Sebagai contoh di salah satu Kabupaten di Jawa Timur, dalam Surat Edaran petunjuk dan teknis pelaksanaan perencanaan pembangunan mengharuskan quota 30% untuk perempuan agar terlibat dalam Musyawarah Rencana Pembangunan (MUSRENBANG) baik di tingkat desa maupun kabupaten.
Peraturan bupati tersebut seharusnya menjadi angin segar dan bisa dimanfaatkan sebaik mungkin oleh perempuan-perempuan untuk menyuarakan hak-hak mereka, terutama untuk mendapatkan hak pendidikan, kesehatan dan jaminan perlindungan sosial.
Namun apa yang terjadi jauh dari ekspekstasi, quota 30% keterwakilan perempuan dalam Musrenbang sepertinya hanya sebatas formalitas dan diajak datang rapat dan pertemuan, namun usulan-usulan dari perempuan-perempuan yang terlibat masih belum dapat diakomodir baik dalam Rencana Pembangunan Desa (RPBDes), Rencana Kerja Jangka Panjang Daerah (RKPD) maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Selain itu masih rendahnya cara pandang laki-laki terhadap kapasitas perempuan juga menjadi salah satu penyebab minimnya keterlibatan perempuan dalam pembangunan. Ini yang menyebabkan perempuan tidak percaya diri untuk mengemukakan pendapat bahkan untuk terlibat dalam kegiatan publik saja mereka tidak berani.
Akibatnya belum semua perempuan memiliki kesadaran bahwa mereka berhak untuk terlibat dalam setiap tahapan pembangunan. Banyak perempuan yang akhirnya beranggapan bahwa tidak pantas untuk terlibat dalam kegiatan publik sehingga segala urusan publik diserahkan kepada laki-laki.
Masih rendahnya kapasitas perempuan untuk terlibat dalam kegiatan publik dikarenakan adanya budaya patriarkhi yang masih kuat di negara kita, yaitu budaya yang mengutamakan laki-laki, perempuan dianggap tidak penting untuk mendapatkan pendidikan tinggi karena perempuan tempatnya hanya di dapur dan kasur, perempuan dianggap tidak pantas untuk terlibat dalam kegiatan di ruang publik.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas perempuan adalah dengan memberikan pendidikan atau penyadaran kepada perempuan, penyadaran tersebut harus menjangkau seluruh steakholder terutama perempuan akar rumput. Penyadaran perempuan dapat dimulai dengan memberikan pendidikan adil gender, hal ini diharapkan dapat mendorong perempuan untuk membangun pola pikir kritis dan jiwa kepemimpinan dalam dirinya.
Ketika perempuan sudah memiliki jiwa kepemimpinan dalam dirinya maka dia akan memiliki kemampuan mengambil keputusan untuk dirinya sediri, mampu menyadari hak-hak yang harus didapatkan oleh dirinya dan juga mampu menerapkan kehidupan yang berkeadilan gender dalam lingkungan dan keluarganya, mengajak laki-laki agar tidak menerapkan struktur patriarki, sehingga semua dapat terlibat dalam setiap tahapan proses pembangunan secara maksimal.
(Foto/Ilustrasi: Pixabay)
*Rinta Yusna, aktivis perempuan